Pater Franz Magnis Suseno, SJ: Saya Merasa Miskin Kalau Tidak Ada Misa

154
Pater Franz Magnis-Suseno, SJ

HIDUPKATOLIK.COM – TURUN dari mobil yang mengantarnya ke kampus STF Driyarkara,  bilangan Cempa Putih, Jakarta Pusat, Pastor Franz Magnis Suseno, SJ mengambil rangsel dan mengembloknya. Dengan tongkat di kanan, ia berjalan menuju ruang kerjanya di Lantai 3 gedung Pasca Sarjana, Senin, 20/5/2024, pukul 08.15.

Pater Franz Magnis-Suseno SJ usai menerima wayang dan piagam sebagai cendera mata dalam Simposium nilai-nilai Pancasila. (Ist.)

Rangsel itu tampak penuh. Tapi ia tak minta bantuan supir yang mengatarnya. Mei ini, Guru Besar Emeritus ini akan merayakan HUT Ke-88. Kendati tak mengajar rutin lagi, Pater Magnis atau Romo Magnis sapaannya, mengaku tak kurang pekerjaan. Berikut petikan wawancara wartawan HIDUP/HIDUPtv dengan kelahiran Jerman, 26 Mei 1936.

Apa makna bertambahnya usia bagi Pater?

Bagi saya, itu sesuatu yang tidak saya pikirkan. Karena saya sibuk menyelesaikan segala macam pekerjaan dan permintaan. Apakah saya berumur 87 atau 88 tahun, itu terserah pada Tuhan.

Artinya HUT itu sesuatu yang biasa saja?

Bagi saya itu biasa saja. Tidak perlu dirayakan.

Apakah tiap HUT ada ucapan dari keluarga di Jerman?

Saya punya dua adik. Saya kira mereka akan kirim WA. Tapi, tentu itu sedikit dirayakan dalam komunitas Jesuit, di Kolese Hermanum. Biasanya makan malam bersama. Kali ini akan dirayakan di kampus STF Driyarkara ini.

Di usia mendekati 90 tahun ini masih beraktivitas seperti mengajar, memberi seminar dan lain-lin. Bagaimana Pater menjaga stamina supaya tetap kuat, sehat, dan bahagia?

Sekarang ini, secara teratur saya tidak mengajar lagi. Saya hanya mengajar sedikit di matrikulasi. Saya sudah terlalu tua. Kalau yang tua-tua terus mengajar, kapan yang muda-muda mengajar. Tapi, saya masih banyak diminta menjadi pembicara dalam seminar. Kalau orang merasa butuh, saya penuhi. Saya juga masih mau menerbitkan 2-3 buku yang harus saya persiapkan. Jadi, pekerjaan tidak kurang.

Idealisme masih tinggi?

Selama bisa, ya kerjakan. Kalau sudah tidak bisa lagi, ya terima saja. Saya kira penting juga menerima bahwa kita menjadi tua. Apalagi di Indonesia, menjadi tua itu menguntungkan. Di sini, orang besar hati dengan orang tua, memaafkan, mengerti, membantu. Jadi enak menjadi tua. Ya, bahagia.

Bagaimana Pater memaknai kebahagiaan?

Terus terang saja, saya tidak pernah memikirkan kebahagiaan saya. Enggak punya waktu untuk saya pikirkan. Saya kira saya merasa bahagia. Pokoknya saya masih banyak pekerjaan. Rupa-rupanya saya masih bisa memenuhi kebutuhan orang lain. Itu memuaskan juga. Itu saja. Jadi saya, tidak memikirkan apakah saya bahagia atau tidak.

Bukankah kebahagiaan juga dipikirkan para filsuf?

Ya. Aristoteles mengatakan, tujuan manusia adalah menjadi bahagia. Akan tetapi tidak bisa tercapai kalau mau menjadi bahagia. Tetapi dengan mengembangkan roh dan mengembangkan kesosialan; hubungan dengan orang lain. Bisa dari keluarga, bisa dari teman, bisa dalam pekerjaan. Pokoknya, kita akan merasa bahagia kalau bisa membahagiakan orang lain. Kebahagiaan itu di orang lain bukan sendiri.

Selama menjadi Jesuit, apakah merasa bahagia?

Katakan saja bahwa saya tidak pernah tidak merasa bahagia.  Jadi itu berarti bahagia (tersenyum).

Konon, seorang Jesuit harus bisa menemukan Allah dalam segala bidang atau bentuk karya. Pater di bidang filsafat. Apakah menemukan Allah itu dalam filsafat?

Ini kan suatu hal yang lama-lama perlu dihayati. Bisa dengan mudah kami, para Jesuit diajar menemukan Allah  dalam segala-galanya. Itu tentu bisa gampang, bisa tidak gampang. Gampang karena kita tidak perlu memaksakan sesuatu. Tidak gampang karena itu kita mengandaikan kita melepaskan diri kita sendiri.

Kalau saya mencari keuntungan kekuasaan, pemenuhan perasaan saya, tidak berarti saya bersama dengan Tuhan. Diharapakan bisa bersama dengan Tuhan bukan dengan diri saya sendiri. Saya kira seorang Jesuit, tidak hanya Jesuit, akan merasakan bahwa apa yang dia alami termasuk, dengan kesalahan, dosa itu, Tuhan beserta dia. Itu memberi suatu kebahagiaan juga.

Apakah rutin mendoakan brevir atau misa tiap hari?

Saya tentu selalu tiap hari. Misa komunitas secara teratur, misa pribadi, juga rutin misa dalam komunitas berbahasa Jerman, dan sebagainya. Misa dalam arti tertentu adalah pusat setiap hari. Saya akan merasa miskin kalau tidak ada Misa. Kurang sesuatu.

Dari Latihan Rohani, apa yang Pater paling sukai?

Saya sudah tidak punya Latihan Rohani yang khusus. Saya mencoba untuk selalu mengikutsertakan Tuhan. Apapun yang saya alami yang saya kerjakan. Menjadikan hidup sehari-hari suatu doa. Saya juga mendoakan brevir setiap hari, Misa tiap hari, doa pagi dan malam tiap hari. Di dalam doa-doa itu, saya doakan banyak sekali orang yang dekat dengan saya, termasuk yang minta didoakan. Tidak berarti kalau saya tidak berdoa, saya lepas dari Tuhan. Tidak seperti mengembalikan kontak. Dalam arti tertentu, saya percaya Tuhan selalu bersama saya.

Masih ada hubungan dengan keluarga di Jerman?

Saya masih ada dua adik. Saya dekat dengan kedua adik. Kami samua dekat dalam keluarga. Tidak pernah ada masalah. Kadang-kadang bisa komunikasi dengan mereka, kirim foto dan sebagainya.  Tapi saya tidak akan ke Jerman lagi. Bagi saya, perjalanan itu terlalu berat. Bagi saya repot pergi ke luar negeri. Pergi dalam negeri saja sudah agak susah. Apalagi kalau ke Jerman, saya harus cari visa, dan segala macam itu. Itu sudah tidak perlu. Apalagi dengan WA bisa berkumunikasi.

Kalau sedikit nostalgia, mengapa memilih datang ke Indonesia mengingat Pater dari keluarga berada, bangsawan?

Saya kira harus dibedakan. Pertama, tentu saya menjadi Jesuit. Saya menjadi Jesuti, saya kira itu panggilan yang sangat dini. Saya tidak tahu, apakah ketika anak saya sudah mau menjadi imam. Pada umur 10 tahun, 1946, saya ditempatkan di Kolese Jesuit. Gymnasium. Sepertinya dengan masuk di situ mau menjadi Jesuit. Di situ saya akhirnya masuk Serikat Jesus.  Kedua, ke Indonesia, itu sesuatu yang lain. Saya sudah lima tahun menjadi frater Yesuit, 2 tahun novisiat, 3 tahun filsafat. Jesuit Selatan,  di mana saya masuk Serikat Jesus, mempunyai misi di Indonesia. Oleh pimpinan Jesuit di Roma, diminta mengirim misionaris ke Indonesia menggantikan misionaris Belanda. Karena Belanda tidak dapat visa lagi ke Indonesia karena masalah politik. Misionaris Belanda lalu pergi ke Libanan.

Pater Franz Magnis-Suseno, SJ

 

Saya sebetulnya tidak merasa terpanggil meninggalkan Jerman, tapi ada yang medorong saya untuk pergi ke Indonesia. Sudah ada beberapa frater Jerman di Indonesia. Mereka sangat semangat. Tetapi mereka menceritakan sesuatu yang rupa-rupanya, komunis berkembang di Indonesia, mereka takut Indonesia menjadi komunis. Karena waktu itu PKI kuat di Indonesia. Di Jerman waktu itu, di samping studi filsafat, saya ikut satu kelompok yang secara intensif studi Marxisme, Leninisme, bahasa Rusia. Kami Jesuit, punya prinsip, harus tahu bagaimana musuh berpikir. Musuh terbesar Gereja Katolik adalah Komunisme saat itu. Karena itu selalu ada Jesut yang mempelajari teori Komunisme secara mendalam. Di Eropa ada beberapa ahli saat itu. Saya pikir, di Jerman tidak perlu tambah satu ahli lagi. Mungkin Gereja Indonsia baik kalau ada orang yang tahu teori Komunisme lalu saya melamar tahun 1959. Oleh pimpinan saya di Roma, lamaran diterima. Saya dikirim ke Indonesia tahun 1961.

Apa yang positif dari Komunisme itu?

Tidak ada yang positif waktu itu. Bagi saya, Komunisme itu suatu ideologi yang jahat. Komunisme paling banyak membunuh orang.

Kita melihat ke Indonesia saat ini. Pater terus menyuarakan ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Apa yang mendorong Pater. Pekan lalu ikut juga Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka?

Sebetulnya itu karena saya diminta. Saya katakan, saya punya keahlian, fokus pada etika pada umumnya, etika politik. Saya sedikit menguasai teori mengenai negara, hukum, demokrasi, dan sebagainya. Tapi, kalau saya omong itu, selalu ada permintaan orang. Misalnya saya salah satu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai ahli waktu itu. Saya diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang etika. Saya tidak bicara mengenai Jokowi. Saya menjelaskan apa itu etika, dan mengatakan, kalau hal-hal seperti ini terjadi tidak etis. Apakah terjadi, itu bukan urusan saya.

Jadi sebagai ilmuan ya?

Saya anggap itu kewajiban apabila orang minta bantuan saya. Saya bisa berikan. Buat apa saya ahli kalau menolak, atau takut-takut bicara nanti dapat apa. Saya tidak peduli itu. Saya akan mengatakan yang saya pikirkan.

Omong-omong, apakah Pater masih rajin olahraga, jalan kaki, jogging?

Sejak setengah tahun lalu, lutut saya dioperasi, sekarang saya belum bisa jalan betul. Untuk tangga masih perlu tongkat. Sebentar lagi saya umur 88, ya masih bisa jalan, bisa tidak. Olahraga saya sudah tidak bisa, tapi sedikit olahraga masih bisa juga.

Kapan terakhir naik gunung?

Tahun 2011. Saya senang itu. Gunung kesayangan saya Gunung Merapi. Untuk ke-12 kalinya saya daki. Saya daki sesudah ledakan terakhir 500 tahun sebelumnya. Ledakan besar itu. Waktu itu, kaki saya sudah sedikit susah. Turunnya itu susah. Biasanya saya sendiri ke Merapi. Saya cari seorang penunjuk jalan. Sore hari kami ke atas. Berkemah di Pasar Bubrah. Pagi berikut naik ke atas. Di atas berubah sama sekali. Itu suatu kebahagiaan duduk di atas. Agak menakutkan melihat kawah di bawah dengan dua tiga lobang yang berasap itu. (Wawancara lengkap dengan Pater Magnis dapat disimak di Kanal HIDUPtv)

Hasiholan Siagian

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 21, Tahun Ke-78, Minggu, 26 Mei 2024

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini