BASA-BASI SEBELUM PEMILU

200
Oleh Fr. Gabriel Mario L, OSC (Kontributor, sedang studi di Amerika Serikat)

HIDUPKATOLIK.COM – (Tulisan berikut tidak ditulis oleh seseorang yang memiliki basic dalam ilmu sosial dan politik. Penulis hanya mengekspresikan perasaannya terkait pemilu.)

Tidak terasa, pemilu tinggal menghitung hari. Mungkin bagi sebagian orang, pemilu adalah hal yang dinanti-nantikan. Ada semacam euforia dan harapan di dalamnya. Namun, ada sebagian orang yang menganggap pemilu adalah peristiwa yang biasa-biasa saja. Mereka menganggap pemilu tak ubahnya rutinitas 5 tahun belaka saja. Di sini saya tidak hendak memaksa seseorang untuk memiliki sikap tertentu terhadap pemilu. Semua bebas menentukan sikap atas pemilu. Tentu, ini bukan berarti seseorang diperbolehkan untuk bergolput, terlepas apa saja alasan di balik itu. Bagi orang tertentu, “golput” adalah salah satu pilihan sendiri. Memang sedikit janggal; memilih untuk tidak memilih. Ada kontradiksi di dalamnya. Namun demikian, kita semua tahu bahaya yang ditimbulkan jika kita mengambil sikap golput.

[Dok. Komisi Komunikasi Sosial KWI & Komisi Kerasulan Awam KWI]
Secara pribadi, ini adalah kali kedua saya berpartisipasi dalam menggunakan hak suara saya. Uniknya, keduanya saya lakukan bukan di domisili saya sesuai KTP karena beberapa alasan. Lebih lanjut, lima tahun lalu, saya mulai merasakan keseruan dari pesta demokrasi. Kala itu saya merasa senang sekali karena ini salah satu yang menandakan saya telah menjadi pribadi yang dewasa. Terlepas dari itu, saya merasakan bahwa tidak banyak perbedaan di antara apa yang saya rasakan pada tahun ini dan lima tahun yang lalu. Mungkin yang menjadi pembeda di tahun ini adalah usaha saya untuk mencermati tahap demi tahap debat yang ada. Saya tidak pernah menonton secara keseluruhan. Hanya highlight yang saya coba simak melalui tayangan di YouTube. Ada kalanya juga saya tertawa terpingkal-pingkal melihat cuplikan debat yang diedit lalu diunggah di media sosial seperti Instagram atau TikTok. Memang, kreatif benar netizen +62 ini. Debat yang menegangkan malah bisa menjadi sesuatu yang mengocok perut para pemirsa.

Terkait dengan debat, seharusnya kita sudah memiliki gambaran yang jelas akan siapa yang akan kita pilih. Setiap pasangan calon berusaha menampilkan visi-misinya secara jitu. Mereka berupaya meyakinkan hati para rakyat dengan gagasan dan terobosan yang baru dan menantang. Tak jarang mereka juga saling menyela pendapat demi menunjukkan argumen mereka yang paling rasional dan teruji benar. Apakah ini tak ubahnya sekadar adu retorika? Saya tidak akan menjawab. Silakan anda menilai sendiri. Menjadi jelas bahwa tak jarang pemilu menciptakan polarisasi di sana-sini. Kubu-kubu bermunculan sehingga ada kalanya persahabatan dan persaudaraan sedikit renggang. Ini tampak jelas ketika melihat “debat” para pendukung di kolom komentar media sosial yang tak kalah asyik dengan debat para calon itu sendiri. Syukurlah, rasa-rasanya semua dalam situasi dan tataran yang wajar.

Kebetulan yang Berahmat?

            Sebagai orang Katolik Indonesia, 14 Februari 2024 menjadi istimewa bukan sekadar terdapat pemilu di dalamnya. Tanggal tersebut menjadi perayaan besar bagi umat Katolik yang memasuki “retret agung” 40 hari. Pada tanggal tersebut, dahi kita akan diolesi abu sebagai tanda tobat untuk mempersiapkan diri melalui masa prapaskah. Memang bisa juga anda menambahkan atmosfer valentine di dalamnya, namun sayangnya saya tidak mengisi perayaan tersebut dengan sesuatu yang istimewa. Sekalipun demikian, saya memiliki keyakinan bahwa kebetulan ini memang dirahmati oleh Allah sendiri. Ia yang “mendesain” sedemikian rupa sehingga kita boleh merasakan momentum pemilu dalam suasana dan khidmat prapaskah.

Saya teringat akan Surat Gembala tentang Pemilu 2024 dari Keuskupan Bandung. Surat Gembala tersebut berjudul “Memilih sebagai Tanda Pertobatan dan Tanggung Jawab”. Dalam judul ini tampak jelas adanya korelasi antara memilih dan dimensi pertobatan serta tanggung jawab. Dimensi tersebut makin diperkuat ketika para umat dihimbau untuk memilih calon dengan “menimbang-nimbang dengan bimbingan Roh Kudus”. Dalam hal ini, kita dapat melihat “sakralitas” dari pemilu. Tidak sekadar analisis politik yang jitu, melainkan juga butuh kemampuan ber-discernment agar dimampukan untuk “tidak jatuh pada pilihan yang berdasarkan tampilan luar”. Singkat kata, pemilu bukanlah urusan main-main. Ada nilai luhur yang diperjuangkan di dalamnya, baik sebagai yang dipilih, maupun sebagai yang memilih.

Lebih lanjut, peristiwa Prapaskah yang akan kita sambut ini kiranya mampu mengobati hati yang “remuk redam”. Mungkin ada banyak hati yang telah dikecewakan dalam kurun pesta demokrasi ini. Entah itu karena perbedaan pendapat dengan rekan sejawat, atau bahkan karena pihak yang diusung tidak menang, menjadi jelas bahwa prapaskah adalah saat yang pas di mana luka-luka dipulihkan kembali. Yang tadinya sempat bermusuhan, diharapakan kembali menjadi sahabat seperti sedia kala. Kalau ternyata setelah pemilu tetap bermusuhan, rugi dong……. 😊

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini