Dari Pangkambi’ Tedong Jadi Gembala Umat

410
Mgr. Fransiskus Nipa (Dok KAMS)

HIDUPKATOLIK.COM – SUKACITA adalah kata yang tepat bagi gambaran kebahagiaan dari wajah saudara-saudari dan keluarga besar Mgr. Fransiskus Nipa ketika mendengar berita terpilihnya salah seorang anggota keluarga menjadi Uskup Agung Koajutor Makassar. Sekretaris Keuskupan Agung Makassar (KAMS), Pastor I Made Markus Suma menulis ungkapan kegembiraan salah seorang kakak Mgr. Frans, Lambertus Nipa, “Kami tidak pernah membayangkan Pastor Frans menjadi uskup! Kami bahagia!”

Pada tanggal 3 Juli 1990 Diakon Fransiskus Nipa menerima Sakramen Imamat dari Mgr. Franciscus van Roessel, CICM.

Lahir sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan (Alm) Yakobus Duma’ Nipa dan Yohana Maria Angka, Mgr. Frans dikenal sebagai sosok yang tenang, penyanyang, dan penganyom. Ia banyak menghabiskan masa kecilnya di kampung halaman di Desa Mariali, Makale, Toraja. Lebih lanjut, Pastor Made menuturkan bagaimana karakter Mgr. Frans yang dituturkan oleh sang kakak, Agripina Nipa. “Dia itu pribadi penurut. Ketika mama mau keluar, ia gelisah karena takut kelaparan. Jika saya tinggal di rumah, maka mama berpesan, ‘masak banyak-banyak supaya adikmu tidak kelaparan’,” kisah Agripina.

Cita-cita

Kelahiran Makale, 29 Januuari 1964 ini sedari kecil sudah memiliki cita-cita menjadi seorang Pastor. Ini diaminkan oleh saudarinya Agripina Nipa yang lanjut berkisah ketika orang bertanya mau jadi apa dengan mantap Frans kecil akan menjawab jadi pastor. Lambertus Nipa turut menipali bahwa ketika kecil saat berkumpul ia senang berdiri sebagai imam.

Selanjutnya dituturkan Pastor Made, memori yang sama diutarakan oleh rekan seperjuangan Mgr. Frans sejak dibangku SMP Katolik Mandetek, Tana Toraja. Pastor Valens Mariang mengisahkan, saat guru agama bertanya siapa yang mau jadi pastor, hanya Frans kecil yang angkat tangan dengan mantap. “Kami yang lain malu-malu angkat tangan,” ungkap Pastor Valens.

Selanjutnya, ketika dihubungi HIDUP via zoom pada Kamis, 11/01/2024, Mgr. Frans dengan wajahnya yang murah senyum menuturkan perjalanan mula-mula ia tertarik untuk menjadi pastor. Saat itu kala menjelang tahbisan imam, diadakan retret panggilan, Frans kecil yang berasal dari stasi kampung melihat para imam misionaris datang dengan memakai kuda. “Gereja saya di atas bukit, jadi kita melihat para pastor datang dengan kuda di tempat ketinggian. Sebulan sekali mereka berkunjung ke tempat kami,” ujar Mgr. Frans.

Pastor Fransiskus Nipa bersama kedua orangtua (Dok.pribadi)

Semakin penasaran dengan kedatangan imam-imam itu, gedung gereja yang berpagar itu pun tak jadi halangan segeromblan anak kecil ini, terutama Frans kecil untuk mengamati para pastor. “Saya yang masih SD pun memanjat pohon untuk lihat Pastor, mirip-mirip Zakheus mau lihat Yesus,” sebutnya riang.

Dari mata turun ke hati hingga Frans kecil memantapkan hati ingin jadi Imam. Terlebih lagi orangtuanya yang aktif di paroki terkadang mendapat kunjungan pastor ke rumah. Frans kecil merasakan kehadiran sang imam memberi kehangatan hingga dengan tekad bulat ia harus mewujudkan cita-cita itu. “Saya pingin jadi pastor tapi tidak jadi uskup,” kilahnya sambil terkekeh.

 Celana Pendek

Sebelum menjadi pastor, Mgr. Frans adalah seorang pangkambi’ tedong artinya ‘gembala kerbau’. Dalam bahasa Latin, kata ‘pastor’ berarti gembala. Kisah menarik hadir kala ia di SMP. Oleh keluarga ia menerima didikan dan tanggung jawab melalui tugas menggembalakan kerbau. Kisahnya bermula saat ia diminta untuk menggembalakan kerbau tetapi ia asyik bermain dengan teman sebayanya. Alhasil, kerbaunya hilang. Frans kecil pun menangis kebingungan sembari mencari di mana kerbau itu berada. Memori ini terpatri dibenaknya agar setia bertanggung jawab dalam setiap tugas yang diberikan besar maupun kecil tugas itu.

Perjalanannya menjadi gembala umat dimulai saat ia memilih melanjutkan pendidikan SMA di Seminari Santo Petrus Claver Makassar bersama tiga rekannya yang lulus tes. Ada kisah lucu saat ia akan berangkat ke asrama seminari di Makassar. Perjalanan dari Toraja ke Makassar memakan waktu seharian. Ia yang sudah beranjak SMA boleh mengenakan celana panjang tetapi sang kakak perempuan menyuruhnya untuk tetap mengenakan celana pendek SMP agar tidak membayar bis. Sepanjang perjalanan itu Frans dengan patuh duduk di Lorong bis.

“Bayangkan ya satu hari duduk di Lorong bis dari Toraja menuju Makassar karena pertimbangan biaya, pegelnya itu…,” responnya sambil tertawa. Sesampai di Makassar keesokan harinya ia baru di antar ke asrama dengan mengenakan celana panjang SMA. “Ya namanya juga anak kampung masuk kota,” timpalnya dengan senyum lebar.

 Hampir Tidak Jadi

Tahun berganti, ketika dalam proses menjalani masa pendidikan tingkat dua di Seminari Menengah, keluarga Mgr. Frans mengalami peristiwa naas. Rumah dan lumbung padi orangtua Mgr. Frans habis dilalap si jago merah. Duka pun semakin mendalam karena kakak tertua Mgr. Frans meninggal dalam peristiwa itu. Musibah ini pun membuat orangtua Mgr. Frans ingin menariknya dari seminari.

“Orangtua saya shock sekali sehingga mereka menulis surat ke seminari tetapi jalan Tuhan bercerita lain,” kisah Mgr. Frans. Surat itu pun dititipkan lewat seorang suster JMJ (Kongregasi Suster-Suster Jesus Maria Joseph) yang adalah kakak angkat di mana ia merupakan sepupu dari pihak ibunya. Tak langsung dikirimnya, ia membaca terlebih dahulu isi surat itu. Isinya, orangtua Mgr. Frans meminta supaya ia berhenti saja dari seminari karena tidak ada biaya untuk lanjut.

Melihat isi surat tersebut, sang suster tidak jadi mengirimkannya. Ia malah berbicara kepada rektor di seminari menjelaskan situasi yang tengah dialami keluarga Mgr. Frans dan meminta keringanan biaya agar Mgr. Frans dapat melanjutkan pendidikan hingga tamat. Permohonan itu dikabulkan dan Mgr. Frans menamatkan pendidikannya. Pada tahun 1983, ia bersama rekan-rekan sepanggilannya melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi Anging Mammiri Yogyakarta.

“Kisah ini baru saya diberitahu kemudian karena mereka merahasiakannya,” aku Mgr. Frans, lanjutnya, “Jika surat itu dikirimkan ke pos dan lanjut, mungkin situasinya akan menjadi lain sekali. Tapi inilah jalan Tuhan itu.”

Selanjutnya, setelah persyaratan menjadi seorang imam terpenuhi, ia pun menerima tahbisan diakonat di Yogyakarta. Adik Mgr. Frans, Daniel Nipa turut mengikuti peristiwa berahmat itu. Beberapa bulan kemudian, Mgr. Frans bersama rekan-rekannya, termasuk Pastor Valens Mariang menerima tahbisan Imamat di Gereja Santo Yoseph Paroki Gotong-Gotong, Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tanggal 3 Juli 1990 Mgr. Frans menerima Sakramen Imamat dari Mgr. Franciscus van Roessel, CICM. Agripina Nipa bersama kedua orangtua mereka datang menyaksikan peristiwa indah itu. Akhirnya, si kecil Frans jadi Imam.

Pastor Made menulis, setelah ditahbiskan Mgr. Frans mendapat perutusan dan tugas-tugas pastoral baik di unit parokial maupun kategorial. Ia pernah menjadi Pastor Vikaris Parokial dan Pastor Paroki mulai dari Paroki Messawa, Paroki Mamasa, Paroki Polewali, Paroki Kare, dan Paroki terakhir adalah Katedral Makassar.

Pastor Fransiskus Nipa saat menjalankan tugas pastoral sebagai imam di salah stau paroki menggunakan kuda.
(Dok.pribadi)

Selain itu, ia pernah diutus untuk melanjutkan studi di bidang Hukum Kanonik di Universitas Urbaniana Roma. Setelah menyelesaikan perutusan studi, ia kembali ke Makassar dan diberikan tugas sebagai Rektor Seminari TOR (Tahun Orientasi Rohani). Tidak lama setelah mengemban tugas itu, ia diangkat menjadi Sekretaris KAMS dan dipercayakan mengemban sejumlah jabatan baik di Dewan-Dewan Keuskupan, Badan maupun Yayasan yang dikelola oleh KAMS. Kemampuan dan kesiapsediaan untuk melayani Gereja dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang besar membuat Mgr. Frans dipercaya oleh Pimpinan Gereja Lokal KAMS.

Tidak mengherankan, Sri Paus Fransiskus pun memberikan kepercayaan kepada Mgr. Frans untuk menjadi Uskup Agung Koajutor bagi Gereja Lokal KAMS. Secara resmi ia terpilih pada 21 Oktober 2023. Pengumuman resmi itu sekaligus menjadi jawaban atas penantian Mgr. John Liku-Ada’ yang sedang bergumul dengan kondisi kesehatan yang terus menurun, khususnya kondisi penglihatan.

Pengalaman belajar Hukum Gereja di Roma membawanya pada penghayatan besar kasih dan belas kasih Allah yang terpancar dari mottonya “Misericordiam Volo” yang berarti “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan” (Matius 9:13). Rupanya, Mgr. Frans mengingat betul nasihat bapak spiritualnya di asrama saat di Roma, “Pulang ke Indonesia jangan menghakimi tetapi menyelamatkan.” Pesan ini, tutur Mgr. Frans, mengingatkannya pada kanon terakhir dari Kitab Hukum Kanonik bahwa ‘di atas segala-galanya adalah belas kasih’. Kini, ia bukan lagi menggembalakan kerbau tetapi menjadi penggembala umat Allah, secara khusus bertanggung jawab atas keselamatan umat Gereja Lokal KAMS.

Felicia Permata Hanggu

Majalah HIDUP, Edisi No.03, Tahun Ke-78, Minggu,21 Januari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini