Titus Sri Basuki: Satu Ginjal Bukan Halangan

20
Titus Sri Basuki (tengah) bersama keluarga (Dok. Pribadi)

HIDUPKATOLIK.COM – SIAPA yang tak pernah mengalami pergulatan batin? Rasanya setiap insan pernah melewatinya, termasuk Titus Sri Basuki. Ia adalah aktivis Komunitas Adi Yuswo Gereja St. Leo Agung – Paroki Jatiwaringin, Jakarta Timur.

Pria berusia 66 tahun ini tampak selalu sibuk setiap kali komunitas umat lanjut usia (lansia) tersebut melakukan kegiatan. Misalnya, Ziarah dan Rekreasi (ziarek) ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada pertengahan Juni 2024 lalu. “Saya hanya mengikuti komunitas, menyaring keinginan mereka, kira-kira kebutuhan mereka apa. Ini loh yang bisa dipakai untuk merengkuh semuanya, menggabung semuanya menjadi satu kegiatan yang bisa saling membahagiakan satu sama lain, barangkali mereka tidak menemukannya dalam keluarga mereka. Saling bercanda tanpa ada rasa curiga sama sekali. Saya senang sekali di sini,” ujarnya.

Titus Sri Basuki (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Apa yang ia lakukan selama ini tak lepas dari pengalaman hidupnya. Lahir dan besar di Pucang Sawit, Surakarta, Jawa Tengah, ia menjalani dinamika kehidupan bak bianglala. Berputar naik-turun secara perlahan-lahan.

Saat masih bocah, setiap hari ia bermain sepak bola bersama teman-teman sebaya di tepi Sungai Bengawan Solo. Ia juga mampu menyelesaikan sekolah dengan baik. Ketika menempuh studi di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, ia menemukan tambatan hati. “Sudah saatnya bagi saya untuk mencari pendamping saat itu. Tidak perlu jauh-jauh. Akhirnya saya ketemu dia. Saya merasa cocok. Saya pacaran begitu lama, dan dia setia menunggu saya sampai bertahun-tahun. Baru setelah saya mendapatkan pekerjaan, saya berani mengatakan inilah orang yang tepat untuk mendampingi hidup saya. Sampai saat ini dia adalah istri yang baik bagi saya,” kenangnya. Soal pekerjaan, ia termasuk orang sukses. Ia pernah menjadi konsultan dan anggota board of directors tiga perusahaan waralaba terkemuka.

Namun ada satu pengalaman yang selalu membuat Titus menangis haru ketika ia menceritakannya kepada orang lain. Kala itu, 10 Mei 2011, ia menjalani operasi besar karena satu penyakit. “Ada vonis satu ginjal harus diambil. Hal yang sulit sekali, saya harus berpikir berkali-kali. Mengapa ini terjadi pada saya? Mengapa bukan orang lain? Pemberontakan pertama seperti itu. Pergulatan batin begitu hebat sehingga sampailah saya pada seorang imam, pembimbing religius saya. Beliau sekarang sudah dipanggil Tuhan,” ungkapnya. Tak henti-hentinya ia menceritakan kegelisahannya kepada imam tersebut. Sampai pada satu titik, imam tersebut menyebutnya orang paling bodoh karena kebimbangannya dalam menentukan pilihan.

Berkat dukungan sang istri, ia akhirnya mampu berserah diri kepada Tuhan melalui Doa Sator. “Aku mempersembahkan seluruh hidupku dengan sepenuh hatiku kepada Bapa yang menjadi tempat perlindunganku.” Ia mendaraskan doa ini setiap saat. 

Kini ia hidup dengan satu ginjal. Meski demikian, ia tetap melakukan pelayanan melalui Komunitas Adi Yuswo. “Banyak sekali orang yang berbuat baik kepada saya, mengapa saya tidak berbuat baik kepada orang lain? Ini dasarnya. Banyak sekali mukjizat yang saya terima. Berkali-kali Tuhan memberikan sentuhan kasih-Nya buat saya melalui hal-hal yang unik. Hanya ada satu kepuasan, kebahagiaan jika saya melakukan sesuatu yang membuat orang lain bahagia. Itu saja. Sederhana saja. Saya senang kalau orang lain senang,” ujarnya, sambil menahan tangis.

Bagi pria kelahiran Februari 1958 ini, kuasa Tuhan begitu nyata dalam kehidupannya. “Saya merasakan bahwa apa yang saya lakukan, kalau saya menyadarinya, merupakan kehendak Tuhan sendiri. Tinggal bagaimana saya mengolahnya. Tuhan memberi pilihan-pilihan kepada saya. Tinggal saya memilihnya,” pungkasnya.

Katharina Reny Lestari

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 30, Tahun Ke-78, Minggu, 28 Juli 2024

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini