Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: 100 Tahun Keuskupan Pangkalpinang: Gereja Tidak Boleh Sibuk dengan Dirinya Sendiri

255
Mgr. Adrianus Sunarko, OFM

HIDUPKATOLIK.COM – Perayaan 100 tahun Keuskupan Pangkalpinang baru saja usai. Selama setahun umat melakukan refleksi, evaluasi dan berupaya menemukan arah dan prioritas baru untuk masa depan Keuskupan.

Uskup Keuskupan Pangkapinang, Mgr Adrianus Sunarko OFM menyerahkan lilin yang menyala kepada 16 utusan kelompok kategorial sebagai simbol perutusan pada Perayaan 100 tahun Keuskupan Pangkalpinang di halaman Keuskupan, Kamis, 28 Desember 2023. (Foto: Caroline Fennie)

Kini umat diajak berjalan ke depan dengan spirit para hamba Allah, menjadi saksi yang taat pada Allah, rendah hati, melayani dengan penuh kerahiman dan kemurahan hati. Tampil sebagai Gereja yang melayani, bukan sebagai penguasa yang otoriter; menunjukkan kerahiman dengan saling mengampuni serta bermurah hati dalam memberikan pelayanan rohani sakramental maupun jasmani sosial karitatif.

Uskup Adrianus menerima HIDUP di Kantor Keuskupan Pangkalpinang, Selasa (2/1/2024). Guru Besar STF Driyarkara Jakarta ini mengungkapkan kerinduan dan impiannya atas Keuskupan yang enam tahun berjalan ini ia gembalakan.

 Bagaimana Monsinyur memberi makna pada perayaan 100 tahun ini?

Pertama-tama tentu saja syukur atas penyertaan Tuhan untuk seluruh sejarah yang sudah terjadi sampai sekarang, hingga 100 tahun ini.  Kedua, kami berterima kasih kepada pendahulu yang sudah merintis sejak awal, yakni para misionaris, awam, tarekat, umat sendiri.

Tentu saja kami berusaha memaknai dengan merumuskan arah ke depan, belajar dari pengalaman masa lalu, melihat tantangan-tantangan melalui evaluasi dan refleksi selama setahun. Kami mencoba menemukan prioritas. Energi baru, semangat baru.

Sebagai gembala, tantangan apa yang dihadapi terhadap umat?

Saya lebih merasa bagaimana bisa dekat dengan umat. Itu yang perlu saya lakukan lebih dulu. Memang pada banyak hal praktis yang harus dilakukan, ada masalah-masalah di paroki, di sekolah, berkaitan dengan karya-karya yang lain, tetapi sebagai gembala saya merasa pertama-tama ingin bagaimana caranya supaya dekat dengan umat, supaya mereka tidak kesulitan kalau mau ketemu Uskup. Supaya mereka tidak ragu-ragu untuk datang. Memang pada umumnya umat menghormati gembala-gembalanya, hanya jangan sampai itu menghalangi kedekatan. Dari situ mungkin kita bisa mengenal banyak hal. Kalau sudah dekat biasanya orang cerita. Apa yang menjadi keprihatinan.

Mgr. Adrianus Sunarko, OFM bersama umat, imam, dan biarawan-biarwati pada perayaan 100 tahun.

Apa yang menjadi keprihatinan dalam beberapa tahun terakhir ini?

Kami mengikuti rumusan arah dasar Keuskupan, biasanya dengan istilah tiga bintang, maka keprihatinan dan tantangan beberapa tahun terakhir ini kami ikuti dari tahun ke tahun  menyangkut aspek relasi dengan Allah, biasa dipakai berpusat pada Kristus. Dimensi iman, dimensi kepercayaan kepada Tuhan, perayaan liturgi, bagaimana mutunya bisa ditingkatkan , sekaligus juga communio. Aspek persaudaraan antaranggota Gereja. Dan yang ketiga secara umum melaksanakan misi. Artinya Gereja tidak boleh sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi harus juga melaksanakan tugas misi keluar. Memberikan kesaksian iman kepada masyarakat, berkontribusi melalui nilai-nilai Injili di tengah masyarakat. Berusaha tiga-tiganya diwujudkan secara baik.

Bagaimana reksa pastoral dijalankan di Keuskupan ini, teritorial dan kategorial?

Dua-duanya ada, tetapi yang sudah lebih tertata yang tertorial. Kekuatan itu ada di Komunitas Basis Gerejawi (KBG) yang secara umum bisa bertemu seminggu sekali. Anggota KBG terdiri dari orang-orang yang letak geografis berdekatan, sehingga bisa berkumpul seminggu sekali sepanjang tahun, bukan hanya Bulan Maria, Bulan Kitab Suci. Mereka berkumpul untuk membaca Kitab Suci, merumuskan aksi konkret yang bisa dibuat. Kalau ada tema-tema khusus juga diambil. Pada tingkat KBG, saya kira itu merupakan kekuatan yang memungkinkan umat aktif berpartisipasi serta membangun Gereja. Karena kelompoknya kecil, semua harus bertanggung jawab. Tentu membutuhkan penyempurnaan, di KBG-KBG ada yang aktif sekali, ada yang kurang, dan lain sebagainya, tetapi sebagai struktur dan mekanisme itu sudah berjalan dengan tekanan supaya ada partisipasi sebanyak mungkin dari anggota Gereja.

Yang katakanlah relatif baru adalah kategorial. Vikep untuk kategorial ini baru ditunjuk. Sebelumnya sudah ada kelompok-kelompok itu tetapi tidak ada satu romo yang khusus memperhatikan mereka. Kelompok-kelompok itu tumbuh dengan aneka macam bidang dan keprihatinan. Saya merasa baik juga ada yang mendampingi karena kelompok kategorial ini punya kekuatan tersendiri juga. Sekarang tidak tergantung wilayah, tetapi bisa lintas paroki, lintas kevikepan, tetapi mereka punya keprihatinan yang spesifik. Tentu dengan harapan, mereka tidak menjadi kelompok eksklusif.

Bagaimana keterlibatan umat secara konkret di tengah masyarakat?

Tentu saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari umat melalui macam-macam aktivitas dan kehidupan. Katakanlah ada yang menjadi dokter, guru, ASN, dan lain sebagainya, tersebar, khususnya di Bangka Belitung. Umumnya relasi antara Gereja dan masyarakat dengan pemerintah cukup baik sehingga orang saling mendukung, mengenal melalui macam-macam kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Di bidang relasi antaragama ada FKUB, selalu bertemu secara rutin juga.

Bagaimana reksa pastoral paroki di pulau-pulau?

Keuskupan ini meliputi dua provinsi, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau (Kepri). Di Bangka Belitung dua pulau besar saja, Bangka dan Belitung. Yang banyak pulaunya di Kepri. Paling tidak ada tiga paroki besar dengan wilayah parokinya terdiri dari pulau-pulau yang banyak. Memiliki tantangan khusus juga. Ada di Anambas, Ujung Beting, Tanjung Balai Karimun dan Natuna. Pulau-pulau itu dari segi geografis cukup menantang, khususnya pada bulan-bulan tertentu. Paroki di mana stasinya banyak pulau-pulau, kami sangat mengandalkan KBG. Umat yang menjadi fasilitator atau memimpin karena mungkin tidak setiap minggu romo bisa hadir karena harus keliling dari satu pulau ke pulau yang lain. Ketua KBG atau ketua wilayah fasilitator atau katekis memainkan peran besar bersama umat. Itu memang mengagumkan karena di pulau-pulau yang jauh itu berjalan. Umat bisa bertemu meskipun dengan segala keterbatasan. Mereka bisa merasakan communio, saling menolong satu sama lain.

Bagaimana dengan kebudayaan lokal? Inkulturasi?

Itu masih perlu dikembangkan. Cukup terasa kekayaan budaya di Keuskupan ini. Memang budaya Melayu tentu saja. Sering kali terungkap dalam pantun-pantun, cara bercakap-cakap dan lain sebagainya. Itu menjadi bagian yang hidup. Ada umat Tionghoa yang memiliki kekhasan budaya tertentu, Flores, Batak, Jawa, Nias dan berbagai suku lainnya yang kebanyakan adalah perantau. Unsur budayanya masih cukup kental dihayati. Karena di tanah rantau masih memegang adat istiadat dalam arti yang positif. Gereja memberi ruang sehingga mereka bisa mengungkapkan iman mereka sesuai dalam budaya hidup mereka. Sering kali keliatan kalau ada acara-acara bersama.

Bagaimana soal hubungan dialog antarumat beragama?

Secara umum baik. Salah satu yang paling keliatan adalah budaya open house. Silaturahmi. Kunjungan, masih berjalan. Tidak semua tempat begitu. Orang sudah tahu kalau 1 Januari Keuskupan open house. Orang datang berkunjung. Bukan hanya yang Katolik, tapi juga yang beragama lain. Pada waktu Tahun Baru Imlek, giliran saudara-saudara Tionghoa yang open house dan kami yang keliling, berbagai macam agama. Dari rumah ke rumah. Pada Idul Fitri, saudara-saudara Muslim yang open house. Praktik-praktik itu paling nyata menunjukkan bahwa secara umum dialog kehidupan antaragama berjalan baik. Tentu tetap selalu ada tantangan yang dialami berkaitan dengan relasi ini. FKUB juga ada, kami sendiri aktif di situ. Secara umum, tentu saja ada momen tersendiri di mana kadang-kadang unsur agama bisa juga dipolitisir.

Bagaimana dengan pendampingan orang muda?

Ini juga masih perlu banyak mendapat perhatian. Kami punya Komkep baik di Kevikepan Selatan (Bangka Belitung) maupun Utara (Kepri). Di paroki-paroki ada OMK. Di Bangka Belitung ini banyak orang muda setelah tamat SMA pergi keluar, untuk kuliah, kemudian bekerja. Salah satu tantangannya adalah mempersiapkan mereka supaya paling tidak sampai SMA, pendampingan berkaitan dengan hidup iman, kebiasaan dalam menghayati iman tertentu. Kami berusaha supaya mereka punya bekal yang cukup sehingga ketika merantau tidak dengan mudah kebingungan..

Mgr. Adrianus Sunarko, OFM dalam satu kunjungan ke pulau-pulau di Keuskupan Pangkalpinang. (Ist.)

Di Kepri beraneka ragam. Kalau yang di pulau-pulau, secara umum mereka setelah SMP-SMA, dari pulau, harus pergi untuk  mencari kota yang lebih besar untuk sekolah. Di sana bisa ke Tanjungpinang atau ke Batam, punya nuansa agak khusus juga karena Batam termasuk kota besar. Secara umum pergerakan itu perlu dipertimbangkan dalam rangka pendampingan orang muda.

Apa prioritas Keuskupan ke depan?  

Selama setahun kami mengadakan refleksi, evaluasi untuk menentukan arah, paling tidak untuk lima tahun ke depan. Bersamaan dengan itu Gereja universal sedang mengadakan sinode. Jadi kami komunikasikan refleksi dari sinode itu berkaitan pas dengan kami ingin merumuskan prioritas baru. Memang kosakata yang dipakai kemudian mengikuti dari sinode universal. Dalam pertemuan terakhir di Batam, kami menyepakati lima prioritas: membina diri dalam sinodalitas, tanggung jawab bersama dalam misi, teman merayakan, teman seperjalanan, dialog dalam Gereja dan masyarakat. Pada tahun 2024 ini akan ada perhatian lebih dahulu pada refleksi tentang spiritualitas. Spiritualitas sebagai murid dan hamba Allah. Setelah itu barulah mulai diterapkan kelima prioritas. Saya sendiri tetap memberi penekanan bahwa dalam mewujudkan prioritas, sebagai Gereja, kita harus memberi perhatian khusus kepada orang-orang yang menderita.

 (Pangkalpinang)

Majalah HIDUP, Edisi No.02, Tahun Ke-78, Minggu, 14 Januari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini