HIDUPKATOLIK.COM – TAK terasa lebih dari 40 hari telah berlalu sejak kepergian abadi Pastor Frans de Sales, SCJ pada tanggal 7 April 2024. Malam hari itu, Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Palembang (Komsos KAPal) dan anggota SIGNIS Asia Board ini meninggal dunia karena penyakit jantung di Ruang ICU RS Charitas, Palembang, Sumatra Selatan. Jenazahnya disemayamkan di Gereja Hati Kudus dan dimakamkan dua hari kemudian di Taman Getsemani, Kompleks RS Charitas, seusai Misa Requiem yang dipimpin oleh Uskup Agung Palembang, Mgr. Yohanes Harus Yuwono.
Sebelum berpulang, Pastor Frans, sapaan akrabnya, telah melakukan banyak karya jurnalistik. Sebagai kontributor Majalah HIDUP, misalnya, ia rutin mengirim artikel tentang berbagai peristiwa yang terjadi di luar negeri. Ia juga membidani lahirnya Tabloid Komunio milik KAPal dan Majalah FIAT milik Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua SIGNIS Indonesia selama satu periode (2011-2013) dan Ketua SIGNIS Indonesia selama dua periode berturut-turut (2013-2015 dan 2015-2018).
Tak heran, banyak orang merasa kehilangan atas kepergian abadi imam yang pernah mengenyam pendidikan teologi dan ilmu komunikasi, masing-masing di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan Marquette University, Amerika Serikat, ini. Saya, staf Komisi Komsos KAPal, salah satunya.
Satu kenangan yang masih terasa begitu segar dalam ingatan saya adalah cara Pastor Frans membangunkan saya dan teman-teman ketika mentari mulai menyapa. “Halo, bangun! Misa!” Saya mendengar teriakan ini hampir setiap pagi karena kamar tidur saya dan teman-teman berada tepat di belakang kantor.
Suatu pagi, ketika hawa terasa begitu dingin karena gerimis mengguyur sepanjang malam, saya membuntuti Pastor Frans menuju kantor seusai Perayaan Ekaristi. Di sana ia membuka laptop berwarna putih kesayangannya. Saya pun bertanya: “Pastor, kenapa saya harus Misa setiap pagi? Pagi ini dingin sekali. Malas rasanya bangun.”
Pastor Frans malah menceritakan kisah masa kecilnya. Ia sering menutup kepalanya dengan daun pisang agar terhindar dari air hujan selama perjalanan dari rumah menuju gereja paroki untuk mengikuti Perayaan Ekaristi setiap pagi, bukan sebagai umat melainkan putra altar.
Menjadi Imam
Tanpa sepengetahuannya, pelayanannya sebagai putra altar menyebar luas. Ketika kelahiran Maumere, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 16 Juni 1962 ini tengah mengikuti pelajaran di ruang kelas, teman-temannya menyorakinya: “Jadi pastor! Jadi pastor! Jadi pastor!” Ternyata pastor kepala paroki telah memberitahu wali kelasnya soal pelayanannya tersebut. Hingga akhirnya wali kelasnya menyarankan agar ia melanjutkan studi di seminari menengah.
Setelah mendapat dukungan dari orang tua, Aloysius Paser dan Maria Winter, Frande – sapaan Pastor Frans saat masih remaja – akhirnya masuk Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu di Ngada. Namun studinya terhenti. Ia kemudian meneruskan studi di sekolah umum.
Pastor Frans juga pernah bercerita kepada saya tentang pengalamannya mendapat sejumlah uang dari hasil menulis sebuah puisi. Ia merasa sangat senang ketika ia bertemu bupati, yang memintanya untuk membacakan puisi tersebut. Dan ia menggunakan uangnnya untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Pastoral Institut Pastoral Indonesia (STP IPI), Malang, Jawa Timur.
Menjelang akhir masa kuliah, Pastor Frans mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Musi Rawas, Sumatra Selatan. Di sanalah benih panggilan mulai bertumbuh. “Waktu itu saya mengajar agama di sekolah dan gereja sebagai katekis. Saya naik sepeda berkeliling mencari umat Katolik. Kondisi jalannya tidak seperti sekarang. Kamu bayangkan, jalanan masih tanah merah. Waktu hujan, saya harus pikul itu sepeda,” katanya kepada saya suatu hari.
Saat itu Pastor Frans melihat jumlah imam masih sangat sedikit, sementara wilayah yang harus dilayani samgat luas dengan medan yang cukup sulit. “Lalu hati saya terketuk. Mengapa saya tidak menjadi imam saja?” kenangnya lebih lanjut. Awalnya ia ingin menjadi imam diosesan. Namun seorang imam diosesan justru menyarankan agar ia menjadi imam SCJ. Alasannya sederhana, imam diosesan ini tidak diterima menjadi imam SCJ.
Karya Pelayanan
Sebelum ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 14 Oktober 1998 di Paroki Hati Kudus, Pastor Frans mengambil program Studi S2 Ilmu Komunikasi di Marquette University, Amerika Serikat. Dan tak lama setelah mengucapkan kaul kekal pada tanggal 20 Juli 1993, ia menjabat sebagai Ketua Komisi Komsos KAPal, tepatnya mulai 1 Februari 1999 hingga akhir hayatnya.
Pastor Frans senantiasa mendampingi tim Komisi Komsos KAPal di lapangan. Ia juga jeli menangkap peluang. Misalnya, kerja sama dengan berbagai pihak yang membutuhkan jasa foto, shooting, editing, dan desain. Hasilnya dipakai untuk membeli peralatan, seperti kamera dan drone.
Terkait Tabloid Komunio dan Majalah FIAT, Pastor Frans memulai kedua media cetak ini dari nol. Awalnya ia tidak memiliki karyawan, ia menyiapkan semua seorang diri – mulai dari peliputan, penulisan artikel, dan pembuatan desain hingga distribusi. Seiring berjalannya waktu, ia merasakan perlunya sebuah tim.
Pastor Frans akhirnya merekrut beberapa tamatan SMA dari keluarga tidak mampu menjadi anggota tim Komisi Komsos KAPal dan membekali mereka dengan pelatihan jurnalistik. Ia bahkan menyekolahkan mereka di perguruan tinggi.
Saya sempat bertanya kepada Pastor Frans tentang hal ini. Jawabnya: “Pendiri kongregasi saya, Pastor Leo Dehon, peduli terhadap kaum muda. Juga, kalau mau cari karyawan tetap saya tidak ada uang untuk menggaji mereka. Lagi pula banyak orang baik yang mau berkontribusi untuk kuliah mereka.”
Meski demikian, Tabloid Komunio dan Majalah FIAT sempat berhenti dan beralih ke online. Namun banyak umat yang tinggal di pedesaan sering bertanya tentang kehadiran kedua media cetak ini. Maka Pastor Frans memutuskan untuk mencetak kembali keduanya.
Selain karya jurnalistik, Pastor Frans juga mengisi siaran renungan pagi dan malam di Radio Sonora Palembang.
Kristiana Rinawati (Komsos KAPaL)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 19, Tahun Ke-78, Minggu, 12 April 2024