HIDUPKATOLIK.COM – SETELAH dipilih sebagai Uskup Agung Kupang yang baru, Mgr. Hironimus Pakaenoni akan mengikuti tiga kegiatan penting yaitu Vesper Agung tanggal 8 Mei 2024 di Gereja Naikoten, tahbisan episkopat pada 9 Mei 2024 di Katedral Kupang, serta Misa Pontifikal di Katedral. Sebelum pelaksanaan tiga rangkaian kegiatan ini, HIDUP mewawancarai Uskup Agung Terpilih pada hari Kamis, 18 Maret 2024.
Berikut petikannya.
Bisakah diceritakan latar belakang keluarga Monsinyur?
Saya adalah putra keempat dari enam bersaudara. Ayah, Antonius Meni Pakaenoni adalah seorang guru agama Katolik di SD Katolik dan guru Bahasa Inggris di SMP Katolik. Ibu adalah Lea Petronela Leolay, kini berusia 86 tahun. Awalnya juga guru, tetapi setelah lahir anak kedua, ia meninggalkan profesinya dan menjadi ibu rumah tangga. Ibu saya sebelumnya beragama Protestan, dan masuk Katolik setelah menikah dan sungguh sangat kuat disiplin hidup rohaninya. Ibu menjadi anggota Dewan Pastoral Paroki, sekaligus animator dan Pembina Keluarga Berencana Alamiah di tingkat paroki maupun Keuskupan Atambua.
Ibu juga terlibat dalam kegiatan sosial seperti Ikatan Dharma Wanita dan anggota penggerak PKK tingkat desa dan kecamatan. Sedangkan ayah lebih fokus pada profesinya di sekolah dan katekis di paroki. Disiplin hidup rohani keluarga sangat kuat maka wajar kalau ada tiga anak laki-laki (termasuk saya) disekolahkan di seminari. Ada yang eks frater dan eks seminari, tinggal saya yang menjadi imam.
Sejauh mana Monsinyur mengenal wilayah Pastoral KAK?
Sebagai imam diosesan yang telah berkarya di KAK selama 25 tahun, sedikit banyaknya saya mengetahui situasi pastoral yang ada di wilayah ini – termasuk tantangan dan peluangnya. Salah satu tantangan pastoral yang cukup signifikan adalah persoalan pluralitas atau heterogenitas baik menyangkut agama maupun etnis. KAK agak berbeda dengan beberapa keuskupan lain di NTT seperti Atambua yang relatif lebih homogen, baik agama maupun etnis.
Dalam hal agama, wilayah Timor Barat di mana terdapat KAK dari dulu mayoritas agama Protestan karena berkaitan dengan sejarah Kolonial abad ke-16, ketika terjadi kebijakan demarkasi antara Portugis dan Belanda. Fakta sejarah ini sekurang-kurangnya masih berpengaruh terhadap relasi yang tidak selalu harmonis. Meskipun telah diupayakan berbagai cara untuk membangun dialog ekumenis, namun terkesan masih saja terdapat nuansa-nuansa kecurigaan dan persaingan.
Apakah ini juga berpengaruh pada kualitas hidup bermasyarakat umat?
Selain persoalan pluralitas agama dan etnis yang meningkat sejak tahun 1970-an, persoalan lain adalah arus besar modernisasi dan industrialisasi, juga arus migrasi dan urbanisasi yang melanda masyarakat. Kota Kupang lalu menjadi semacam ‘destinasi’ yang cukup menjanjikan. Banyak orang dengan berbagai latar-belakang pun datang untuk tinggal mengadu nasibnya. Kenyataan ini cukup berpengaruh terhadap situasi Gereja di KAK. Gereja mengalami pergeseran dari tata hidup tradisional yang relatif aman, stabil dan homogeni menuju tata hidup baru yang sangat kontras.
Secara garis besar apa saja perubahan mental umat menghadapi?
Pergeseran ini sangat terasa tidak saja pada agama serta etnis, tetapi juga faktor sosial-ekonomi. Perpindahan penduduk cukup besar di daerah-daerah wilayah NTT ke Kota Kupang untuk mengadu nasib telah menimbulkan berbagai masalah sosial baru, khususnya di bidang ekonomi.
Hal ini bisa dilihat dari pertama, latar belakang pendidikan yang rendah dan kurang memadai. Kebanyakan tamatan SD-SMP, dan hanya segelintir saja yang tamat SMA atau Sarjana.
Kedua, kebanyakan kaum urban dari kampung-kampun dengan latar belakang pekerjaan petani mengalami kebingungan mencari pekerjaan yang cocok di Kota Kupang yang sangat terbatas. Akibatnya banyak yang terpaksa bekerja sebagai petani dan kuli bangunan, sopir, buruh di pelabuhan, penjaga toko, dan pekerjaan kasar lainnya.
Ketiga, banyak lahan pertanian di luar kota belum atau tidak dapat diolah secara efektif dan maksimal. Hal ini karena kondisi alam, iklim yang tidak menentu, terbatasnya persediaan air tanah, kebiasaan mengolah lahan pertanian secara tradisional, mental dan habitus kerja yang cukup santai, lemahnya daya saing yang sehat antara para petani, dsb.
Keempat, mental dan budaya hidup boros yang masih kuat di kampung-kampung khususnya yang berkaitan dengan urusan adat seperti belis atau mahar perkawinan, pesta kenduri untuk arwah, dan pesta lainnya seperti syukuran ulang tahun, komuni pertama, pernikahan, dsb.
Dengan situasi umat ini, apa terobosan pastoral yang bisa menolong umat?
Dalam hal ini, Gereja perlu membaharui diri atau melengkapi model pastoral teritorial tradisional dengan “model pastoral diaspora modern”. Artinya, komunitas basis gerejani dapat memainkan perannya yang efektif sebagai cara hidup baru menggereja di dunia modern. Dalam rangka membangun dialog yang harmonis termasuk menjawab persoalan sosial-ekonomi, maka perlu dibangun komunitas-komunitas basis manusiawi. Pada titik ini, sangat diperlukan sosok gembala umat yang berwawasan luas dan komprehensif, inklusif, adaptif, proaktif, progresif, dan inovatif serta berintegritas.
Apakah sosok gembala umat ini terwujud dalam diri Mgr. Petrus Turang?
Sesungguhnya sudah 27 tahun lebih saya mengenal Mgr. Turang. Saya dan Pastor Gerardus Duka adalah buah sulung yang Mgr. Turang tahbiskan – dua bulan usai ditahbiskan sebagai Uskup Koajutor KAK. Dalam perjalanan waktu Mgr. Turang berhasil menunjukkan kepada kami sikap kebapakannya. Secara pribadi, saya merasa dia memiliki perhatian besar misalnya saya menjadi imam pertama yang dia studikan di Roma tahun 2001.
Dua tahun studi Teologi Dogmatik, dia memberi dukungan secara spiritual, moral, finansial; selalu berkontak entah lewat telepon atau surat dan sesekali mengunjungi saya di Roma. Ia mengizinkan saya Kursus Bahasa Inggris di Dublin, Irlandia serta praktik di salah satu paroki di Wales, Inggris tahun 2002. Saat kembali dari Roma, kondisi kesehatan saya terganggu karena cedera lutut, ia mengirimkan saya menjalani terapi di Surabaya selama tiga bulan. Setelah itu saya ditempatkan di Seminari Tinggi Kupang lalu menjadi dosen di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang dari 2004 hingga sekarang. Dari semua ini, saya bisa katakan Mgr. Turang seorang berwawasan luas, adaptif, proaktif dan punya integritas serta peduli kepada imamnya.
Apa refleksi yang mau disampaikan terkait motto episkopat Monsinyur?
Pertama, motto tahbisan ini saya pilih berdasarkan pergumulan pribadi yang intens dalam menjawab pertanyaan Yesus, Gembala Baik – seperti ditanyakan kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Selama tiga kali Yesus bertanya lalu tiga kali juga Petrus menjawab, “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau!”, lalu disusul dengan pemberian tugas dan tanggungjawab oleh Yesus, “Gembalakanlah domba-dombaKu!”. Hal ini berarti tugas penggembalaan dalam Gereja adalah hal yang fundamental yang harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh dengan syarat utama mencintai Tuhan, sang Gembala Baik itu bukan sebatas kata-kata tetapi lewat kesaksian hidup.
Kedua, motto ini adalah refleksi atas situasi konkret umat di KAK dengan dua tantangan utama; kemajemukan serta kemiskinan akibat rendahnya kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Situasi konkret ini tentu membutuhkan seorang gembala, pemimpin dan pelayan yang mampu merangkul dan mempersatukan semua dan memiliki komitmen yang total untuk menghadirkan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang.
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 17, Tahun Ke-78, Minggu, 28 April 2024