Bercermin pada Sejarah Paroki Coronie

256
Gereja dan Pastoran St. Maria, Coronie saat ini, diberkati pada 29 Agustus 1875.

HIDUPKATOLIK.COM – TULISAN ini merupakan cuplikan dari buku De Kronieken Van De R.K. Gemeente Van  Coronie 1842-1992 yang ditulis oleh Pastor Gerardus Van Kempen, OMI. Buku tersebut diterbitkan dalam rangka perayaan 150 tahun Paroki St. Maria Dikandung Tanpa Noda, Coronie tahun 1992. Buku direkap dari buku Kroniken tulisan tangan para pastor yang melayani di Coronie sejak tahun 1823. Pastor Kempen bertugas sebagai pastor paroki terakhir yang tinggal di sana, tahun 1989-1995. Informasi berikutnya penulis tambahkan dari sumber lain dan situasi saat ini, setelah menjalankan pelayanan di Coronie sejak Oktober 2022.

Gereja St. Maria Dikandung Tanpa Noda, Distrik Coronie (Kerk van Sint Maria Onbevlekte Onvangenis) merupkan salah satu paroki yang kami layani di Keuskupan Paramaribo, Suriname. Paroki ini terletak di distrik bagian barat Suriname. Sejarah Gereja ini sudah dicatat sejak tahun 1823 ketika masa perbudakan masih berlangsung di Suriname.

Pelayanan Awal

Imam Katolik pertama yang melayani ke Distrik Coronie adalah Pastor Paulus Antonius Wannekers, seorang diosesan Belanda. Ia tinggal di Paramaribo bersama Pastor Ludovicus van der Horst. Ia mengunjungi Distrik Coronie pada Januari-Maret 1823.

Selama tiga bulan ia mengunjungi beberapa perkebunan. Pastor Wannekers mencatat telah membaptis 67 orang anak dan orang dewasa, budak di perkebunan Mary’s Hope dan perkebunan Clyde pada Minggu Paskah 30 Maret 1823.

Sebagian umat, suster, dan imam Paroki Coronie saat ini.

Pelayanan Pastor Wannekers menjadi awal  karya misi di Distrik Coronie. Ia juga memberi perhatian kepada beberapa budak yang menderita kusta di beberapa perkebunan. Ia melanjutkan perjalanan ke Nickerie, distrik paling barat. Karena sakit malaria ia dibawa pulang ke Paramaribo. Ia meninggal pada 14 April 1823 di Paramaribo di usia 33 tahun.

Pada Oktober 1823 datang Pastor Willemsen yang diutus dari Belanda. Pastor Willemsen  bertugas ke Distrik Coronie dan Nickerie. Ia mengunjungi beberapa perkebunan, membaptis 74 orang dan menikahkan 10 pasangan. Karena kesehatan yang terus menurun dan sakit malaria, pada April 1824 Pastor Willemsen pulang ke Belanda.

Tanggal 8 Februari 1826, Pastor Martinus van der Weyden dan Pastor Jacobus Grooff tiba di Suriname. Pastor Weyden merupakan diosesan yang ditahbiskan pada 4 Agustus 1824. Ia diangkat Vatikan menjadi Prefek Guyana Belanda pertama di Suriname. Pastor Jacobus Groof juga diosesan yang baru ditahbiskan di Munster, Belanda pada 9 Agustus 1825, yang segera diutus sebagai misionaris ke Suriname.

Setelah delapan bulan bertugas di Suriname kondisi kesehatan Mgr. Weyden menurun karena sakit malaria dan tantangan alam tropis. Ia meninggal pada 14 Oktober 1826 di usia 26 tahun. Pastor Grooff kemudian diangkat menjadi Prefek Misi di Suriname, menjadi Mgr. Grooff.

Mgr. Grooff memberi perhatian misi ke Distrik Coronie dan Nickerie. Pada Oktober – November 1941 Mgr. Grooff bersama Pastor J. Schepers mengunjungi 17 perkebunan yang ada di Coronie dan Nickerie. Saat itu sudah tercatat lebih dari 1500 orang untuk dilayani.

Dalam kunjungan tersebut tuan William Ferrier, pemilik perkebunan Cadros Park di daerah Mary’s Hope, menyumbangkan tanahnya kepada Mgr. Grooff untuk dijadikan tempat pembangunan gereja. Pada 16 Desember 1841 Mgr. Grooff mengutus enam orang tukang dan mengirim material untuk mulai membangun Gereja St. Maria, Coronie.

Resmi Berdiri

Pada 18 Februari 1842 Mgr. Grooff mengangkat Pastor J. Gerardus Schepers, CSsR menjadi pastor paroki di Coronie dan Nickerie. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tahun berdirinya Paroki St. Maria, Coronie.

Tanggal 8 Desember 1843 penerus pemilik perkebunan Cadros Park mempersembahkan 28 rante  tanah di sekeliling gereja. Mgr. Grooff mendedikasikan Paroki pada perlindungan St Maria Dikandung Tanpa Noda.

Perayaan Kamis Putih dan Adorasi di Gereja St. Maria, Coronie.

Mgr. Grooff  memberi perhatian besar kepada para budak di perkebunan dan yang sakit kusta. Pemerintah Belanda saat itu menjadikan daerah Batavia di tepi sungai Coppename, Distrik Saramacca sebagai tempat ‘penampungan’ budak yang sakit kusta. Karena pelayanannya, Mgr. Grooff tertular kusta hingga tiga kali dan beberapa kali dirawat hingga hampir meninggal.

Dalam salah satu kunjungan ke Batavia, pada awal Oktober 1842, Mgr. Grooff mengantar Pastor Petrus Donders, CSsR ke Batavia, Saramacca. Ia memperkenalkan pelayanan bagi penderita kusta yang telah dilakukannya selama 15 tahun.

Pastor Petrus Donders merupakan imam Redemptoris. Ia tiba di Suriname pada 16 September 1842. Kelak ia akan tinggal dan berkarya di Batavia selama 27 tahun. Tiga tahun sebelum kematiannya, Pastor Donders melayani di Paroki St. Maria, Coronie. Setelah kematiannya tahun1887 ia dihormati sebagai rasul orang kusta dan rasul Indian pribumi Suriname. Jenazahnya dimakamkan di Katedral St. Petrus dan Paulus, Paramaribo.

Menjadi Vikaris

 Melalui Dekrit Propaganda Fide, Mgr. Grooff, taggal 20 September 1842 ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Hindia Belanda (Indonesia). Pada 10 Oktober 1843 Mgr. Grooff berangkat ke Belanda untuk menerima penahbisan sebagai Uskup Vikaris Hindia Belanda.

Pada perayaan 25 tahun paroki, 1842-1867, sudah tercatat pembaptisan bagi 1.246 orang dan 65 pasang sakramen perkawinan. Ekaristi hari Minggu dirayakan 2 kali:  jam 7 dan 10 pagi. Minggu jam 5 sore selalu ada doa rosario bersama umat.

Hati Kudus Yesus di daerah Burnside (Kerk van het Heilig Hart van Jezus) menginduk ke Paroki St. Maria. Pada 4 Februari 1875 Gereja St. Maria pertama dibongkar dan dibangun gereja dan pastoran yang baru. Gereja dan pastoran  diberkati pada 29 Agustus 1875 dan menjadi gereja dan pastoran St. Maria yang bertahan hingga saat ini.

Gereja St. Maria, Coronie dari depan

Tanah paroki juga diperluas. Tahun-tahun berikutnya didirikan Biara Suster Roosendaal, Sekolah St. Maria dan Asrama Putri (1895), Sekolah St. Antonius (1905), Sekolah St. Theresia (1942), Asrama Putra (1953), aula kaum muda, lapangan sepakbola, lapangan kemping, dan pemakaman umat. Luas kompleks paroki saat ini masih ada 20 hektar.

Selama lebih dari 150 tahun, karya misi di Paroki St. Maria Coronie sungguh berkembang pesat. Sejak tahun 1842 hingga 1992 tercatat 107 orang pastor yang pernah bertugas di sana. Terdiri dari du imam diosesan (1842-1867), 100 imam Redemptoris/CSsR (1867-1965), dan lima imam Oblat Maria/ OMI (1965-1995).

Sebagian besar penduduk Coronie merupakan etnis keturunan Afrika dan  dibaptis Katolik. Paroki St. Maria menjadi salah satu pusat karya misi di Suriname. Berbagai kegiatan antarparoki dan antardistrik diadakan berkala. Dalam beberapa kegiatan dikunjungi oleh uskup dari luar Suriname. Pernah dikunjungi Ratu Juliana dari Belanda pada 4 Nov 1955, Putri Beatrix pada 27 Februari 1958, dan Nuntius Mgr. Forni pada 26 Agustus 1958.

Perubahan Situasi

Perubahan situasi paroki mulai terjadi pada tahun 1975 ketika Suriname dimerdekakan Belanda. Lalu disusul dengan kudeta militer tahun 1980 dan 1990. Kepergian sebagian besar imam dan suster menyebabkan kekosongan tenaga pelayan di paroki dan lembaga Gereja. Sekularisasi juga berpengaruh besar pada nilai-nilai dan cara hidup masyarakat.

Setelah kepergian Pater Kempen tahun 1995, pelayanan Ekaristi dilakukan beberapa kali setahun oleh pastor dari Paramaribo. Ketiadaan pastor paroki lebih dari 25 tahun mengubah wajah Gereja St. Maria Coronie menjadi gereja yang kosong dan ditinggalkan umat.

Lukisan Jalan Salib di gereja yang sudah berusia lebih dari 100 tahun.

Gereja Hati Kudus Yesus di daerah Burnside, biara suster, asrama putri, aula kaum muda, dan bangunan lainnya lebih dari 25 tahun tidak digunakan sehingga rusak dan hampir roboh.

Saat ini umat yang hadir dalam Ekaristi pada hari Minggu sekitar 30-50 orang, tidak sampai 5% dari umat Katolik di Coronie. Upaya yang kami lakukan saat ini adalah menghadirkan kembali perayaan Ekaristi dan sakramen lainnya, katekese, serta mengunjungi umat untuk menghidupkan kembali GerejaNya.

Situasi yang dialami Paroki St. Maria Coronie saat ini tentu tidak terbayang oleh umat di sana pada 50 tahun lalu. Saat itu Gereja masih sungguh hidup, umat yang hadir berlimpah, dilayani imam dan suster, fasilitas lengkap, dan ada berbagai kegiatan antarparoki dan distrik.

Perubahan situasi Gereja St. Maria Coronie merupakan sebagian gambaran dari situasi yang sedang dihadapi Gereja Katolik Suriname. Juga situasi yang sedang berproses terjadi di sebagian Gereja Katolik di Benua Amerika dan Eropa.

Masa Depan

Melalui seruan sinodal, Paus Fransiskus mengajak kita menghidupkan semangat Persekutuan, Partisipasi, dan Misi. Kita diajak mencari dan menegaskan visi baru bagi masa depan Gereja, karena tantangan yang kita hadapi akan semakin berat dan kompleks.

Mengutip sebagian diskusi pada Sinode Para Uskup bulan Oktober 2023 lalu, kita diajak merespons bersama berbagai tantangan yang ada. Kerusakan alam yang semakin mengancam; revolusi tekhnologi dan penggunaan kecerdasan buatan/AI yang akan mengubah nilai dan cara hidup manusia; legalisasi perkawinan LGBT yang membentur pondasi keluarga kristiani; tuntutan pentahbisan imam perempuan; dan kontekstualisasi ajaran dogmatik Gereja tanpa menimbulkan perpecahan Gereja. Serta berbagai tantangan lain untuk menghadirkan wajah Kristus dan Gereja-Nya saat ini, dan masa depan Gereja nanti.

Penulis di dalam Gereja St Maria, Coronie.

Bercermin pada sejarah Paroki St. Maria Coronie dan berbagai tantangan Gereja saat ini, kita pantas bertanya dan mengantisipasi:  Gereja seperti yang akan kita miliki dan wariskan pada 50 atau puluhan tahun yang akan datang? Akan menjadi Gereja yang semakin kokoh dan berbuah melimpah, atau menjadi Gereja yang kosong dan ditinggalkan umat?

Pastor Gading J. S., dari Suriname

Majalah HIDUP, Edisi No. 12, Tahun Ke-78, Minggu, 24 Maret 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini