Dialog Ramadhan KAJ, Kardinal Suharyo Tekankan Transformasi

148
(Ki-ka) Pastor Antonius Suyadi, Kardinal Ignatius Suharyo, Dede Rosyada Nasaruddin Umar, dan Chaidir (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

HIDUPKATOLIK.COM – Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, menekankan pentingnya transformasi pribadi dan institusi guna mewujudkan kesejahteraan bersama dalam sebuah program dialog yang diselenggarakan pada Kamis (14/03/2024) oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Jakarta (Komisi HAAK-KAJ) di Gedung Karya Sosial Katedral Jakarta.

Dalam kerjasama dengan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dialog Ramadhan bertema “Membangun Persaudaraan dan Perdamaian Antarumat Beragama” tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta Dede Rosyada.

Pembicara berfoto bersama peserta (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Sekitar 100 tokoh lintas agama menghadiri program yang berlangsung selama dua jam tersebut. Di akhir kegiatan, mereka mengunjungi komplek Masjid Istiqlal dengan melewati Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. 

Kardinal Suharyo mengawali paparannya dengan menyampaikan dua pertanyaan: sumber transformasi institusi dan sumber transformasi pribadi. Kedua pertanyaan ini berkaitan dengan pernyataan yang disampaikan sebelumnya oleh Nasaruddin dan Dede.

“Ketika Prof. Nasar berbicara tentang Masjid Istiqlal, yang saya tangkap adalah dalam perjalanan kepemimpinan Bapak Nasaruddin, Istiqlal mengalami transformasi yang dahsyat. Lalu Prof. Dede tadi berbicara mengenai tujuan dari negara kita. Yang saya tangkap rumusannya adalah kesejahteraan yang semakin meningkat. Kata ‘semakin meningkat’ saya baca juga sebagai transformasi. Dari masyarakat atau bangsa yang hanya menggali kekayaan alam menjadi bangsa yang menggunakan pengetahuan untuk mencapai kesejahteraan,” ujarnya. 

“Jadi bagi saya, kata kuncinya adalah transformasi. Transformasi institusi. Entah itu kehidupan bangsa, entah itu Masjid Istiqlal dengan contoh yang sangat jelas.”

Kardinal Suharyo lantas menyampaikan pertanyaan pertama terkait sumber transformasi institusi. Menyinggung pernyataan Dede tentang kasih, ia menjelaskan tentang eros, philia, dan agape, tiga kata Bahasa Yunani yang memiliki makna berbeda.

“Oleh karena itu, jawaban saya pribadi atas pertanyaan saya, sumbernya adalah transformasi pribadi. Dan transformasi pribadi bisa saya sampaikan kalau menggunakan kata yang berbeda tadi: ketika saya sungguh-sungguh dipengaruhi bukan oleh pikiran sendiri tetapi oleh kehendak Allah yang tentu saja kita temukan dalam Kitab Suci kita yang berbeda-beda,” ungkapnya. 

Pembicara dan peseta berfoto bersama di komplek Masjid Istiqlal (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Ia kemudian menyampaikan pertanyaan kedua terkait sumber transformasi pribadi. 

“Sumbernya adalah penghayatan iman yang otentik,” jelasnya. “Kalau tidak ada transformasi pribadi, transformasi institusi tidak bisa terjadi. Yang berkelahi akan tetap berkelahi, yang bersaing saling mengalahkan akan tetap saling mengalahkan. Tetapi kalau terjadi transformasi pribadi, yang tadinya berkelahi menjadi bekerja sama, yang tadinya memikirkan kepentingan sendiri, mementingkan kepentingan bersama.”

Kardinal Suharyo juga mempertanyakan proses transformasi bangsa ini yang berjalan sangat lamban. Ia pun menyebut korupsi dan kebenaran yang sering ditutupi sebagai dua dari sekian banyak penyebab. 

“Korupsi itu istilahnya adalah kejahatan luar biasa. Silakan membayangkan kalau uang-uang yang dikorupsi itu uang kita, pajak yang dipakai untuk mengembangkan pengetahuan. Tapi tidak, uangnya entah dipakai untuk apa. Bagi saya, seandainya bangsa kita mampu bertransformasi dari kebiasaan korupsi menjadi kebiasaan berpikir demi kepentingan bersama, masyarakat semakin sejahtera. Saya yakin suasananya akan sangat berbeda,” ujarnya.

“Masalah kebenaran yang seringkali ditutup-tutupi untuk berbagai macam kepentingan yang tidak mulia. Saya berpikir begini, pada suatu zaman, pada suatu periode dalam perkembangan manusia, seorang filsuf Prancis merumuskan jati diri manusia pada zamannya: saya berpikir maka saya ada. Itu zaman dulu, zaman mulainya ilmu-ilmu positif, jadi pikiran menjadi sangat penting. Zaman berubah, Sekarang ini kita – kata para cerdik pandai – berada di zaman pasca kebenaran. Post-truth. Rumusannya kalau dulu ‘saya berpikir maka saya ada,’ sekarang ini – pada zaman pasca kebenaran – ‘saya berbohong maka saya ada.’ Mengerikan sekali. Oleh karena itu maka jangan heran kalau banyak hoaks di media sosial. Tetapi yang paling mengerikan adalah kalau kejahatan dicoba ditutup-tutupi untuk kepentingan yang tidak terpuji.” 

Terapan dan Kesejahteraan Bersama

Dalam paparannya, Nasaruddin menggarisbawahi tentang pentingnya dialog yang bukan lagi sekadar teori melainkan bersifat aplikatif. Ia pun menceritakan tentang kunjungannya ke beberapa gereja Katolik di Amerika Serikat beberapa hari lalu.

“Ini dalam rangka diundang oleh PBB, karena (Masjid) Istiqlal menjadi viral di komunitas internasional tentang adanya Terowongan Silaturahmi,” ujarnya. 

“(Masjid) Istiqlal dianggap sebagai simbol perdamaian. Sampai dikatakan ‘jangan bicara di negeri Anda sendiri tapi juga bicara di negara lain.’ Jadi menyuarakan (Masjid) Istiqlal. Ini suatu kebanggaan bagi kita, Bangsa Indonesia. Dari sekian banyak masjid, Istiqlal diminta untuk mewakili umat Islam.”

Menurut Nasaruddin, toleransi beragama di Indonesia bukan lagi sekadar teori melainkan terapan berupa pembangunan Terowongan Silaturahmi.   

“Jadi saya kira dialog antarumat beragama harus berpindah dari satu tema, bukan teori tapi lebih aplikatif. Kehadiran kita bisa menambah wawasan,” tegasnya.

Sementara itu, Dede mengatakan tujuan bangsa ini adalah mewujudkan kesejahteraan bersama. Untuk itu, masyarakat perlu memberi perhatian serius terhadap sharing dan caring.

Pastor Antonius Suyadi (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

“Sharing and caring. Kolaborasi itu basisnya adalah cinta,” ungkapnya. “Membangun persaudaraan antariman basisnya adalah cinta. Bukan cinta seperti laki-laki dan perempuan, tapi cinta sesama saudara kita, lintas iman. Harus membangun komunikasi dan relasi based on love. Lupakan kalau kita beda agama, tapi kita satu tujuan: welfare.”

Menurut Ketua Komisi HAAK-KAJ, Pastor Antonius Suyadi, program tersebut bertujuan untuk membagikan pengalaman ketiga pembicara.

“Sebagai umat beragama, dengan rahmat Ramadhan ini, kita membangun kebersamaan kedamaian,” ujarnya.

Katharina Reny Lestari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini