Mendidik Para “Ignoramus”

501

HIDUPKATOLIK.COM  – Pengetahuan dan keingintahuan menjadi dua hal yang menarik untuk saya usai membaca tulisan tentang “Ignoramus” (Kompas, 12/5/2024) yang diuraikan Alissa Wahid dan Ben Sohib berjudul “Menembus Ignoramus” (Kompas, 16/6/2024).

Secara harfiah, ignoramus berarti “kami tidak tahu” (we do not know). Dalam bahasa Latin, ignoramus merupakan bentuk jamak orang pertama yang menunjukkan tanda aktif īgnōrō (Saya tidak mengetahui, Saya tidak mengenal, Saya kurang berpengetahuan).

Istilah ignoramus dipopulerkan melalui drama komedi George Ruggle (1615). Drama Renaisans Inggris itu sangat terkenal pada zamannya karena menjadi lelucon atau bahkan “perundungan” (bullying) di dalam perguruan tinggi. Konsekuensi istilah ignoramus dari drama Ruggle itu kemudian digunakan untuk menunjuk pada orang yang bodoh atau orang bodoh.

Alissa Wahid dalam tulisannya mengutip teori Dietrich Bonhoeffer. Opininya itu seolah-olah mengajak kita untuk lebih takut kepada orang bahlul ketimbang orang jahat. Dalam penjelasannya, Bonhoeffer menyimpulkan masyarakat Jerman terinfeksi penyakit bebal akibat kezaliman Hitler. Kezaliman itu menggerus negara Jerman dengan melahirkan orang-orang bebal dan pengecut ketimbang kaum cendekia cemerlang.

Mengutip Alissa Wahid, Ben Sohid menulis juga bahwa orang bebal adalah orang yang tidak memiliki kesadaran atas kehidupan dan karena itu tidak memahami kontribusinya dalam lingkungan di mana ia berada. Dengan kata lain: ignoramus. Jadi, baik Alissa maupun Ben seolah-olah sepakat dengan Bonhoeffer bahwa watak orang bebal menjadi lebih berbahaya ketimbang orang jahat, apalagi saat berkuasa dan menjadi mayoritas.

Merujuk pendapat Bonhoeffer, Pendeta Lutheran Jerman itu, kita akan mengalami kesulitan saat berhadapan dengan kaum ignoramus karena tindakan irasionalitasnya akibat terjangkit kebebalan kolektif (collective stupidity). Dalam kacamata Bonhoeffer, akar persoalan ignoramus adalah absennya kesadaran atas kehidupan, bukan persoalan intelektual dan lebih berurusan dengan moral, sosiologis serta psikologis. Secara etika dan moral, semua kelaliman dan pelakunya berasal dari relung gelap ignoramus.

Ben Sohib mengutip juga contoh-contoh ignoramus yang disampaikan Alissa Wahid mengenai situasi sosial politik di Indonesia yang terpolarisasi oleh kelompok berseberangan. Namun dari contoh yang dipaparkan Alissa, justru Ben merasa reduktif pada contoh-contoh spesifiknya. Dari contoh spesifik itu akan mengasosiasikan ignoramus hanya pada kelompok tertentu saja yang dikhawatirkan menjadi pemikiran sempit (narrow minded) pada sebagian orang.

Namun demikian, Ben sepakat dengan Alissa bahwa kunci untuk melepaskan para ignoramus dari kegelapannya dengan cara membangun kesadaran kolektif demi esensi tujuan kemerdekaan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa. Diharapkan para ignoramus dapat terbebas menembus terang dan tercerahkan (enlightened).

Harmonisasi

Menanggapi persoalan ignoramus itu, menurut saya ada yang dilupakan dari pandangan tokoh-tokoh di atas. Saya menilai seseorang ignoramus merupakan manusia yang masih bertumbuh dan berkembang dalam proses belajar di tengah kehidupan bermasyarakat. Berapapun usianya, mereka merupakan manusia yang sama manusiawinya seperti diri kita yang mudah abai, lalai, egois, keras kepala dan masih mempunyai kelemahan.

Saya menilai kekurangan para ignoramus itu karena masalah dalam mengelola harmonisasi olah pikir, olah rasa, olah hati dan olah raga. Padahal, mereka yang ignoramus dibentuk dalam proses kehidupan yang panjang, sejak lama dan terus berlanjut hingga akhir hayatnya.

Jauh sebelum zaman partai Nazi berkuasa, Musa telah menghadapi bangsa Israel yang dianggap bebal dan tidak bijaksana. Bahkan jelang ajalnya, Musa bersenandung untuk bangsa Israel yang selalu tidak setia kepada Allah. Namun terhadap “kebebalan” bangsa Israel itu kasih setia Allah tidak berhenti tercurahkan untuk umat-Nya. Dari perjalanan sejarah iman bangsa Israel terlihat bahwa Allah tetap setia mengasihi, menyertai, mendidik dan memberkati umat pilihan-Nya.

Saya menilai, kita kadang terlalu cepat menjustifikasi vonis atas para ignoramus dengan menganggap mereka bahlul atau bebal. Seolah-olah para ignoramus lebih berdosa ketimbang yang lain menganggap lebih suci. Selain itu, pelabelan tersebut seperti putus asa bahwa orang bebal tidak bisa diubah menjadi berhikmat dan bijaksana.

Maka pada kesempatan ini perlu diperjelas upaya alternatif untuk mendidik para ignoramus agar menjadi manusia hebat dan berkualitas di tengah masyarakat. Sebelum membangun kesadaran kolektif (collective consciousness) diperlukan lebih dulu untuk membangun kesadaran diri (self awareness) atas realitas kehidupannya (Gramedia, akses 23/6/2024).

Yesus bin Sirakh meminta kita untuk jangan malu mengajar orang bebal dan orang bodoh (Sirakh 42:8). Meskipun pro dan kontra terhadap para ignoramus, namun kita dapat berupaya untuk mendidiknya dengan mengarahkan perhatiannya kepada didikan dan telinganya kepada kata-kata pengetahuan (lihat Kumpulan Amsal-amsal Salomo).

Dalam jenjang pendidikan, keingintahuan peserta didik acapkali dipandang sebagai kaum ignoramus. Sedangkan pendidik dianggap “serba tahu” dalam segala hal. Hal ini menyebabkan implementasi pendidikan hanya berpusat pada pendidik dan bukan berfokus pada peserta didik.

Lantas pertanyaannya, bagaimana kita dapat mendidik para ignoramus dalam membangun kesadarannya (paradigma, tabiat atau karakternya)? Secara khusus dalam kesempatan kali ini dibatasi untuk para ignoramus pada kalangan peserta didik di dalam dunia pendidikan Indonesia.  Diharapkan peserta didik dapat dididik dari awal sehingga nantinya dapat mengatasi tantangan dan hambatan pada dirinya sendiri, maupun saat menghadapi persoalan para kaum ignoramus dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pentingnya Pendidikan

Dalam dunia pendidikan dikenal “Tri Pusat Pendidikan” atau tiga pusat lingkungan pendidikan. Dalam buku Membangun Karakter Unggul Generasi Muda untuk Kemajuan Bangsa (Tim Panitia Ad Hoc Penyusunan Buku, 2016) menuliskan, Ki Hadjar Dewantara membagi tiga lingkungan yang menjadi faktor penting dalam pendidikan, yaitu “lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat atau organisasi”. Para ahli pendidikan sepakat memasukan faktor lingkungan-lingkungan tersebut ke dalam faktor pendidikan.

Sejalan dengan faktor pendidikan itu maka keberadaan para ignoramus menjadi sosok yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Para pakar sepakat, tabiat atau karakter (character) seseorang terbentuk secara perlahan-lahan dan dipengaruhi dalam lingkungan keluarga dan orang sekitarnya (Gramedia, akses 23/6/2024). Dengan kata lain, kehadiran seorang ignoramus bermula dari relasi dalam keluarganya.

Persoalannya, apakah orang tua atau orang dewasa dalam sebuah keluarga telah menyadari “benih” ignoramus sejak dini pada buah hatinya? Bila “iya”, disadari atau tidak adanya potensi ignoramus pada pribadi seorang anak maka pertolongan pertama dapat segera dilakukan oleh orang tua dengan mendampingi sang buah hati, memberikan pengertian yang baik dan benar, tidak menstigmakan “bebal, nakal, bahlul, atau jahiliah” atau negatif lainnya pada diri anak. Namun demikian, orang tua perlu terus menerus mengasihi dan mendidik anak dalam setiap proses tumbuh kembangnya.

Salomo, anak Daud dari Batsyeba mengatakan, anak yang bebal menyakiti hati ayahnya dan memedihkan hati ibunya. Walaupun demikian, kasih sayang orang tua tetap diperlukan dalam mendidik anak dengan hikmat dan kebijaksanaan, mendoakan dan memberkati sang buah hati untuk selalu takut akan Tuhan. Dalam pengasuhannya, orang dewasa dapat membantu anak-anak untuk mengenali dan memahami diri sendiri. Kesadaran diri itu untuk menganut nilai-nilai utama sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan menaati norma-norma bermasyarakat.

Orang tua dan/atau orang dewasa dalam keluarga perlu mengajarkan iman anak untuk taat, bertakwa dan terutama takut akan Tuhan sebagai permulaan pengetahuan, hikmat dan didikan. Dengan kata lain, diperlukan tanggung jawab orang yang lebih dewasa dalam mendidik anak-anak untuk menjadi pribadi berakhlak.

Dalam lingkungan sekolah, para pendidik dapat membantu peserta didik dalam mengelola harmonisasi olah pikir, olah rasa, olah hati dan olah raga. Pendidik berperan penting dalam mendidik peserta didik dengan semangat semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha. Pendidik memberikan teladan kepada peserta didik untuk memiliki kesadaran (olah pikir) bahwa normalnya manusia itu makhluk cerdas, tidak bodoh atau bebal. Dalam teladan hidupnya, pendidik memberikan pengetahuan yang baik dan benar (olah hati) untuk peserta didiknya.

Misalnya, cinta tanah air, pendidik menghadiri upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Saat upacara, pendidik juga memberikan hormat (olah hati dan olah raga) terhadap bendera Merah Putih. Dua teladan sikap pendidik itu dapat membangun kesadaran (olah pikir) atas kehidupan peserta didik untuk mencintai (olah rasa) tanah air dan bangsanya. Namun sebaliknya, pendidik yang tidak memberikan teladan atau bahkan menghasut peserta didik untuk membenci tanah airnya merupakan kesalahan fatal karena merusak harmonisasi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Kedua, Ing Madya Mangun Karsa. Pendidik membangun gagasan kesadaran diri peserta didik untuk memahami realitas kehidupan ini. Pendidik dapat mengonstruksi wawasan (insight) peserta didik yang bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga bertanggung jawab atas kecerdasannya terhadap perasaan, perilaku diri dan relasi sosialnya.

Misalnya, toleransi terhadap umat beragama yang berbeda dengan agamanya sendiri. Pendidik dapat memberikan motivasi kepada peserta didik bahwa menjaga hubungan baik antarumat beragama merupakan bagian kecerdasaan (olah pikir) yang bertanggung jawab (olah hati dan olah raga) dalam implementasinya. Kesadaran diri atas perbedaan keyakinan antarumat beragama itu dapat disikapi dengan mengasihi (olah rasa) antarsesama manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya, pendidik yang mengajarkan kebencian terhadap agama lain merupakan intoleransi keberagaman yang memecah persatuan bangsa dan bernegara.

Ketiga, Tut Wuri Handayani. Pendidik memberikan dorongan dan dukungan kepada peserta didik yang telah terjerumus dalam stereotip ignoramus agar dapat menjadi pribadi yang lebih arif, baik dan benar. Pendidik menggerakkan peserta didiknya untuk memahami (olah pikir) atas kontribusi mereka pada kehidupan di dunia ini.

Misalnya, tujuan belajar bukan sekadar pada hasil nilai dan prestasi akademik saja tetapi juga untuk membangun peradaban manusia agar menjadi lebih maju dan hebat. Pendidik dapat menjelaskan kepada peserta didik bahwa menyenangi (olah rasa) ilmu-ilmu mata pelajaran di sekolah dapat dipergunakan kelak (olah raga) untuk implementasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu hal yang diperlukan terkait itu adalah perubahan mental (olah hati) atas paradigma atau perspektif peserta didik untuk menjadi anak terdidik dan berprestasi. Sebaliknya, mengabaikan ilmu pengetahuan, misalnya dengan terlibat tawuran antarpelajar akan berdampak rusaknya pada citra diri dalam tatanan masyarakat yang berakibat dikeluarkan dari sekolah atau berujung pada hukuman sosial atau dipenjara.

 Pembelajar Sejati

Dengan harmonisasi di atas maka kita tidak perlu malu untuk mendidik para ignoramus, sebab bagi orang bijaksana dan terdidik kita menjadi terpuji dalam membebaskan kegelapan para ignoramus. Sebagai sesama manusia yang mempunyai sisi kemanusiaannya, kita diajak menjadi manusia pembelajar sejati yang terus berupaya untuk dapat lebih baik lagi.

Terkait manusia pembelajar sejati tersebut, almarhum Dosen UIN Syarif Hidayatullah, A. Ilyas Ismail (Republika, 22/6/2015) merujuk pada pemikiran James R. Davis dan Adelaide B.  Davis bahwa manusia pada dasarnya pembelajar yang mencintai hal-hal baru, pemikiran baru dan keterampilan baru. R. Davis menyebut pembelajar sejati (perpetual learner) tidak hanya belajar dan mengembangkan ilmu dari bangku sekolah dan buku teks (textbook), melainkan juga dari pengalaman dan realitas kehidupannya (Managing Your Own Learning, 2000).

Dalam lingkungan masyarakat, para ignoramus menghadapi realitas kehidupan sebenarnya. Sebagai seorang anak atau peserta didik akan diuji dalam tatanan sosial masyarakatnya. Mereka dapat menjadi orang yang terdidik, atau justru  menjadi kelompok ignoramus.

Sebagai anggota masyarakat, peserta didik yang teruji akan bersikap arif terhadap permasalahan sosial karena sebelumnya self awareness telah terbentuk dengan karakter yang memahami realitas atas kehidupannya. Kesadaran diri itu membantunya ketika bergabung dengan kelompok masyarakat dan mengambil bagian dalam kesadaran kolektif.

Persoalannya memang kesadaran kolektif akan riskan terbentur pada kaum ignoramus yang masih terjerembap dalam kegelapan. Menurut saya, kita perlu memiliki kemampuan persepsi yang tajam (discernment), bersikap kritis menilai yang baik dan benar, disertai rendah hati dan empati penuh cinta kasih. Sikap kritis yang disertai kerendahan hati dan cinta kasih diperlukan seseorang dalam menghadapi tantangan dan hambatan para ignoramus di tengah sistem sosial yang ada, khususnya di Indonesia.

Jurgen Habermas dalam buku Rekonstruksi Teori Sosial Modern yang diulas oleh Zainuddin Malik (2012), mengajak kita untuk mempertahankan sikap kritis dalam menghadapi berbagai ideologi, contohnya saat itu kapitalisme. Habermas menawarkan paradigma tindakan komunikatif masyarakat sebagai tujuan universalnya. Teorinya dikenal dengan tindakan komunikasi.

Menurut Habermas, penilaian moral mengandung muatan kognitif, bukan sekadar pernyataan rasa atau praanggapan (presupposition) yang tak tampak, melainkan sebuah isu moralitas serta kekuasaan politik yang dilegitimasi dengan diberi sebuah landasan teori kebenaran. Merujuk Habermas, saya menilai bahwa berpikir kritis diperlukan ketika adanya paradigma irasionalitas yang mempengaruhi komunikasi dengan para ignoramus.

Dengan berpikir kritis diharapkan mengubah paradigma lama para ignoramus menjadi perspektif baru dalam mendesain kebijakan pemahamannya terhadap realitas kehidupan. Proses perubahan itu merupakan komunikasi yang terwujud dalam sikap atau kebiasaan barunya. Dengan kata lain, kesadaran diri atas perubahan tersebut menjadi reaksi atas tindakan barunya dalam hidup bersama masyarakat.

Selain berpikir kritis, saya menilai juga bahwa kita perlu empati dengan penuh cinta kasih terhadap para ignoramus. Hal itu diperlukan bukan karena mereka irasionalitas, melainkan karena kita belum memberikan pemahaman yang masuk akalnya dengan pengertian dan penjelasan argumentasi yang tepat. Rasa empati dengan penuh cinta kasih membuat kita sendiri menyadari kekurangan mereka dengan sabar, penuh kasih sayang dan penuh pengharapan atas sosok ignoramus yang belum memahami realitas kehidupan ini.

Kembali pada pendapat Ben dan Alissa bahwa kunci untuk melepaskan para ignoramus dari kegelapannya yaitu dengan cara membangun kesadaran kolektif. Saya setuju pada kedua tokoh tersebut demi tujuan kemerdekaan Indonesia, mencerdaskan kehidupan berbangsa. Namun demikian, saya merasa perlu menambahkan bahwa membangun kesadaran diri dengan berpikir kritis dapat membantu dalam mengubah paradigma ignoramus. Dengan berpikir kritis dan empati yang penuh cinta kasih, diharapkan para ignoramus dapat terbebas dari kegelapannya dengan menembus terang dan tercerahkan.

Akhirnya, meminjam nasihat Paulus kepada Jemaat di Efesus, kita diajak untuk memperhatikan dengan seksama hidup kita, bukan seperti orang bebal melainkan orang arif yang bijaksana dalam mempergunakan waktu untuk mengerti kehendak Tuhan. Dalam hal ini, para ignoramus diharapkan mendapatkan didikan yang penuh hikmat dan kebijaksanaan untuk membangun kesadarannya terhadap realitas kehidupan ini.

Melki Pangaribuan, Pewarta Mimbar, Analis Pengembangan Peserta Didik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini