Konsesi Tambang dan Suara Kenabian KWI

53
Gedung KWI

HIDUPKATOLIK.COM – RENCANA Pemerintah membagikan izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan mendapat tanggapan dari pelbagai kalangan yang bersangkutan.

Rencana Pemerintah tersebut termuat dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) adalah salah satu lembaga keagamaan yang sejak dini menolak untuk menerima tawaran tersebut.

Sikap yang sama kemudian juga disampaikan oleh organisasi kemasyrakatan/lembaga keagamaan lain seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Sejauh ini, argumen penolakan yang disampaikan oleh KWI — dan lembaga keagamaan lain– bahwasanya bidang pertambangan bukanlah wilayah pelayanannya. Wilayah pelayanan adalah bidang kerohanian, sosial, moral, dan lain-lain.

Singkatnya, pelayanan fokus pada bidang iman umat. Argumen lain yang dikemukakan, biarlah bidang tambang dan mineral ini dikelola oleh negara melalui para profesional yang handal demi kebaikan atau kemaslahatan masyarakat yang lebih banyak.

Para pemimpin agama justru menghimbau agar Negara – melalui Pemerintah yang sedang diberi mandat oleh rakyat saat ini dan di masa mendatang – menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara yang mengelola sumber alam dengan sebaik-baiknya sebagaimana telah diamatnkan dalam Konstitusi kita.

Memang, kalau mau dilihat lebih dalam, Pemerintah, melalui tawaran ini, ingin melibatkan lembaga kegamaan/organisasi kemasyarakatan untuk terlibat dalam pengeloaan sumber daya alam sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

Maka, dalam hal ini, lembaga keagamaan/organisasi kemasyarakatan tersebut perlu mempertibangkan secara matang, rasional, profesional, serta risiko atau dampak yang akan ditimbulkannya di masa yang akan datang. Jamak diketahui, dampak dari pengelolaan tambang ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang mendapat sorotan dari pelbagai kalangan.

Pernyataan tegas KWI dan lembaga keagaman lain yang seirama dengannya, pantas diberi apresiasi. Lembaga keagamaan ingin terus setia pada visi dan misinya. Dengan sikap tegas itu, lembaga-lembaga keagamaan tampaknya ingin menempatkan diri sebagai “watchdog” yang akan bersuara keras bilamana terjadi salah pengelolaan sumber daya alam, salah satunya tambang tadi.

Sikap itulah sebetulnya yang diharapkan semua kalangan. Lembaga-lembaga keagamaan menunjukan sikap kritisnya terhadap  setiap kebijakan yang diambil Pemerintah; menjadi suara-suara kenabian yang tak kenal lelah demi kebaikan bersama, keselamatan ekologis dari kerusakan akut. Lebih dari itu, sebagaimana dalam pelbagai kesempatan disampaikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo, tidak membawa-bawa agama dalam bisnis atau pengeloaan tambang.

Sikap yang diambil KWI tegak lurus dengan sikap sekaligus keprihatian Gereja Katolik yang disurakan Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato Si’. Sejak dilansir tahun 2015, Ensiklik ini menjadi rujukan dan panduan – umat Katolik  dan belbagai kalangan – dalam mengelola dan merawat lingkungan hidup (ekologi) dalam arti yang seluas-luasnya. Karena itu, penolakan KWI dan lembaga-lembaga keagamaan lain perlu dilihat dan diletakkan dalam kerangka yang lebih makro dan demi kebaikan bersama, bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk anak-cucu kita.

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.29, Tahun Ke-78,Minggu, 29 Juli 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini