HIDUPKATOLIK.COM – PAGI yang cerah itu, Sabtu, 30 Maret 2024, menjelang Vigili Paskah, di Pastoran St. Odilia, Citra Raya, Tangerang. Pastor Felix sedang menanti kedatangan sahabatnya. Beberapa saat kemudian, di ruang makan, ia menerima telepon dari petugas pos gerbang gereja, mengabarkan tamunya sudah tiba.
Bergegas ia menuju pintu pastoran, menanti di teras. Seseorang dengan baju koko putih terang, bersarung kain batik, dan mengenakan peci hitam bergegas menghampirinya dengan nada bersahabat namun lantang berseru, “Selamat Paskah, Romo!” Dua tokoh agama berbeda ini langsung bersalaman dan berangkulan.
Selama satu jam lebih, Pastor Felix dan sahabatnya, Kiai Haji Muhammad Ardani, seorang tokoh Nahdltul Ulama (NU) sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Daarul Fallahiyah Assalafiyah Cisoka, Tangerang menunjukkan momen keakraban, bak saudara kandung. Seperti saat Pastor Felix mengajak Kiai berkeliling halaman gereja, tiba-tiba ia menghampiri sebuah sepeda listrik dan duduk seolah hendak mengendarai. Kiai tak mau kalah, ia duduk di jok belakang dan memeluk sahabatnya itu dari belakang sambil ngakak. Kami tertawa melihat candaan Pastor dan Kiai itu. Atau saat duduk santai di teras belakang, obrolan mereka penuh canda mengundang senyum.
“Romo Felix kami juluki Romo Sejuta Umat,” tegas Kiai. “Saya sudah lama mengenalnya. Beliau menjalin persahabatan dengan semua golongan. Dengan hati tulus, ia membantu siapa saja yang datang kepadanya. Rasa kemanusiaannya sangat tinggi. Ia rutin mengunjungi kami di Pesantren. Juga rajin turun ke lapangan untuk memberi penyuluhan kepada kelompok tani dan peternak. Saya berpesan kepada para santri, agar memperlakukan Romo Felix sebagai bapak,” kata Kiai Ardani.
Nampak sekali Kiai Ardani sangat terkesan akan perilaku dan pilihan hidup Pastor Felix. “Kami, para tokoh elit Kabupaten Tangerang yang adalah sahabat Romo, sangat sedih saat mengetahui ia pernah sakit. Saat itu kami kerap mengunjungi dan sungguh bersyukur ia akhirnya sembuh,” tambah Kiai tentang sahabatnya ini.
Pengakuan akan karya Pastor Felix dalam membangun toleransi bukan hanya datang dari Kiai Ardani. Pastor Felix pernah memperoleh berbagai penghargaan, antara lain dari Camat Panongan, Majelis Ulama Indonesaia (MUI) Panongan, Polres Tangerang, Bupati Tangerang, dan Polda Tangerang. Belum lama ini, ia menerima Jayakarta Award yang diberikan oleh Kodam Jaya sebagai Pelopor Moderasi Beragama, Ketahanan Pangan dan pembangunan rumah layak huni. Tidak hanya itu, Kardinal Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta) pun telah menganggap apa yang Pastor Felix lakukan sebagai karya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Bahkan Focolare Movement, lembaga internasional yang berpusat di Roma dan mengupayakan kerukunan dan kedamaian dunia, tahun lalu bersama Kardinal datang ke Panongan dan Gereja Odilia. Bertemu langsung dengan para ulama dan berkunjung ke pesantren.
Kedekatan Pastor Felix rupanya terjalin dengan semua pihak. Baik para ulama, termasuk juga ulama garis keras, serta semua tokoh agama lain, juga tokoh masyarakat, pemerintah daerah, serta TNI-Polri. Bahkan ia sangat dekat dengan masyarakat akar rumput, seperti petani dan peternak. Saat ini ia mendampingi sembilan kelompok tani dan berbagai kelompok peternak lele, kambing, sapi, dan domba. Belum lama ini, salah satu kelompok tani, yakni Yudistira, baru saja panen. Ia mengarahkan agar hasil panen tidak dijual ke pedagang besar, namun disalurkan ke masyarakat bawah, tentu ini sangat membantu di saat harga beras masih melambung tinggi.
Pastor Felix sendiri dalam berbagai kesempatan banyak bercerita tentang kerukunan dan toleransi di daerahnya, khususnya di Kecamaan Panongan. Ada nada bangga. Namun saat bersamaan, ia menekankan bahwa semua yang terjadi saat ini bukan hasil instan. Perlu waktu bertahun-tahun, melalui berbagai kegagalan, diabaikan, bahkan ditolak. Ada proses panjang dan butuh ketekunan. Tentu juga selalu mengandalkan Allah.
Imam berpenampilan sederhana dan hobi menulis buku ini memiliki nama lengkap Felix Supranto, SS.CC. Ia lahir di Bangka, pada tanggal 23 Juni 1966. Ditahbiskan pada tanggal 9 Mei 1996, berarti sudah hampir 28 tahun sebagai imam. Setelah malang melintang di berbagai karya, pada tanggal 10 Mei 2010, ia diutus menjadi Pastor Kepala Paroki Citra Raya Gereja Odilia.
Pastor Felix bercerita di awal karya di Paroki Citra Raya. “Saya melihat di daerah ini ada sangat banyak ulama. Banyak pesantren. Suasananya sangat Islami. Saya merasa Gereja terisolasi dan kalau dibiarkan bisa hancur,” ujarnya.
Maka mulai tahun 2011, ia memutuskan untuk berani keluar memperkenalkan diri dan masuk ke dalam lingkungan para ulama. Satu per satu semua ulama dikunjungi. “Awalnya sangat tidak mudah. Diabaikan bahkan ditolak. Namun saya selalu memegang prinsip barangsiapa membawa damai, itulah yang dikehendaki Allah. Saya tekun mengunjungi satu per satu semua ulama, termasuk ulama garis keras, dan saya tidak memikirkan bagaimana tanggapan mereka. Saya yakin dengan menjadi air di mana saja, akan terjadi kesejukan,” kenangnya. Ia berprinsip daripada menangisi keadaan, lebih baik menjadi minoritas yang kreatif dan berani keluar.
Setelah bertahun-tahun melakukan kunjungan-kunjungan secara intens ini, mulailah terjalin kerukunan. Lalu ia berinisiatif membentuk sinergi. Para tokoh ini, diajak berkumpul untuk membahas apa yang bisa dilakukan bersama untuk masyarakat yang membutuhkan.
Ia menyakini kekuatan gotong royong yang adalah jiwa Pancasila. Semua pihak ditawarkan apa yang bisa diberikan sebagai kontribusi. Apa pun konstribusinya dihargai. Misal, dalam kegiatan membangun rumah layak huni. Babinsa mengusulkan warga siapa yang perlu dibantu. Setelah dipelajari dan disetujui bersama, maka ditawarkan ke masing-masing tokoh akan menyumbang apa. Ada yang menyumbang semen, ada yang memilih bata, atau material atap, atau sekadar menyediakan tukang. “Selain dana dari hasil menulis buku, saya juga mengajak mitra,” jelasnya.
Rupanya cukup banyak mitra yang bergerak di bisnis bahan bangunan. Mereka sering memiliki stok material lebih, yang sudah sulit untuk dijual karena kuantitasnya tanggung. Mereka dengan senang hati mengirim material ini dari pada memakan ruang gudang. Material seperti keramik lantai, cat, gypsum, dan besi hollow. Dengan cara gotong royong seperti ini, telah terbangun 19 rumah layak huni. Mereka sepakat tidak memperhatikan agama dari orang yang dibantu, siapa pun yang perlu akan dibantu.
Dari kegiatan sinergi ini, Pastor Felix meyakini behwa kerukunan makin mudah terbentuk ketika kita dalam keprihatinan bersama dan dalam upaya memartabatkan manusia. Membangun rumah layak huni adalah upaya memartabatkan manusia. Membina UMKM seperti toko dan usaha kerajinan tangan sebagai upaya pemberdayaan perempuan desa, dan mendampingi kelompok tani dan peternak semua didasari rasa prihatin dan upaya menolong masyarakat yang membutuhkan.
Setelah 14 tahun melakukan karya dialog toleransi dan hasilnya kini bisa dibanggakan, ternyata Pastor Felix masih bercita-cita ingin membangun pesantren kebhinnekaan. Pesantren yang dibangun dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Karena bagi Pastor Felix masa depan bangsa terletak pada anak-anak. Bila mereka terbiasa dengan keberagaman, maka toleransi bukan lagi sekedar teori. Saat ini pun ia sering berkunjung ke pesantren-pesantren dan anak-anak dengan akrab menyapanya dengan sebutan romo.
Ada hal lain yang menarik dari pribadi imam yang sangat sederhana ini. “Semua ini bisa terjadi karena relasi saya yang dekat dengan Tuhan. Saya memelihara hubungan dekat dengan Tuhan dengan adorasi dan pujian penyembahan sendiri. Saya telah mengalami bagaimana Tuhan menyelamatkan saya dari sakit penyakit. Pernah ketika saya sadar dari koma, jelas Tuhan katakan “Penyakit ini tidak membawa kematian tapi akan menyatakan kemuliaan Allah, supaya melalui penyakit ini Anak Allah dimuliakan” (Yoh. 11:4). Ini lah yang menjadi kekuatan saya. Pernah dalam satu Misa kudus, Tuhan berbisik: “Romo yang handal tidak nampak dalam Misa Kudus, tapi nampak ketika ikut dalam perjuangan umat dan masyarakat.”
“Pengalaman akan Tuhan inilah yang membuat saya melakukan segala kebajikan”, kesaksian yang sungguh menguatkan siapa pun yang mendengarnya.
“Lakukan kebajikan kepada siapa saja, maka kebajikan akan terbangun dalam masyarakat. Jangan enggan berbuat baik. Jauhkan pikiran negatif dan segala kecurigaan. Mari melepaskan belenggu masa lampau. Sehingga kita bisa melangkah menuju Indonesia yang cerah,” demikian pesan Pastor Felix.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)
Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-78, Minggu, 7 April 2024