Keledai: Sang Christophorus

350

HIDUPKATOLIK.COM – Tema utama dalam Minggu Palma adalah masuknya Yesus ke Yerusalem dan Ia dielu-elukan sebagai raja. “Kendaraan” yang digunakan Yesus adalah seekor keledai. Dari sekian banyak keledai yang ada di Yerusalem kala itu, mengapa keledai ini yang “terpilih” untuk mengantarkan Yesus. Seandainya kita mencoba menebak apa yang dalam kepala keledai itu, barangkali dia pun merasa heran kenapa dia diberi begitu banyak penghormatan. Sama halnya seperti lembu dan keledai di kandang Betlehem yang barangkali juga tidak mengerti mengapa ada seorang bayi manusia yang lahir di kandang mereka dan diletakkan dalam palungan mereka.

Bisa jadi selama merayakan Minggu Palma, hal yang lebih menjadi perhatian kita adalah daun palma. Jelas karena itulah nama yang digunakan, Minggu Palma dan bukan Minggu Keledai. Gereja akan dipenuhi dekorasi palma dan kita pun akan beramai-ramai melambaikan palma. Tapi marilah kita merenungkan pesan apa sesungguhnya yang ingin Tuhan sampaikan dengan memilih keledai sebagai alat transportasinya memasuki Yerusalem.

Sebagaimana kita tahu dalam berbagai kisah yang tertulis di Injil, Yesus banyak melakukan perjalanan. Pada masa itu tentulah dapat dikatakan satu-satunya sarana transportasi Yesus adalah kakinya sendiri. Artinya, Yesus menempuh perjalanan dari satu kota ke kota lain dengan berjalan kaki. Hanya ketika harus melintasi perairan, digunakannya perahu. Sejak masa kecilnya Yesus sering melakukan perjalanan dari Galilea ke Yerusalem dan itu bisa memakan waktu beberapa hari. Setidaknya setiap kali Perayaan Paskah Yahudi, Yesus pun melakukan perjalanan ke Yerusalem, sama seperti warga Yahudi lainnya.

Jika setiap tahunnya Yesus pergi ke Yerusalem untuk ikut merayakan Paskah, mengapa kali ini Ia memilih untuk menunggang keledai? Agar genap perkataan Nabi Zakharia, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa.” (bdk. Zakharia 9:9-10)

Begitulah semestinya kita memahami bagaimana Yesus masuk ke Yerusalem. Ia mau menunjukkan bahwa Ia adalah raja damai, yang datang bukan dengan pasukan tentara yang menunggang kuda, melainkan dengan seekor keledai, lambang kesederhanaan dan kerendahan hati. Siapakah yang akan menyerang seseorang yang datang dengan keledai? Karena ia tidak memiliki kekuatan untuk ditakuti hingga tidak perlu diserang. Sayangnya kedengkian hati orang-orang yang membenci Yesus tidak lagi dapat melihat hal itu. Damai yang dibawa Yesus justru direspon dengan menyerahkan Yesus ke hadapan Pilatus, yang membuatNya menghadapi kematian di kayu salib beberapa hari setelah Ia disambut sebagai raja di Yerusalem.

Kembali ke soal keledai. Yesus hanya meminjam keledai tersebut dari pemiliknya. Setelah misinya selesai, keledai itu kembali pada tuannya. Bagaimana nasib keledai itu selanjutnya? Siapa yang dia layani sebagai tunggangan? Apakah dia hanya seekor keledai yang dibebani dengan beban berat tanpa hambatan, sampai pada titik kehancuran? Pada titik tertentu keledai itu pun akhirnya mati. Namun ada satu hal yang melekat padanya selamanya: Yesus memilih dia, dan hanya dia, dari antara semua keledai di Yerusalem. Keledai yang masih muda, “belum pernah ada yang duduk di atasnya.” Yesus adalah orang pertama yang diijinkan menjadi tunggangannya. Secara harafiah, keledai itu sesungguhnya adalah “Christophorus”. Dalam Bahasa Yunani, nama Christoph berarti “Pembawa Kristus.”

Sebagaimana keledai muda, Sang Christophorus, yang membawa Kristus sebagai raja sekaligus “mengantar” pada penderitaan dan kematian Sang Raja, saat ini ada begitu banyak orang di berbagai belahan dunia sedang menanggung beban berat. Beban hidup yang berat akibat peperangan, kelaparan, bencana alam, perselisihan, ketidakadilan, diskriminasi, dll yang seringkali harus membuat manusia sampai pada titik terhancur dalam hidupnya. Ada banyak “keledai muda” di sekitar kehidupan kita atau barangkali kita sendiri yang saat ini sedang menjadi keledai karena sedang menanggung beban berat. Solidaritas dan keprihatinan perlu kita lakukan sebagai pengikut Kristus, sebagaimana dituliskan Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Galatia, “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Galatia 6:2)

Santo Fransiskus Asisi dalam sakitnya, menyebut dirinya sebagai “saudara keledai”. Ia menerima sakit dan penderitaannya sebagai suatu kebanggaan karena walaupun berbeban berat, namun ia percaya bahwa Yesus sendirilah yang sedang “dibawanya”.

Semoga semangat keledai muda yang menjadi Sang Christophorus (pembawa Kristus) memberi harapan bagi segala penderitaan dan beban hidup yang saat ini kita alami atau dialami oleh saudara-saudari kita. Selamat memasuki Pekan Suci.

Sr. Bene Xavier, MSsR dari Wina, Austria

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini