Via Crucis Sukamoro: Ruang Renung bagi Jiwa

97
Taman Doa Sukamoro di Palembang, Sumatera Selatan. (Foto: HIDUP/Elis Handoko)

HIDUPKATOLIK.COM – VIA Crucis Sukamoro terletak di Daerah Banyuasin. Jaraknya sekitar 16 kilo meter dari pusat Kota Palembang, Sumatra Selatan. Kompleks dengan luas sekitar 1,5 hektare ini didesain dengan bentuk Classic Middle East. Bangunan didominasi kombinasi bentuk garis lurus, kubus, dan lengkung. Misalnya, bentukan pintu gerbang, yang merepresentasikan gerbang Kota Yerusalem yang megah nan agung. Di atasnya, hadirlah dua figur malaikat yang siaga, seakan menjadi penanda, bahwa Allah selalu menjaga dan menolong anak-anak-Nya memasuki kota suci-Nya.

Sekeompok peziarah dari Keuskupan Tanjungkarang, Lampung tengah mengikuti ibdat jalan salib di Taman Doa Via Crucis Sukamoro, Palembang, Sumatera Selatan. (Foto: HIDUP/Sr. Fransiska FSGM)

Keempat belas stasi terhubung oleh lorong dan flooring yang terbuat dari susunan batu plaras. Stasi-stasi, yang merupakan rekaan adegan dari empat belas momentum jalan kesengsaraan Tuhan itu, dibangun dengan bentuk setengah lingkar ukuran 6×4 meter. Patung-patung adegan kisah sengsara, yang berdiri di atasnya, diberi latar belakang sesuai dengan peristiwa asli. Setting khas itu ditampilkan dengan ruang-ruang simbolik kerajaan, suasana perkotaan Yerusalem, dan jalan-jalan mendaki Bukit Tengkorak.

Si arsitek kiranya menyadari, karya seni rancang bangun ini merupakan sebuah media komunikasi iman bagi khalayak. Karya seni religi ini merupakan ruang renung bagi penziarah, agar penghayatannya akan kisah sengsara Yesus Kristus semakin mendalam dan membumi. Dan, inilah narasi singkat dalam menangkap pesan rohani di ruang renung Via Crucis Sukamoro.

Dari Getsemani

Ketakutan dan ketaatan datang silih berganti. Itulah pergumulan dahsyat Yesus sebagai anak manusia pada malam kelam Getsemani. Kuasa gelap menyergap, membujuk-Nya untuk menghindari petaka. Namun, kuasa kasih Bapa lebih kuat memeluk-Nya. Atas nama kasih itulah, Sang Putra taat pada kehendak Bapa dan mengambil cawan penderitaan (Luk 22:42).

Getsemani menjadi saksi pergumulan batin Yesus. Dia ngeri membayangkan adegan Kalvari esok hari. Di taman inilah penderitaan-Nya dimulai. Sudah terasa bau amis darah, saat Petrus menetak kuping Malkus. Sudah terasa aroma pengingkaran, saat Para Murid tertidur sementara Tuhan berdoa dan berpeluh darah.

Di Getsemani pula binar belas kasih Yesus mulai terpancar, kendati diri-Nya sendiri terancam. Yesus mengobati telinga Malkus. Dia pun dengan sabar mengingatkan Para Murid agar berdoa, supaya tidak jatuh. Namun, kendati belas kasih memancar, Yesus tetap ditangkap dan diadili, bahkan dihukum mati.

Gambaran pengantar demikian ini kiranya perlu kita miliki ketika menziarahi Via Crucis Sukamoro. Di sebuah pelataran yang asri, kita diundang masuk ke ruang renung pribadi, sembari memandang Yesus yang berdoa di Taman Getsemani. Di sinilah penziarah seperti ditegur, tak perlu tergesa untuk segera menapaki perhentian pertama, saat Yesus dihukum mati.

Benamkan sejenak batin kita dalam perasaan Tuhan yang bersengsara; ketakutan-Nya, kengerian-Nya, ketaatan-Nya, dan kasih-Nya. Benamkan kemanusiawian kita ke dalam misteri kasih-Nya. Berdoalah bersama-Nya. Haturkan pengharapan penziarahan kita! Mintalah izin kepada-Nya, agar diperkenankan belajar di jalan salib-Nya.

Kekarib Tuhan

Menyusuri perhentian demi perhentian jalan salib ini sebenarnya kita sedang menyimak detail Jalan Tuhan. Di setiap perhentian, wajah-Nya tampil sedemikian close up, jelas, dan lugas. Teriakan sunyi dari raut diam itu makin menyesak, yakni ketika kita bisa menemukan sudut yang pas dalam memandang drama penyaliban itu.

Para imam berfoto bersama di Taman Doa Via Crucis Sukamoro, Palembang, Sumatera Selatan. (Foto: Dok Jatra Kelana)

Satu hal yang menohok kesadaran, jalan itu merupakan jalan senyap. Prosesi penyaliban itu jauh dari keriuhan khalayak, yang oleh Injil dilukiskan turut mengolok- olok dan meneriakkan pekik penyaliban. Dalam gambaran minimalis demikian, kita justru terbantu untuk langsung fokus menyimak adegan sentral.

Ya, jalan itu sepi dari teman. Bahkan, mungkin tiada. Mereka yang disebut Para Murid pun melarikan diri begitu menyaksikan Tuhan dan Gurunya ditangkap, dihukum mati, disalibkan di Golgota.

Jalan itu makin sunyi. Sementara memanggul salib, terbayang bagaimana Diri-Nya dikhianati, disangkal, dan ditinggalkan justru oleh orang-orang terkasih. Getir, sesak, pilu. Dia harus menanggung upah dosa, padahal Dia sendiri tidak berdosa. Puncak getir itu menyeruak ketika Yesus mengiba ke Bapa, “Eloi, Eloi, lama sabakthani?” (Mrk. 15:34).

Di tengah kesunyian yang diderita Putra, Ibu Maria mengiring dalam senyap. Walau mengendap, langkahnya selalu mengarah ke Putra. Perhentian keempat menjadi saksi, Yesus berjumpa dengan ibu-Nya. Menarik. Di perhentian ini, Maria digambarkan tengah membelakangi sebuah pintu yang terbuka. Di sanalah Bunda Maria muncul untuk menjumpai Putranya, menyapa-Nya dengan kasih. Ibu yang berduka itu tidak mau larut dan terjebak pada apa yang sedang diderita. Ia keluar untuk menyongsong Putra, memberi peneguhan bagi-Nya.

Di momen ini, sebagai penziarah kita seakan ditegur untuk memiliki hati terbuka seperti Ibu Maria. Kiranya ungkapan Paus Fransiskus berikut ini bisa menjadi peneguh langkah kita: “Jangan menutup diri. Jangan terkurung dalam perkara-perkara sepele. Jangan tersandera permasalahan-permasalahan diri sendiri. Itu semua akan terpecahkan jika Anda pergi ke luar dan menolong orang lain untuk memecahkan permasalahan mereka. Anda akan menemukan hidup dengan memberikan hidup, menemukan harapan dengan memberikan harapan, menemukan cinta dengan memberikan cinta.”

Pada saat lain, raga Yesus letih dan makin melemah. Datanglah Simon dari Kirene, yang baru saja dari luar kota. Ia membantu Yesus memanggul salib-Nya. Yesus pun menerima pertolongan itu (bdk. Luk. 23:26). Yesus, yang tengah berkesusahan akibat menolong orang-orang berdosa, hari itu merasakan apa artinya ditolong oleh orang lain. Orang lain yang mungkin bukan sesiapa, tiada terduga sebelumnya, atau bahkan tak diperhitungkan, karena ia hanya lewat di jalan yang Dia telusuri. Bukan sesiapa dan tiada terduga tapi memberi arti untuk perjalanan selanjutnya.

Aksen “bukan sesiapa” ini cukup kuat pada figur Simon Kirene di perhentian kelima. Dari posturnya tampak bahwa Simon digambarkan sebagai sosok berkulit hitam (“niger”, “warna hitam” Lat.), yang pada masanya dikenal sebagai budak. Kiranya ini juga merupakan sebuah pesan untuk setiap penziarah.

Di perhentian keenam, wajah Yesus tak berupa lagi. Darah, keringat, dan debu mengotori-Nya. Hati Veronika hancur lebur. Ia mendekati Yesus dan mengusap wajah-Nya. Ia menerima penghiburan dari Tuhan yang bersengsara. Ia mendapatkan gambar wajah Tuhan di kainnya.  Pada gambaran wajah Tuhan di kain Veronika yang sedemikian detail dan sentral itu, kita menemukan peneguhan. Ketika segala sesuatu hancur, hanya satu hal yang menopang pengharapan kita, Allah tetap mengasihi kita. Dia mengasihi setiap orang, terlebih yang hatinya sedang hancur.

Rahimnya Tuhan

Perhentian-perhentian akhir jalan salib itu seakan menjadi gambaran puncak misi belas kasih Kristus. Mereka menyalibkan Yesus. Diperlakukan seperti itu, Yesus tetap diam. Meski kaki dan tangan-Nya dipaku di palang hina, kasih-Nya tak pernah beku. Dengan dipaku dan dipancangkan di salib, lautan kerahiman-Nya makin menggenangi dunia: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” (Luk. 23:34). Yesus pun berseru kepada penjahat, “Hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus,” (Luk. 23:43).

Pada perhentian ke-13 kita bertemu dengan Yusuf Arimatea dan kekarib lainnya yang menurunkan jenazah Yesus. Penggambaran perhentian ini begitu dramatis, tapi sarat makna ketika direnungkan bersama Penginjil Yohanes, dengan memandang kepada Dia yang tertikam (bdk. Yoh. 19:37). Di sinilah penziarah disodori refleksi khas Yohanes, kemuliaan Tuhan di salib.  Di gambaran perhentian ini, kemuliaan Tuhan itu disandingkan dengan sikap kerendahan hati-Nya. Dia rela ditinggikan di salib, tapi juga legawa ketika diturunkan dari sana oleh tangan-tangan ringkih manusia biasa.

Di momen itu kita diingatkan akan ajaran kasih, bahwa kekuasaan yang sesungguhnya adalah melayani. Hanya mereka yang melayani dengan kasih sayang, kelembutan, dan kerendahan hati lah yang mampu melindungi. Wafat Yesus di salib memancarkan hidup, darah dan air. Luka dan kematian-Nya mengalirkan keselamatan. Dia rela diturunkan dari salib keselamatan itu, supaya makin dekat dengan bumi, ruang kehidupan kita.

Elis Handoko (Palembang)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 19, Tahun Ke-78, Minggu, 17 Mei 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini