HIDUPKATOLIK.COM – KOLOM Romo Dony Kleden, CSsR, “Gereja Pascapilpres” (HIDUP, 3/3/24, halaman 29) penting untuk ditanggapi dan dibahas. Terutama karena tulisan ini secara implisit menempatkan keberpihakan Gereja Katolik sebagai otoritas sebagai sesuatu yang salah dan merugikan.
Saya kutip, “… keberpihakan Gereja pada saat pilpres yang melahirkan polarisasi yang tidak menguntungkan bagi Gereja baik dari eksistensinya maupun misinya.” Menurut Romo Dony, Gereja seharusnya, “… cukup menyuarakan pesan moral yang universal tanpa harus tendensius. Pesan moral pun perlu difilter, sehingga kata atau terma atau kalimat [yang] sering diucapkan belakangan ini selama kampanye untuk menyudutkan dan mendelegitimasi paslon tertentu jangan dimunculkan lagi.” Dan di situlah kealpaan Gereja, menurutnya.
Saya tidak sependapat.
Pertama, Gereja tidak salah dan justru harus berpihak. Gereja harus berpihak pada keadilan, kesetaraan, serta penghormatan penuh pada harkat dan martabat manusia. Itu inti ajaran sosial Gereja. Gereja harus menjunjung tinggi nilai, moral, etika, integritas, dan seluruh keutamaan yang selama ini menjadi dasar iman Katolik. Seruan moral dan etika memang mesti dinyatakan dengan tegas dan jelas – dengan segala konsekuensinya. Bahkan Ketika konsekuensi itu dianggap tendensius. Tidak apa-apa.
Kedua, intisari soal moral dan etika yang diserukan Gereja bukanlah perkara mayoritas-minoritas. Almarhum Romo B. Herry-Priyono, SJ dalam kuliahnya mengatakan, “Dari what is, kita tidak bisa langsung menjadikannya what should be.” Dia mencontohkan, “Kalau dari survei ditemukan bahwa 90% siswa ternyata menyontek saat ujian (what is), bukan berarti lantas mesti dibuat kebijakan bahwa menyontek itu diperbolehkan (what should be).” Coba kita terapkan di sini: “Kalau dari survei 64,9% umat Katolik memilih pelanggar HAM, hukum, dan etika sebagai presiden dan wakil presiden (what is), bukan berarti Gereja lantas mesti membuat ajaran tidak apa-apa memilih pelanggar HAM, hukum, dan etika sebagai pemimpin (what should be).”
Memperjuangkan nilai moral dan etika tidak bisa diukur dengan kalah atau menang –apalagi dalam elektoral pemilu. Ini perjuangan panjang. Sebagai bagian dari Gereja, saya justru bersyukur dan berterimakasih bahwa para klerus (uskup dan imam) mau ‘turun’ dari singgasananya menyerukan aksi nyata, tidak steril dan cuci tangan dari kondisi nyata yang dihadapi bangsa dan negara, sambil bersembunyi di balik jubahnya. Sejumlah uskup menyampaikan seruan. Banyak imam berbicara terbuka tentang etika dan moral di depan publik. Bapak Kardinal bahkan hadir menemui tokoh Kamisan Ibu Sumarsih, menghadirkan wajah Gereja yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan berpihak pada korban. Pernyataan Bapa Kardinal, para uskup dan imam yang saya simak secara hati-hati juga sebenarnya masih murni berisi seruan moral, etika, dan tuntunan kenabian. Tidak pernah menyebut nama. Meski, tentu saja selalu bisa dianggap dan dimaknai demikian, apalagi oleh mereka yang sedang jelas-jelas memihak.
Ketiga, untuk itu Gereja tidak perlu takut. Tidak perlu pula perhitungan politik menang-kalah — apalagi untung-rugi — menjadi pertimbangan utama. Gereja memang tidak boleh berpolitik praktis – imam tidak boleh masuk partai atau menjadi caleg, misalnya. Namun Gereja boleh dan harus memberikan arah moral, yang tentu saja akan selalu punya dampak politis. Apa yang tidak politis di kolong langit ini? Tidak ada.
Saya menangkap ada nuansa ketakutan dalam tulisan itu bahwa Gereja bisa jadi akan diserang atau dipojokkan oleh pihak (dan/atau pendukungnya) yang akhirnya menang dalam kontestasi Pilpres 2024 yang sebenarnya justru menjadi sorotan seruan moral Gereja. Saya sebut jelas saja: pasangan Prabowo-Gibran yang didukung oleh aparat pemerintahan Presiden Jokowi. Gereja memang menyampaikan seruan moral yang implikasinya bisa dibaca jelas untuk tidak memilih pasangan ini karena persoalan pelanggaran HAM di masa lalu, proses pencalonan yang melanggar etika dan hukum, dan ketidaknetralan serta berbagai pelanggaran penyelenggaraan pemilu — termasuk intimidasi dan tekanan pada budayawan, aktivis, masyarakat sipil — yang justru dilakukan aparat pemerintah Presiden Jokowi. Apakah kita sebagai persekutuan umat beriman (Gereja) takut akan dampak seruan moral ini?
Saya memang bertanya-tanya. Mengapa menurut exit poll Kompas (17/2/24), 64,9 persen umat Katolik memilih Prabowo-Gibran (bandingkan, Muhammadiyah 41,6 persen, NU 55,8 persen)? Mungkinkah selain karena berbagai faktor — seperti efek Jokowi, politisasi dan mobilisasi bansos, framing media sosial — ini juga terjadi karena sindrom ketakutan minoritas muncul kembali –lebih baik berlindung pada yang kuat, no matter what — seperti nuansa tulisan Romo Dony itu? Mungkinkah 64,9 persen umat Katolik di bilik suara berpikir, “Tidak apa-apa saya memilih 02, toh umat lain akan memilih yang lain. Tak ada yang tahu”?
Jika pun ya, tidak apa-apa. Tetapi ke depan Gereja tidak perlu takut lagi. Kita sebagai umat beriman tidak perlu takut lagi. Gereja sebagai otoritas justru mesti terus secara tegas menyuarakan posisi moralnya. Karena itu yang sebenarnya dibutuhkan oleh umat: Umat membutuhkan kompas moral. Apa yang bisa diharapkan oleh umat kalau Gereja sebagai otoritas justru tidak tegas memberikan arah moral? Atau kalau imam atau rohaniwannya ternyata lebih takut pada penguasa daripada menjunjung nilai moral dan etika?
Kita mesti ingat: kebenaran tidak ditentukan oleh kuantitas suara pendukungnya. Karena itu, sikap Gereja selama ini bagi saya sudah tepat: berpihak pada akal sehat, berpihak pada moralitas dan etika. Apalagi, kalau kita sungguh mau mencermati kondisi sosial-ekonomi-politik serta dinamika tatakelola negara saat ini dan dalam beberapa bulan dan tahun ke depan, rasanya peran dan posisi Gereja Katolik selama ini amat benar.
Semoga kita ingat, dalam Pemilu 1997 yang jelas sudah dirancang untuk kemenangan Soeharto, KWI mengeluarkan surat gembala: mereka yang tidak memilih tidak berdosa. Soeharto tetap menang, meski setahun kemudian tumbang. Dalam Pemilu 2014 dan 2019, ada seruan moral Gereja untuk tidak memilih pelanggar HAM: Prabowo. Prabowo kalah. Tahun 2024, Gereja secara konsisten menyerukan seruan moral yang sama untuk menolak orang yang sama dengan alasan yang sama — Gereja konsisten.
Lepas dari ketidaksetujuan saya, tulisan Romo Dony bisa jadi bahan refleksi. Bukan soal kalah-menang dalam kontestasi elektoral, tetapi soal cara dan strategi dalam memberikan pesan moral dan sosial-politik Gereja. Nilai moral, etika, dan ajaran sosial Gereja tidak cukup hanya diserukan dan dikotbahkan dalam homili. Ia mesti diwujudkan dalam praktik nyata sehari-hari, ditunjukkan dalam pembelaan Gereja pada yang miskin, lemah dan tertindas. Gereja juga mesti aktif mencerdaskan umat dan memfasilitasi mereka dalam berbagai keterlibatan sosial dan politik, menyuburkan kembali yang dipesankan Kardinal Soegijapranata, “100 persen katolik, 100 persen Indonesia.”
Hanya dengan itu, kita sebagai Gereja –persekutuan umat beriman — mengambil peran bermakna sebagai warga negara dalam mewujudkan dan menjaga hidupnya gagasan besar bernama Indonesia.
“Sikap Gereja selama ini bagi saya sudah tepat: berpihak pada akal sehat, berpihak pada moralitas dan etika.”
Yanuar Nugroho, Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019, tinggal di Yogyakarta. Email: [email protected]; Media sosial: @yanuarnugroho
Majalah HIDUP, Edisi No, 10, Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024