HIDUPKATOLIK.COM – Telah dua presiden terpilih dalam empat pemilihan umum, Sumarsih kukuh dalam diam, berpayung hitam, di depan Istana Nega
JARUM jam belum persis tiba di angka tiga, Kamis sore, 29 Februari 2024. Lexy Rambadeta, pengelola akun YouTube Jakartanicus, memasang dua kamera di seberang Istana Negara. Belasan anak muda berpakaian hitam tertangkap lensa saat Lexy menyiarkan peristiwa yang segera dimulai.
Sembari melakukan panning shot, Lexy sedikit berkisah. Ia mengaku pernah memiliki akun surat elektronik: [email protected], 20 tahun lalu. Nama ini ia pilih untuk menunjuk situasi Indonesia. Menurutnya, hanya dalam kartun hal mustahil bisa terjadi. Seekor kucing setelah terkena bom, bulunya hanya hangus dan menegak, lalu berlari. “Di Indonesia, hal-hal yang seharusnya tidak mungkin terjadi, tapi terjadi,” kata Lexy.
Komentar Lexy merujuk peristiwa sehari sebelumnya. Presiden Joko Widodo menyematkan tanda pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Alasannya, Prabowo berjasa kepada rakyat, bangsa, dan negara.
Hampir 26 tahun sebelumnya, Prabowo diberhentikan dari kedinasan di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI — kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia/TNI). Prabowo dinyatakan melakukan beberapa pelanggaran, terutama karena menangkap dan menahan tanpa wewenang sejumlah aktivis prodemokrasi, tahun 1998. Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengumumkan pemberhentian Prabowo pada 24 Agustus 1998.
Mendekati pukul 4 sore, hari Kamis itu, plasa di Taman Pandang Istana makin dipadati orang. Yang baru datang langsung bergabung dalam diam di bawah payung hitam. Berdiri di belakang spanduk bertuliskan “Aksi Kamisan Berdiri, Selamatkan Demokrasi.” Mata mereka menuju ke Istana Negara.
Ini aksi ke-807. Temanya, “Simfoni Kebohongan dan Impunitas Presiden Jokowi.” Presiden Joko Widodo dianggap bohong, sebab ia pernah berjanji akan mencari aktivis yang hilang pada masa Orde Baru. Lexy pernah bertanya kepada Joko Widodo saat masa kampanye Pemilihan Presiden 2014.
“(Bila) Pak Jokowi menjadi presiden, mencari Wiji Thukulnya bagaimana, Pak?” tanya Lexy.
“Ya dicari, … biar jelas, … dicari biar jelas. Ia teman baik saya, Mbak Pon teman baik, anaknya teman baik saya,” jawab Joko Widodo sembari menyalami para pendukungnya.
Yang dimaksud “Mbak Pon” adalah Sipon. Nama lahirnya Dyah Sujirah, istri aktivis Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) Wiji Thukul yang hilang sejak 1998. Keterangan Joko Widodo kepada Lexy dapat ditemukan dalam kanal Jakartanicus, 4 Juni 2014. Pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo dianggap menunjukkan keberpihakan Joko Widodo kepada pelanggar hak asasi manusia. Inilah impunitas, pembebasan dari hukuman kepada pelaku kejahatan.
Melawan Infrastruktur Impunitas
Selama 17 tahun, Maria Katarina Sumarsih setia berdiri di depan Istana. Ia menuntut kejelasan kematian anaknya, Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), yang menjadi korban penembakan dalam aksi mahasiswa, 13 November 1998. Peristiwa ini dikenal dengan nama Semanggi I.
Sumarsih memulai aksi ini, pada 18 Januari 2007, bersama Suciwati — istri mendiang pejuang HAM Munir, Bedjo Untung — korban penangkapan pasca Tragedi 1965, dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia: Penembakan Trisakti (1998), Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), Tragedi 13-15 Mei 1998, Tragedi 1965, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Pembunuhan Marsinah (1993), Pembunuhan Munir (2004), dan lain-lain.
Setiap Kamis, seusai aksi, satu pucuk surat diberikan kepada Presiden RI. Sumarsih akan menghampiri pagar sisi barat Istana dan menitipkan surat. Tercatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo — masing-masing — sekali menerima mereka. Yudhoyono menerima keluarga korban HAM di kantornya, 26 Maret 2008, dan Joko Widodo pada 31 Mei 2018. Kesimpulan dari pertemuan itu, kata Sumarsih, “adalah bahwa telah terjadi pertemuan.”
Di luar Istana, Kamisan menginspirasi munculnya aksi serupa di puluhan kota. Ia juga dikaji secara ilmiah oleh mahasiswa, secara Sosiologi, Ilmu Politik, Kebijakan Publik, Ilmu Komunikasi hingga Teknologi Media. Dokumennya tersimpan di pelbagai perpustakaan kampus, di antaranya Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Katolik Soegijapranata, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Padang, Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Islam Bandung, Universitas Nasional, Universitas Kristen Satya Wacana, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Siliwangi, Universitas Gunadarma, Universitas Tarumanegara, UPN Veteran Jakarta, dan Universitas Telkom.
Elizabeth F. Drexler dalam Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia (2024) menyebutkan bahwa Kamisan merupakan model untuk memahami bagaimana sejarah kekerasan negara muncul bukan dalam narasi kronologis, melainkan dalam pengulangan dan hubungan pelbagai peristiwa, masa lalu dan masa kini. “Dengan cara ini, Kamisan menunjukkan temporalitas dalam impunitas. Artinya, Kamisan memperlihatkan — secara mingguan — meski kekuasaan negara berulang kali menghindar dari pertanggungjawaban, Kamisan terus mengulangi tuntutan masyarakat akan tanggung jawab negara,” tulis Drexler.
Bertemu Ibu-ibu Argentina
Ide Aksi Kamisan datang dari jarak dan waktu yang cukup jauh. Di alun-alun depan Istana Kepresidenan Casa Rosada, di Buenos Aires, Argentina, pada 30 April 1977, belasan Ibu berdemonstrasi. Anak-anak mereka hilang sejak dimulainya terorisme negara, tahun 1976. Ibu-ibu itu secara sendiri-sendiri telah mendatangi rumah sakit, kantor polisi hingga penjara untuk mencari. Pertemuan demi pertemuan dalam pencarian berbuah ide: mereka harus bersatu dalam aksi.
Semula mereka bertiga belas, memutari Alun-alun de Mayo pada hari Kamis, memancing perhatian media. Saat itu Argentina dalam status keadaan darurat. Pemerintah melarang pertemuan lebih dari tiga orang. Untuk menyiasati ini, mereka berjalan berpasangan mengitari alun-alun. Dari waktu ke waktu, ibu-ibu lain bergabung. Mereka menggunakan kerudung putih layaknya popok anak-anak mereka sebagai penutup kepala.
Sumarsih bertemu beberapa Ibu Plaza de Mayo saat mereka berkunjung ke Jakarta, April 2009. Di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), ibu-ibu itu memberi semangat. Kamisan telah berlangsung selama dua tahun. Presiden Yudhoyono bergeming terhadap tuntutan Sumarsih dkk.
“Kami berjuang selama 32 tahun dan kami sudah mulai merasakan keadilan,” kata Lydia Taty Almeida, salah seorang Ibu de Mayo, kepada wartawan Tempo, 16 April 2009. Saat itu Almeida berusia 80 tahun.
“Saya pernah berkata (kepada Suciwati dan Bedjo Untung), bila Kamisan hanya diikuti dua orang, saya akan berhenti dan mengakui bahwa kami kalah,” kata Sumarsih kepada HIDUP, 4 Mei 2023.
Nyatanya selama 17 tahun, Kamisan selalu dihadiri oleh banyak orang. Paling sedikit belasan. Kebanyakan mahasiswa yang dari tahun ke tahun mewariskan kesadaran dan keberanian kepada adik-adik kelasnya. Setiap Kamis, ketika aksi mereka diabaikan oleh penguasa, mereka senantiasa kalah. Tapi, Sumarsih menolak takluk. Ia datang lagi Kamis berikutnya. Kerap diguyur hujan. Tubuh mungilnya yang hanya berbalut kaus hitam tak menggigil oleh basah dan dingin. []
Alif Iman Nurlambang, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Majalah HIDUP, Edisi No. 10, Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024