Menyoal Etika Pergaulan Kaum Berjubah

1366

HIDUPKATOLIK.COM  KABAR (dugaan) relasi khusus antara kaum berjubah dan kaum awam ataupun antara sesama kaum berjubah terus kita dengar. Kasus-kasus skandal relasi yang melibatkan kaum berjubah seolah mengalir tanpa akhir, juga dalam lingkup Gereja Katolik di Indonesia. Diduga, jumlah kasus yang terjadi lebih besar daripada kasus yang mencuat ke publik. Ini fenomena gunung es.

Menanggapi fenomena ini, pendapat kita terbelah menjadi tiga kubu. Kubu pertama menyalahkan kaum awam yang dipandang “genit” atau diposisikan sebagai “penggoda”. Kubu kedua menuduh kepada kaum berjubah yang tak serius menjaga komitmen pada Allah. Kubu ketiga berpandangan, skandal diakibatkan oleh dua pihak, yakni kaum berjubah dan awam yang sama-sama memberikan konsensus secara sadar.

Batasan relasi

Pelayanan pastoral gerejawi memiliki kesamaan ciri dengan pelayanan sosial lainnya. Dalam pelayanan sosial antara konselor dan klien, ada batasan relasi (boundary) yang perlu ditaati. Idealnya, hubungan profesional tidak boleh dicampur-adukkan dengan hubungan personal.

Hubungan ganda terjadi ketika seorang profesional melibatkan klien dalam peran lain di luar hubungan konseling (Reamer, 1998). Seorang konselor idealnya tidak memerankan hubungan ganda dengan kliennya di luar konteks profesional.

Masalahnya, praktik pelayanan pastoral gerejawi sering berkelindan dengan relasi pribadi yang intens antara pelayan dengan umat selaku klien. Tambah lagi, kultur Timur di negeri kita cenderung menganggap bahwa pelayan pastoral yang baik adalah yang justru sangat dekat dan terlibat dengan umat yang menjadi klien.

Keterbatasan SDM dalam pelayanan gerejawi menambah ruwet problem pembedaan relasi konselor-klien ini. Seorang klien bisa jadi adalah sekretaris paroki sekaligus aktivis gereja yang sering berjumpa dengan imam atau kaum berjubah lain dalam aneka perjumpaan. Mustahil memisahkan relasi profesional dan personal dalam konteks tertentu.

Memang benar, sangat sulit untuk sungguh membedakan relasi profesional dan personal. Akan tetapi, keberanian menegaskan batasan relasi sangat dituntut dari sosok kaum berjubah maupun umat yang dilayani. Dua pihak perlu terus berkaca: Apakah kedekatan “saya” dengan “dia” masih wajar dalam batasan profesional atau sudah menjadi terlalu personal?

Etika Pastoral

Etika pastoral merujuk pada tuntutan-tuntutan moral yang muncul dari pelaksanaan profesional pelayanan pastoral. Sederhananya, etika pergaulan pelayan pastoral. Etika pastoral ini adalah pendatang baru dalam dunia etika profesional. Sangat sedikit denominasi religius yang telah mengembangkan kode etik pastoral (Gula, 1996). Baru pada tahun 2002, Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat (USCCB) secara serius menetapkan etika pastoral dalam pelayanan gerejawi.

Ada perbedaan pemahaman mengenai citra imam yang ideal setelah munculnya kesadaran baru akan etika pastoral. Sebelumnya para imam berinteraksi dengan umat dan konseli di rumah umat atau di mana saja mereka bertemu. Imam yang akrab tadinya dimaknai sebagai imam yang mudah didekati dalam segala suasana dan lokasi (Greeley, 1990).

Perubahan paradigma perlahan terjadi, khususnya dalam praksis pastoral di Amerika utara. Kode etik pastoral mewajibkan para imam untuk memberikan pelayanan sesuai dengan tugasnya di kompleks gereja.

Beberapa keuskupan AS dalam Virtus Code menyatakan, tidak boleh diadakan konsultasi dengan imam di tempat tinggal pribadi. Apakah kaum berjubah yang menginap di rumah umat (dan tuan rumah) tidak sadar akan risiko ini? Jika tidak sangat terpaksa, hendaknya dihindari situasi berisiko semacam ini.

Kode etik pastoral menunjukkan bahwa lokasi konseling di luar gereja dapat meningkatkan risiko salah menafsirkan hubungan antara tenaga pastoral dengan umat. Pengaturan yang tepat dapat mengurangi risiko tuduhan maupun terjadinya pelanggaran.

Tak Makan Tanaman

Kaum berjubah mendapatkan kepercayaan untuk turut serta dalam penggembalaan umat. Para imam menjalankan fungsi sebagai gembala penjaga domba-domba. Pantang bagi imam dan biarawan untuk malah menjadi pagar yang makan tanaman.

Kita semua, terlebih yang berkecimpung dalam reksa pastoral, dipanggil untuk menjaga kekudusan perkawinan dan hidup membiara. Tugas imam dan kaum berjubah lainnya adalah membina keluarga, bukan justru merusak keluarga. Tugas suami dan istri adalah menjaga keutuhan keluarga, bukan menghancurkannya dengan relasi dengan pihak lain, termasuk kaum berjubah.

Richard M. Gula dalam Etika Pastoral mewanti-wanti, “Mencampuradukkan agenda seksual pribadi dengan agenda profesional merupakan tindakan yang melampaui batas etika […] Karena representasi simbolis dalam diri pelayan-pelayan pastoral, maka “korban” seksual seorang pelayan pastoral dapat dianggap dieksploitasi oleh Gereja atau bahkan oleh Tuhan.”

Ketimpangan kuasa dalam hubungan antara tenaga pastoral dari kaum berjubah dan awam perlu diwaspadai. Kekerasan seksual dapat terjadi dalam aneka perwujudan, termasuk obrolan, pandangan, dan sentuhan tak pantas. Menganggap hal-hal tersebut sebagai normal dan sebatas candaan – sejatinya sangat tidak wajar.

Urgensi Etika Pastoral

Akar dari semuanya adalah edukasi, baik bagi (calon) petugas pastoral maupun awam. Edukasi etika pastoral menjadi sangat mendesak untuk melindungi kaum berjubah dan awam dalam relasi yang sehat.

Masalahnya, apakah sungguh etika pastoral ini pernah dirumuskan dan diajarkan dalam pembinaan kaum berjubah, sekaligus bagi kaum awam sebagai pedoman kesusilaan? Idealnya, setiap lembaga gerejawi membuat etika pastoral untuk mengawal perilaku pelayan pastoral.

Untuk mencapai status perumusan formal, tampaknya jauh dari harapan. Ada perbedaan “jarak interpersonal” antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Umpama, di suatu daerah masih dianggap wajar pria dan wanita berboncengan. Di daerah lain, pria-wanita yang bukan pasutri ngobrol bersama sudah dikategorikan sebagai pelanggaran.

Akan tetapi, toh tetap ada batasan minimal relasi petugas pastoral dan kaum awam yang dilayani. Akal sehat dan moralitas Katolik kita telah menyediakan dasar pedoman etika pastoral. Suara hati kita terus menyerukan yang baik untuk ditaati.

Pada zaman sebelum Konsili Vatikan II, ada regula tactus. Kaum berjubah tidak menyentuh lawan jenis, kecuali dalam kondisi darurat atau atas izin pimpinan. Saat ini regula tactus tak lagi menjadi pedoman. Tentu kita tak bermaksud serba menyanjung masa lalu.

Yang penting dilakukan adalah pembinaan kesadaran dalam diri kaum berjubah dan juga umat. Sentuhan dan pelukan bisa ambigu. Sentuhan bisa menyembuhkan, namun juga bisa menjerumuskan. Yesus juga menyentuh dan dekat dengan siapa saja, namun selalu dalam rangka pelayanan publik.

Pelayan pastoral perlu sadar diri. Richard M. Gula dalam buku Etika Pastoral telah membuat daftar introspeksi. Antara lain, apakah seorang pelayan pastoral dengan mudah mengubah jadwal demi melayani orang tertentu. Atau, memindahkan tempat konseling dari pastoran ke tempat yang “lebih romantis”.

Banyak penyelewengan bisa kita cegah bila kita berdisiplin diri menjunjung etika pastoral. Skandal terjadi karena dua pribadi yang “bersepakat”. Dalam relasi yang ditandai ketimpangan kuasa, kaum berjubahlah yang semestinya lebih waspada agar dirinya tak jadi pagar yang makan tanaman. Semoga!

Banyak penyelewengan bisa kita cegah bila kita berdisiplin diri menjunjung etika pastoral. Skandal terjadi karena dua pribadi yang “bersepakat”.

Oleh Pastor Bobby Steven Octavianus Timmerman, MSF
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3 KOMENTAR

  1. Artikel ini sangat bagus dan saya sepakat. Panggilan Tuhan terhadap kaum berjubah yg sangat mulia dan istimewa. Tidak diduga akhirnya banyak runtuh dan gugur karena kedekatan pribadi yg tidak terkontrol.
    Kaum awam merasa diri mendapat pelayanan istimewa dan kurang bahkan tidak menyadari rambu- rambu hubungan kedekatan yang malah merusak dan menghancurkan panggilan dan pilihan Tuhan itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini