Dijual, Serangkaian Kenangan Indah

98

HIDUPKATOLIK.COM – Malam tak jadi gelap. Aku menikmati suasana malam ini dengan penuh ketakjuban. Langit sedang diterangi rembulan penuh. Aku duduk sendirian di kursi tua teras rumah. Aku satu-satunya lelaki di rumah ini. Nenek, ibu, dan Tante-tanteku sedang bercengkerama di ruang televisi. Nasrib, Waderi, Dul Rahman, Giman, dan Samiun baru saja lewat dan menyapaku dengan basa-basi. Mereka itu para tetanggaku. Ketika aku tanya mau kemana, jawaban mereka sama: Diundang kenduri di rumah Anwar.

***

Bu Hajah Siti Kasimah yang tinggal di sebelah rumah, sudah menjadi janda dan kaya. Keduanya, status “janda” dan kekayaan itu, diwarisi dari mendiang suaminya, Haji Cholbari. Rupanya, warisan status “janda” tidak terlalu membuatnya bersedih, karena suaminya memiliki empat istri lagi. Bagi Bu Hajah, warisan status “janda” sama menyenangkan dengan warisan harta: Tanah tiga setengah hektar, sepuluh sapi betina dan tiga pejantan, dua puluh satu ekor kambing, empat puluh tiga ayam betina dan sebelas jago, satu kandang entok dan dua pasang angsa. Rumah peninggalan mendiang suaminya tergolong mewah untuk ukuran kampung kami. Mirip dengan rumah nenek, tempat kami tinggal, yang semua kerangkanya terbuat dari jati tua.

Bu Hajah memiliki anak semata wayang. Lelaki. Namanya Anwar. Sejak kecil, si anak rajin mengaji. Dia tak pernah mau bergaul dengan teman-teman sebaya. Waktu hidupnya dihabiskan untuk membantu uminya (emaknya) bertani dan berternak. Selebihnya, hanya untuk mengaji. Pendidikan formal di Sekolah Dasar tidak pernah dia selesaikan. Pada waktu Kelas IV, setelah ayahnya meninggal dunia, dia keluar dari sekolah. Dengan mudah Anwar meninggalkan sekolah, tak semudah ketika masuk karena dipaksa oleh sang ayah.

Kami bertetangga. Walau berbeda agama, kami bisa hidup rukun dan tak pernah mempersoalkan keyakinan. Aku teringat akan kebaikan Bu Hajah. Dulu, waktu pulang dari naik haji, dia memberi kami oleh-oleh satu kotak besar buah kurma dari Mekah. Bagi keluarga kami, itu sudah menjadi buah mewah. Kami tidak pernah makan buah kurma, jika Bu Hajah tidak berhaji ke Mekah. Selain itu, nenek dihadiahi syal gambar Ka’bah. Nenek mengenakannya dengan gembira. Bu Hajah merasa belum puas, jika belum meminjamkan slides selama berhaji. Bu Hajah hanya ingin berbagi syukur dan membuat kami, tetangga dekatnya, ikut bergembira.

Pernah, kami mengalami peristiwa sedih. Adik saya yang masih belum berusia satu tahun jatuh dari gendongan tante Wien. Menurut adat kebiasaan kampung kami, dia harus diruwat. Caranya: adik saya dimasukkan ke dalam “cikrak” (tempat sampah dari bambu), lalu “dibuang” di luar pagar rumah. Kami sudah janjian dengan Bu Hajah, seolah-olah dia sedang menemukan anak. Saat adik sudah siap dibuang di luar pagar, wajah Bu Hajah terlihat lucu mengintip dari pintu dapurnya. Saat cikrak yang berisi bayi adik dibuang, dengan suara melengking si bayi menangis keras. Bu Hajah sudah bersiap-siap di balik pintu dapur. Dia berlari cepat mengambil cikrak itu, sambil berteriak tak kalah keras dengan suara tangis adik, “Horeeee, aku nemu bayek. Aku nemu bayek!” (Horeeee, saya menemukan bayi. Saya menemukan bayi!). Walau semua itu sudah kami setting bersama, kami semua tak bisa mengendalikan tawa spontan diliputi rasa haru. Rupanya, Bu Hajah fasih juga bermain sandiwara. Namun, kegembiraan Bu Hajah tidak termasuk dalam skenario settingan kami. Lalu, kami menebusnya dengan uang ala kadarnya. Uang itu pun, oleh Bu Hajah dibelikan rujak cingur yang terkenal enak dari warung Yu Ngademi. Kami makan beramai-ramai.

Saat Idul Fitri, Bu Hajah mengirim nasi hangat lengkap dengan lauk-pauknya: gule kambing, plus opor ayam kampung, sayur pucuk labu, dan rendang. Ya ampun, itu merupakan suatu kemewahan bagi keluarga kami. Sebaliknya jika Natal, sedapat mungkin kami membalas kebaikan Bu Hajah dengan mengirim makanan, walau tak bisa menandingi kemewahan kirimannya. Pokoknya sebagai tetangga, secara alami kami hidup dalam toleransi tinggi.

Waktu kami membongkar-bongkar lemari untuk menyortir pakaian yang akan kami buang di belakang rumah, Bu Hajah diam-diam mengintip dari luar jendela rumah kami. Lalu, dengan rendah hati meminta beberapa pakaian, katanya untuk “telesan” (pakaian sekedar penampung keringat) ke ladang tebu, miliknya. Bu Hajah itu orang kaya, tetapi masih mau mengenakan pakaian yang nyaris kami buang. Dia sungguh rendah hati dan luhur budi pekertinya.

Kami sering menumpang menjemur padi dan jagung di halaman rumah Bu Hajah. Halamannya disemen secara khusus untuk bisa menyimpan panas matahari. Dia sama sekali tidak keberatan. Bahkan, jika ada ayam yang mematoki jagung-jagung kami, Bu Hajah ikut membantu mengusirnya. Padahal itu ayamnya sendiri.

***

Malam ini, aku terkenang pada almarhumah Bu Hajah.  Saat Bu Hajah masih hidup, kami selalu menemukan banyak cara untuk bersilahturahmi. Tak pernah menanyakan, apalagi meributkan soal beda agama. Kami hidup bertetangga dengan rukun, saling menyapa, menolong dan menghormati. Hidup bertetangga dengan Bu Hajah membuat hati sejuk, tenang, dan damai. Itulah kenangan indah kerukunan kami. Ya, kini tinggal kenangan! Satu tahun lalu, Bu Hajah dipanggil Allah.

Aku termenung sedih. Malam ini, peringatan satu tahun kematian Bu Hajah. Para tetangga diundang kenduri, sedangkan aku tidak! Dalam tradisi kampung kami ditanamkan keyakinan bahwa kenduri bukan hanya bagi-bagi makanan, tetapi juga berkat. Aku benar-benar sedih, karena tidak diundang kenduri ke rumah Anwar. Padahal, hari Jumat Legi selepas sholat dhuhur waktu itu, Bu Hajah menghembuskan napas terakhir dengan posisi kepala di pangkuanku. Anwar sedang bepergian bersama istrinya. Saat meregang napas, Bu Hajah yang sudah renta menggenggam tanganku erat-erat. Aku yang sudah menjadi seperti anaknya sendiri, meneteskan air mata karena kesedihan yang tak terbendung.

Aku bertekad untuk menjual semua kenanganku bersama Bu Hajah. Kenangan tak ternilai! Akan kutuliskan menjadi cerita komik. Akan kujajakan ke sekolah-sekolah, dan kubagikan secara cuma-cuma ke panti-panti asuhan. Bahkan, akan kubagikan juga ke para tokoh Agama. Akan kukisahkan kenangan keakraban kami yang indah dalam koran dan majalah, serta semua media sosial. Akan kugaungkan senandung persaudaraan kami yang mulia kepada setiap orang yang suka mendengarkan cerita. Akan kuteriakkan ke seluruh dunia, bahwa generasi sekarang mesti belajar kehidupan toleransi bernilai luhur dari kehidupan nyata yang sederhana. Bahkan, jika harus membelinya dari pengalaman suri teladan Bu Hajah Siti Kasimah yang ramah.

Oleh Adrian Pristio, OCarm

Majalah HIDUP, Edisi No. 08, Tahun Ke-78, Minggu, 25 Februrari 2024

2 KOMENTAR

  1. Terima kasih Rm. (atau msh frater?) Adrian Pristio, OCarm. Persis “seperti” tulisan saya yang juga bertema toleransi. “Pulau Batter, Persemaian Toleransi nan Indah” begitu judul tulisan saya. Mengisahkan tentang pengalaman masa kecil saya di sebuah pulau kecil, pulau Batter, di perairan Utara Maumere, Flores, NTT. Sebagai anak guru yang bertugas di pulau itu, saya bergaul dengan rekan-rekan Muslim di sana, belajar bahasa Arab, doa, bahkan punya baju koko, kopiah dan sajadah.Tapi tetap menganut Katolik hingga kini. Kebersamaan kami itu berdampak positip hingga kami sama-sama tumbuh dewasa.
    Betapa indah dan menyejukkan toleransi itu. Negara pluralis ini sungguh membutuhkan itu.
    (Lihat buku Antologi kami berjudul: “Marwah Tak Sekadar Kisah: Kumpulan Perjalanan Menguntai Makna, Meresap Bahagia”; pernah diulas oleh pak Cahyadi Takariawan di Kompasiana)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini