Merawat Tradisi Jawa

64
Pastor Raymundus Sugihartanto, Pr (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN ini, Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus yang terletak di Bantul, Yogyakarta, genap berusia 100 tahun. Puncak acara akan berlangsung pada Agustus mendatang. Namun sebelumnya Paroki Ganjuran telah mengadakan rangkaian kegiatan. Salah satunya adalah Pahargyan Ekaristi Prosesi Agung yang digelar pada Minggu, 23 Juni 2024. 

Bagaimana Paroki Ganjuran merawat tradisi Jawa seturut nilai-nilai kekatolikan? Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Kepala Paroki Ganjuran, Pastor Raymundus Sugihartanto: 

Bagaimana Pastor memaknai 100 Tahun Paroki Ganjuran?

Sebagai saat penuh syukur bahwa ternyata Tuhan memberi rahmat dan berkat sehingga Gereja ini boleh hadir di Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia. Juga dunia, karena mau tidak mau, sebagai sebuah Gereja kami juga diakui dunia dan pernah dikunjungi oleh Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot. Artinya, Gereja ini juga menjadi perhatian Takhta Suci.

Kami memaknai 100 tahun ini sebagai berkat Tuhan atas keterlibatan banyak tokoh, termasuk Keluarga Schmutzer serta para imam, bruder, suster dan utamanya awam yang menjadikan Gereja ini sungguh-sungguh bisa berdiri dan hadir melayani masyarakat.

Ada 101 gunungan pada perayaan hari ini. Mengapa gunungan? 

Gunungan itu tanda syukur bagi para leluhur. Ketika orang merasakan sukacita, maka sebagai tanda kegembiraan mereka mempersembahkan gunungan. Gunungan berasal dari hasil bumi maupun hasil karya dari apa yang telah mereka lakukan. Ini wujud yang dipersembahkan kepada Tuhan.

Paroki Ganjuran kental dengan inkulturasi Jawa. Tanggapan Pastor?

Hati Kudus Tuhan Yesus yang devosinya dikembangkan di Paroki Ganjuran menjadi sesuatu yang menggerakkan hati umat Katolik di seluruh Indonesia. Bahkan bukan hanya umat Katolik tapi juga umat lintas agama. Ini persis yang diharapkan oleh Keluarga Schmutzer ketika membangun candi dengan gaya Hindu, Buddha, dan Jawa serta Katolik dengan Hati Kudus Tuhan Yesus.

Bagaimana Pastor merawat nilai-nilai yang ada dalam tradisi Jawa ini?

Pertama, edukasi melalui katekese atau pengajaran. Kedua, keterlibatan. Hari ini yang terlibat sebagian besar adalah anak-anak BIA sampai orang sepuh. Kami juga melibatkan mereka dalam tugas-tugas Misa mingguan. Kemudian pakaian menjadi cara mengungkapkannya. Ada liturgi yang kami jalani untuk menunjukkan kecintaan kami kepada budaya. Ada Malam Jumat Kliwon, Malam Suro, gunungan, kenduri, dan lain sebagainya. Ini punya nilai-nilai yang bisa kami angkat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Katolik. Jadi kuncinya, setiap hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Katolik, itu yang kami jalani. Ketiga, aksi. Kami mendukung kegiatan-kegiatan bernuansa Jawa. Kami ikut men-support bahkan menjalin kerja sama dengan kelurahan yang melakukan kegiatan-kegiatan budaya. Kami mengadakan alat-alat yang mendukung, seperti gamelan. Kami ikut lomba tingkat kabupaten.

Langkah selanjutnya agar Paroki Ganjuran tetap menjadi wisata rohani yang sarat inkulturasi?

Banyak universitas melakukan studi banding di sini. Kami menawarkan nilai bahwa budaya Jawa tidak bertentangan dengan agama. Bahkan pesantren, Ibu-Ibu dari Muhammadiyah dan NU. Mereka datang untuk belajar tentang bagaimana orang Katolik menghayati budaya. Kami memberi penjelasan bahwa budaya Jawa itu sesuatu yang adiluhung, indah, dan tidak kuno. Tetap bisa dipakai antar-zaman, tetap punya nilai-nilai yang bisa bertahan.

Banyak paroki juga melakukan studi banding di sini. Kami siap memperkenalkan kepada siapa saja tentang berbagai hal yang berkaitan dengan budaya ini.

Oleh Bapak Uskup, Paroki Ganjuran dipakai sebagai laboratorium seni budaya iman Katolik di Keuskupan Agung Semarang. Maka inkulturasi bukan hanya soal pakaian, gamelan. Tapi inkulturasi adalah kehidupan. Hidup yang sungguh-sungguh manjing (memasuki), nresnani (mencintai), dan mengangkat. Ini prinsip inkarnasi. Yesus masuk ke dunia, mencintai, dan mengangkat manusia. Jadi inspirasi utama dari inkulturasi adalah misteri inkarnasi Yesus.

Katharina Reny Lestari

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 28, Tahun Ke-78, Minggu, 14 Juli 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini