Mengendus Makna Seabad WKRI Melintasi Waktu, Membagi Inspirasi

86
Pimpinan WKRI periode 2023-2028: Elly Kusumawati Handoko (tengah) Lusia Willar (kanan), Kho Whie Hong (kiri) berfoto bersama seusai pelantikan tahun 2023. (Dok. Humas WKRI)

HIDUPKATOLIK.COM – KOMPLEKS SD Marsudirini, Yogyakarta pagi itu terasa lengang karena penerimaan raport sedang berlangsung. Suster Rachel, OSF menerima kedatangan HIDUP lalu menunjukkan ruangan bersejarah yang menjadi tempat deklarasi berdirinya organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI).

Gedung SD Marsudirini, Yogyakarta, saat ini. (HIDUP/Naning Murwaningsih)

Terletak di bagian depan, persis di belakang pintu masuk utama, ruangan ini menyimpan banyak kisah dinamika perjalanan Poesara Wanita Katholiek (cikal-bakal WKRI). “Suasana ruangan dan komposisinya tidak mengalami banyak perubahan sejak digunakan sebagai ruang deklarasi Poesara Wanita Katholiek,” kata Suster Rachel.

Dari penelusuran sejarah diketahui bahwa deklarasi pendirian organisasi wanita itu dilakukan pada tanggal 26 Juni 1924. Deklarasi dilakukan di biara susteran Fransiskanes, Kidul Loji ini oleh R. AY. Maria Soelastri Soejadi Darmasepoetra Sasraningrat. Hadir dalam pertemuan itu 20 orang wanita (gadis dan ibu) alumni dan mantan Sekolah Mendut.

Dorongan Awal

Kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari peran R. AY. Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat Darmaseputra yang lahir 22 April 1898. Dia putra ke-5 (puteri ke-3) dari Pangeran Sasraningrat, Putra Mahkota Sri Paku Alam III dan adik kandung R.A.J. Sutartinah (Nyi Hadjar Dewantara).

R. A,. Y. Maria Soelastri Soedjadi Darmoseputro

Sejak kanak-kanak sampai remaja, Soelastri telah belajar banyak hal. Minat belajarnya pada kebudayaan bangsa lain, kebudayaan Barat, dan aktivitasnya, didukung oleh budi pekerti dan kecerdasannya telah membentuk karakter pribadinya sebagai seorang yang peduli pada sesama. Hal ini makin menguat karena kehidupannya dekat dengan dinamika pergolakan dan perubahan pada zaman penjajahan Belanda. Pengalamannya melihat situasi makin membuatnya ingin tahu banyak hal dan menggerakkan hati untuk membantu rakyat yang tertindas, khususnya kaum wanita.

Perjumpaan dengan Pastor Van Lith, SJ yang sering mengunjungi ayahnya untuk balajar kebudayaan Jawa makin mengasah kedewasaan berpikir, kematangan jiwa, dan tumbuhnya iman Katolik. Pastor Van Lith juga mendirikan sekolah yang bertujuan meningkatkan martabat kaum waniita dengan pendidikan dan keterampilan, Soelastri telah menerima ajaran kristiani dan nilai-nilai kemanusiaan di Europee Meisjesschool dari tarekat Suster Fransiskanes Kidul Loji Mataram, Yogyakarta. Ditambah dengan perjumpaannya dalam diskusi-diskusi dengan para pastor misionaris telah tergugah hatinya untuk melakukan sesuatu. Dia ingin menghadirkan Gereja secara nyata di tengah masyarakat khususnya melalui kehadiran dan peran para perempuan.

Panggilan Berbakti

Panggilan untuk menyumbangkan kemampuannya kepada Gereja dan masyarakat didukung oleh ketajaman pengamatannya atas situasi waktu itu. Pernikahannya dengan Jacobus Soejadi Darmosapoetro yang bekeja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan turut mengembangkan jiwa patriotiknya. Suaminya mempunyai ideologi politik melawan politik kapitalis kolonial. Pemahaman perjuangannya makin bertambah saat suaminya menjadi anggota parlemen Belanda, mewakili seluruh umat Katolik pribumi di Hindia Belanda.

Suara perjuangan suaminya dalam parlemen menentang “Kweekschool Plan” yang akan merugikan sekolah misi Katolik terutama di Nusa Tenggara; ikut serta mengadakan “Huwelyks Wetgering voor Inlandse Cristen Inlander”; menentang Vlootwet yang akan mengancam dan menindas kehidupan ekonomi rakyat pribumi.  Hal itu terus diperjuangkan meski dengan kesadaran menentang mayoritas menteri Belanda yang Katolik namun tidak menerapkan azas iman Katolik. Soelastri menjadi teman diskusi suami dalam memperjuangkan hal tersebut.

Salah satu yang diperjuangkan Soelastri adalah martabat pekerja wanita di pabrik cerutu dan pabrik gula yang situasinya buruk. Buruh perempuan kurang mendapat hak hidup yang layak, mengalami penindasan, krisis moral, ketidakadilan, sementara upah yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Keprihatinan dan bela rasa mendalam itulah yang mendorong lahirnya organisasi Poesara Wanita Katholiek. Gereja harus menjadi tanda dan sarana keselamatan, tanda kehadiran Allah yang nyata di tengah masyarakat.

Dengan pemahaman mengenai Ensiklik Rerum Novarum dorongan mendirikan oganisasi baru itu menguat dan bertekad meningkatkan martabat kaum pekerja wanita. Organisasi yang dilahirkan itu bertujuan meningkatkan kemampuan wanita dari segi intelektual dengan mengajarkan membaca dan menulis serta menyediakan bahan bacaan yang makin membuka wawasan pengetahuan wanita saat itu.

Perkembangan Organisasi

Upaya memperjuangkan idealisme tidak mudah karena kondisi wanita saat itu terpuruk. Namun, karena kesabaran, ketelatenan, kegigihan dan pengorban dalam semangat juang yang tinggi akhirnya kerinduan mereka terwujud untuk membantu para wanita Indonesia. Hal ini juga didukung dengan situasi zaman itu, dimana muncul banyak organisasi wanita yang bertujuan senada di Sulawesi, Sumatra, Bali, Madura, dan Jawa. Meski masih bersifat kedaerahan, namun organisasi-organisasi itu bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran, perbaikan kedudukan dalam perkawinan dan keluarga, meningkatkan kecakapan sebagai ibu rumah tangga.

Pelepasan balon ke udara pada perayaan 100 tahun WKRI DPD Sulawesi Utara di Manado. (Foto: Lexie Kalesaran)

Setelah berdiri, organisasi ini mulai melakukan berbagai penataan untuk mendukung karya yang dilaksanakan. Bersama dengan enam organisasi wanita lainnya, seperti Wanita Aisyiah, Wanito Oetomo, dan Wanita Taman Siswa, Poesara Wanita Katholiek menginisiasi terlaksananya Kongres Perempuan Indonesia Pertama, 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan upaya fenomenal karena menjadi forum menyatukan langkah untuk memperjuangkan hak-hak perempuan bersama-sama. Momentum ini melahirkan peringatan Hari Ibu sebagai kesadaran bangkitnya nasionalisme kaum ibu untuk melawan penjajahan. Dibentuknya Kongregasi Maria di setiap paroki untuk memenuhi kebutuhan rohani anggotanya menjadi model yang dilakukan WKRI sampai sekarang.

Sejak Poesara Wanita Katholiek, kemudian menjadi Pangreh Ageng Wanita Katholiek (1934, di Surakarta), lalu Pakempalan Wanita Katholiek, dan akhirnya menjadi Wanita Katolik Republik Indonesia (1950). Sejak saat itu pergerakan WKRI yang semula bercorak kedaerahan akhirnya bercorak nasional atas anjuran Mgr. Soegijpranata, SJ. Sebagai buktinya dilakukan pemindahan pusat organisasi dari Yogyakarta ke Jakarta pada tahun 1953.

Tantangan ke Depan

WKRI makin dikenal kontribusinya kepada bangsa, negara, dan Gereja oleh karena karya yang dihasilkannya dari waktu ke waktu. Menghidupkan organisasi ini merupakan sebuah aksi Katolik yang nyata untuk berkontribusi terhadap bangsa dan negara. Jika pada awalnya WKRI beranggotakan para guru dan buruh, maka setelah seabad keberadaannya situasi jauh berbeda. Anggota WKRI saat ini banyak perempuan bekerja. Mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri di luar rumah yang tidak dapat ditinggalkan.

WKRI menetapkan visi saat ini, “Organisasi yang mandiri, bersifat sosial aktif, memiliki kekuatan moral dan kemampuan yang andal dalam menjalankan karya pengabdian untuk mewujudkan kesejahteraan bersama serta menegakkan harkat dan martabat manusia.” Dengan menimbang kebutuhan pelayanan bagi bangsa dan negara saat ini serta masa depan, beberapa hal berikut ini merupakan upaya mewujudkan komitmen pelayanan. Ada gerakan mencintai lingkungan hidup, gerakan membuat kampung Bineka, Gerakan Lintas Mentari, Gerakan dari Ibu untuk Indonesia, pengembangan modul pemulihan psikososial,  dan sebagainya.

Uskup Tanjungkarang, Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo menerima potongan tumpeng dari Ketua DPD Lampung, Elisabeth Sri Puryanti pada perayaan 100 tahun WKRI. (HIDUP/Fransiska, FSGM)

Melihat kondisi anggota WKRI pada saat ini, dengan segala hasil karya yang ditunjukkan serta pengalaman yang dimiliki, tampak bahwa WKRI makin menegaskan langkah sebagai organisasi nasional yang sungguh berkomitmen menghidupi ajaran Gereja Katolik dan melaksanakannya dalam karya. Penziarahan panjang organisasi ini dengan segala jatuh bangunnya selama satu abad ini memang sungguh membuktikan Gereja hadir di tengah masyarakat.

Veronika Murwaningsih (Kontributor, Yogyakarta)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.26, Tahun Ke-78, Minggu, 30 Juni 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini