Antara Isi dan Bingkai

92

HIDUPKATOLIK.COM – MENGUNDANG perhatian ketika majalah ini tiga kali berturut-turut memuat artikel tentang positioning Gereja Katolik (di) Indonesia di dalam Pemilu, khususnya Pilpres.  Pastor Dony Kleden, CSsR dalam artikel Gereja Pascapilpres (HIDUP, 3/3/24, halaman 29) pada intinya menulis bahwa Gereja sudah salah karena diangap berpihak kepada paslon tertentu. Menurutnya, Gereja sedang salah dalam memaknai sebuah informasi, yang juga lagi-lagi dalam hemat saya masih blur, problematis dan debatable. Kesalahan informasi inipun ditopang dengan kekeliruan pada pemaknaan yang simbolik untuk mendukung dan mempromosikan figur tertentu dan menolak figur lain dengan begitu lugas.

Artikel itu ditanggapi Yanuar Nugroho dengan judul Gereja Yang Harus Berpihak (HIDUP, 10/3/24, halaman 24-25). Menurutnya Gereja tidak salah dan justru harus berpihak. Gereja harus berpihak pada keadilan, kesetaraan, serta penghormatan penuh kepada harkat dan martabat manusia. Seruan moral dan etika memang harus dinyatakan dengan tegas dan jelas – dengan segala konsekuensinya. Termasuk apabila mempunyai konsekuensi sosial politis. Karena itu bukan soal kalah-menang Pilpres. Gereja konsisten dalam perjuangan moralnya.

Polemik atas dua artikel diatas ditanggapi oleh Pastor Ferry Sutrisna Wijaya dalam tulisan Belajar Menghargai Perbedaan Pilihan Politik HIDUP, 17/3/24, halaman 26-27). Menurutnya polarisasi pilihan politik didalam tubuh Gereja Katolik tidak perlu terjadi apabila ada sikap saling menghargai perbedaan dengan asumsi rasionalitas dan kedewasaan umat (maupun imam) sendiri. Saling menilai, mengevaluasi apalagi menghakimi tidak akan bermanfaat karena dalam Gereja kita semua bersaudara (halaman 27).

Sampai d isini barangkali polemik selesai. Anggap saja ada tiga pendapat berbeda di dalam tubuh Gereja: berpihak, tidak berpihak dan satu jalan moderasi menghormati perbedaan. Menurut saya Gereja Katolik harus tetap menyuarakan nilai-nilai sesuai Ajaran Sosial Gereja, tanpa gesture keberpihakan atas praksis politik. Awam yang akan meneerjemahkan dalam tindakan politik sesuai dengan rasionalitas dan kebebasannya (dan tanpa harus melibatkan hierarki sebagai legitimasi), di tempat di mana dia berkarya.

Awal Mula Polemik

Saya mengamati, polemik tentang keberpihakan Gereja Katolik bermula dari beredarnya foto Ganjar-Mahfud bersama dengan para uskup di media sosial. Terlepas dari fakta apakah pasangan tersebut hadir sebelum, selama atau sesudah sidang KWI, berapa lama atau mengadakan dialog atau hanya berfoto saja, atau siapa yang membawa paslon tersebut ke lokasi sidang KWI, foto tersebut memberikan impresi dan opini tertentu di benak umat Katolik maupun di masyarakat luas. Ada tanggapan pro dan kontra. Foto para Uskup dan Prabowo, muncul kemudian menjelang masa kampanye berakhir. Dalam hal ini barangkali Gereja c.q. Hierarki ingin terlihat netral.

Media sosial terutama di wag-wag Katolik setelah itu ramai membahas foto yang beredar ketika Pastor Franz Magnis-Suseno, SJ menerima kunjungan Ganjar Pranowo. Terlepas dari isi pembicaraan, waktu kunjungan, makna pemberian buku, atau siapa yang membawa, event itu telah memberi kesan dan pesan. Sekali lagi menuai pro dan kontra di diskusi politik umat Katolik.

Jejak digital lain yang saya lihat adalah wawancara Kardinal Suharyo dengan wartawan. Atas pertanyaan wartawan, Kardinal bercerita isi Kitab Perjanjian Lama, bahwa nabi itu mempunyai peran mengingatkan raja-raja, dan apabila raja tidak bertobat maka di dalam sejarahnya akan tumbang. Begitu menurut Sejarah Perjanjian Lama. Sebuah cerita yang popular, biasa dan tidak ada yang salah. Namun karena timing yang pas, dan framing yang relevan seerta asosiatif dengan tokoh tertentu, momen itu terus dikembangkan oleh para penggiat politik, menjadi narasi tendensius dan seolah-olah.

Bingkai-bingkai atau political frame yang (dengan sengaja) dibuat ini yang menjadi materi polemik, bukan isinya. Alih-alih menjadi promosi keadilan dan pembelaan Gereja Katolik c.q hierarki atas HAM, malahan terimpresi bernuansa kental atas kooptasi Gereja oleh partai atau paslon tertentu. Hal yang tentu kontra-produktif, atau minimal sebuah tanya.

Literasi Digital dan Dampak Sosial

Dunia digital dengan algoritma masing-masing plaform serta kecerdasan AI-nya menyuguhkan disrupsi informasi dan budaya post-truth. Dunia maya identik dengan dunia nyata. Bersitegang di wag ternyata berpengaruh ketika ngupi bareng, artinya berpengaruh kepada sikap, preferensi, tindakan dan pilihan di bilik suara. Barangkali para uskup atau pastor paham atau tidak paham bahwa setiap foto, perkataan, ekspresi wajah bisa menjadi frame efektif bagi tujuan-tujuan sosial dan politik.

Menutup tulisan ini, menurut saya, Gereja Katolik tidak bersalah. Yang pintar adalah para politikus yang mengambil momen dan membingkai isi sedemikian rupa menjadi seakan-akan.

Bingkai-bingkai atau political frame yang (dengan sengaja) dibuat ini yang menjadi materi polemik, bukan isinya.

Raphael Udik Yunianto, Pengamat Media

Majalah HIDUP, Edisi No. 12, Tahun Ke-78, Minggu, 24 Maret 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini