Beata Assunta Marchetti, MSCS (1871-1948) : Ibu Imigran Italia dan Anak Yatim Piatu

59
Beata Assunta Marchetti (depan, kiri) bersama anak-anak Panti Asuhan Christophorus Columbus, Brazil. www.fetcesp.org.br

HIDUKATOLIK.COM – Hidupnya diperhitungkan bagi anak yatim piatu dan para imigran. Ia meyakini bahwa dalam sosok ini, Allah senantiasa menunjukkan kehadiran-Nya.

ANAK-anak Panti Asuhan Christophorus Columbus, Ipiranga, São Paulo, Brazil senantiasa merasakan kehadiran Sr. Assunta Marchetti, MSCS. Ia mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Mereka seolah menemukan figur orangtua yang baik dalam diri Sr. Assunta. Pun dengan sang suster. Ia menganggap mereka seperti anak kandung.

Sejak tiba di Negeri Samba, fokus pastoral suster kelahiran Lombrici, Lucca, Italia, 15 Agustus 1871 itu adalah mendampingi dan merawat anak-anak yatim piatu. Sr. Assunta mengemban tanggung jawab sebagai pimpinan panti asuhan, guru, perawat, hingga juru masak. Maklum, tenaga pastoral amat terbatas.

Kendati begitu, Sr. Assunta mampu menjalankan karya misinya dengan optimal. Selain mampu memberikan asupan yang layak, ia membekali anak-anak dengan pendidikan, menanamkan moral dan teladan hidup rohani. “Jika meninggal nanti, saya ingin terbaring di antara anak-anak panti asuhan,” harap Superior Jenderal dan rekan pendiri Tarekat Suster Scalabrinian (Missionary Sisters of St Charles Scalabrini, MSCS).

Memupuk Iman

Sejak kecil, Assunta akrab dengan devosi. Tiada hari ia lewati tanpa doa. Semangat itu kian berkobar kala ia menerima Komuni Pertama pada usia 12 tahun. Putri pasangan Angelo di Antonio dan Carolina di Giovanni Domenico Ghilarducci ini berusaha untuk selalu mengikuti Ekaristi di Paroki Maria Assunta, Keuskupan Piacenza (sekarang: Keuskupan Piacenza-Bobbio). “Hadir dalam Ekaristi membantu saya untuk belajar mencintai,” katanya.

Warga di kampung halamannya mengenal anak ketiga dari 11 bersaudara ini sebagai gadis yang rajin, rendah hati, dan gemar membantu. Keutamaan hidupnya membuat banyak orang kagum. Kematangan rohani itu tumbuh subur terutama berkat bimbingan sang bibi, Sr. Caterina, yang menjadi kepala sekolahnya. Assunta mengaku, bibinya banyak mengajari tentang budaya, tingkah laku, dan olah rohani.

Bimbingan dan teladan sang bibi perlahan memekarkan kuncup panggilan dalam diri Assunta. Ketika beranjak remaja, Assunta memutuskan untuk mengikuti jejak bibinya. Namun, kuncup panggilan itu layu sebelum merekah. Assunta menerima kabar, ayahnya meninggal. Ibunya pun sedang sakit. Sementara itu, ia masih punya delapan adik yang butuh makan dan perhatian. Sedangkan salah seorang kakaknya, Joseph menjalani formasi calon imam Scalabrinian (CS).

Situasi pelik yang membekap keluarganya memaksa Assunta meninggalkan bangku sekolah dan menangguhkan mimpi menjadi suster. Ia pulang, mengurus ibu dan saudara-saudarinya, serta menggarap ladang demi mempertahankan hidup keluarga.

Beata Maria Assunta Caterina Marchetti, MSCS/
www.madreassunta.com

Misonaris Sejati

Wajah Italia saat Assunta hidup sangat muram. Perebutan kekuasaan dan pengaruh antara Gereja dan Kerajaan Italia terasa kental. Selain itu, kerap terjadi perang antarkerajaan dari berbagai wilayah. Revolusi Prancis (1789-1799) juga berdampak hingga ke Italia.

Usai huru-hara itu, masyarakat Italia harus menelan pil pahit kala muncul dan berkembang fasisme –ideologi politik radikal yang mengutamakan kekuasaan absolut (diktator), melarang semua oposisi, dan mengagungkan identitas kolektif tunggal. Situasi menjadi kian runyam karena terjadi gagal panen.

Situasi sulit itu mengakibatkan ledakan jumlah pengangguran dan kaum miskin, kelangkaan bahan makanan, serta peningkatan kasus kriminal. Situasi ini memicu gelombang eksodus bangsa Italia ke berbagai tempat.

Tak diduga, Assunta menerima kabar dari kakaknya, Romo Joseph Marchetti, CS. Sebagai misionaris Brazil, saudara kandungnya itu mengisahkan kehidupan para imigran Italia di ‘rumah kedua’. Banyak harapan indah yang mereka bawa dari tanah asal tak terwujud di lokasi baru. “Di sini, tiap kelahiran dan kematian tak berbeda seperti binatang,” kata sang kakak.

Romo Joseph meminta agar saudarinya yang berusia 24 tahun untuk membantu karyanya di Brazil. Assunta tertegun mendapat kabar dan ajakan kakaknya. Ia memandang gambar Hati Kudus Yesus yang terpampang di dinding kayu rumahnya. “Mungkin, ini panggilan Tuhan bagiku. Ia memanggil lewat perantaraan saudara kandungku,” batin Assunta. Akhirnya ia menjawab “ya” terhadap panggilan-Nya.

Assunta didampingi Romo Joseph, ibu, dan dua temannya lantas menghadap Uskup Piacenza, Mgr Giovanni Battista Scalabrini (1838-1905) –pendiri Tarekat Scalabrinian (Congregatio Missionariorum a San Carolo Borromeo,CS) yang dibeatifikasi pada 9 November 1997. Di hadapan sang uskup, Assunta mengucapkan kaul perdananya sebagai biarawati Scalabrinian. Cita-cita yang telah tertanam sejak remaja kini terjawab.

Keesokan harinya, Sr. Assunta berlayar menuju tanah misi. Kharismanya sebagai ibu dan pendidik sudah nampak. Sejak berlayar, ia mengumpulkan anak-anak imigran dan mengajarkan iman Katolik. Beberapa waktu setelah berlabuh di Brazil, 83 anak didiknya menerima Sakramen Ekaristi.

Sr. Assunta lalu membangun Panti Asuhan Christophorus Columbus. Pintu panti selalu terbuka bagi siapapun yang datang dan membutuhkan uluran kasih. Di sela kesibukannya mengurus anak-anak, ia kerap mengunjungi dan mengobati orang sakit, serta membantu umat. Bahkan, daerah yang tak terjangkau oleh perawat atau dokter, ia datangi dengan berkuda.

Beberapa bulan pasca tiba di Brazil, Romo Joseph meninggal. Kemudian, badai finansial melanda tarekatnya. Namun, kendala dan tantangan itu berhasil ditaklukkan. Pada Oktober 1897, Sr. Assunta mengikrarkan kaul kekal di hadapan Romo Faustino Consoni CS, utusan dan wakil pembesar tarekatnya.

Berkat pelayanannya, banyak imigran perempuan terpikat dan mengikuti jejaknya. Demi meningkatkan kualitas hidup calon suster, tiga kali Sr. Assunta merevisi aturan hidup para novis. “Tuhan melihat, Tuhan pula yang bakal memeliharanya”, demikian motto hidup yang menyuntik semangat dan kekuatannya.

Anak Yatim dan Imigran

Sr. Assunta berkarya untuk yatim piatu dan imigran selama 50 tahun. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk kembali ke kampung halamannya. Ibu para yatim dan kaum imigran Italia ini tutup usia pada 1 Juli 1948, dalam usia 77 tahun di tengah anak-anak asuhnya. Persis seperti permintaannya ketika masih hidup.

Selang 63 tahun pasca wafatnya, Paus Benediktus XVI merestui dekrit keutamaan hidup dan teladan imannya. Langkah menuju beatifikasi Sr Assunta terbuka kala Takhta Suci mengakui mukjizat yang dialami Heraclides Teixeira Filho pada Januari 1994.

Berkat doa melalui perantaraan Sr Assunta, Heraclides dinyatakan sembuh total dari serangan jantung. Padahal RS Mãe de Deus, Porto Alegre, Brazil sudah memvonis hidupnya tak akan bertahan lebih dari 15 menit.

Perayaan beatifikasi Sr Assunta berlangsung di Katedral da Sé pada 25 Oktober 2014 yang dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB dan didampingi Uskup Agung São Paulo, Kardinal Odilo Pedro Scherer. Gereja memperingatinya tiap 1 Juli.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini