Menyokong Semangat Pantang Menyerah Sumarsih dkk.

68
Maria Katarina Sumarsih (tengah) pada aksi Kamisan di depan Istana Negara.

HIDUPKATOLIK.COM – SUMARSIH – lengkapnya Maria Katarina Sumarsih. Dia adalah salah satu ‘penggerak’ obor semangat para keluarga korban peristiwa ’98. Anaknya sendiri, Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan tewas di depan kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya pada peristiwa 1998 yang kemudian dikenal dengan Tragedi Semanggi I. Wawan sendiri saat itu masuk dalam tim Relawan untuk Kemanusiaan bersama dengan sejumlah relawan lain. Nyawanya tak tertolong setelah peluru panas menembus raganya. Tragedi Semanggi I adalah salah satu dari sejumlah peristiwa yang diakui oleh Presiden Joko Widodo sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia (Penembakan Trisakti, 1998; Semanggi II, 1999; Tragedi 13-15 Mei 1998; Tragedi 1965; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Tanjung Priok, 1984; Talangsari, 1989; Pembunuhan Marsinah (1993; Pembunuhan Munir (2004), dan lain-lain.

Aksi Kamisan di depan Istana Negara.

Tepat pada hari Kamis, 29 Februari 2024 lalu, 17 Tahun Sumarsih dan kawan-kawan yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi damai di depan Istana Negara setiap sekitar pukul 15.00 – 17.00. Aksi damai ini kemudian dikenal sebagai Aksi Kamisan. Para peserta Aksi mendesak pemeritah, terutama presiden yang berkuasa (SBY dan Jokowi) untuk mengusut tuntas peristiwa-peristiwa yang seperti disebut di atas yang telah diakui pemerintah sendiri sebagai pelangaran HAM.

Bagi Sumarsih dkk, hasilnya nihil. Kedua presiden itu pernah menerima mereka di Istana. Baru sampai di ‘menerima’ itu.  Ya, sekali lagi, memang, sebagai kepala negara Presiden Joko Widodo telah mengakui. Tapi bagi peserta Aksi Kamisan dan tentu saja bagi segenap pegiat HAM dan keadilan di tanah air, tak cukup sekadar mengakui. Harus ada tindakan konkret untuk membongkar peristiwa-peristiwa tersebut. Bagi mereka, pemberian gelar jenderal kehormatan (bintang empat) kepada Probowo Subianto baru-baru ini baru menambah luka mendalam. Prabowo diberhentikan dari kedinasan ABRI/TNI 26 tahun lalu karena ia dinyatakan melakukan beberapa pelanggaran, terutama karena menangkap dan menahan tanpa wewenang sejumlah aktivis prodemokrasi, tahun 1998. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto mengumumkan pemberhentian Prabowo pada 24 Agustus 1998. Maka, dalam konteks ini, Presiden Jokowi ditengarai kurang atau tidak sensitif sema sekali dengan para (keluarga) korban. Rasa keadilan terusik.

Seperti disampaikan Sumarsih, Aksi Kamisan akan terus dilakukan hingga tuntutan terpenuhi. 17 tahun bukan waktu yang singkat lagi! Setiap pekan, Aksi ini mengingatkan semua pihak, khususnya pemerintah, lebih spesifik lagi, presiden saat ini dan nanti untuk mengambil langkah-langkah konkret menuntaskan semua pelanggaran, minimal yang sudah diakui pemeritah. Penuntasan kasus-kasus ini akan berdampak luas bagi perjalanan bangsa dan negara ini ke depan. Sumarsih dkk., dan kita, menginginkah agar keadilan dan kebenaran dibuka dan diwartakan.

Majalah HIDUP, Edisi No. 10, Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini