Pemberkatan Pasangan Sejenis dalam Gereja Katolik

142
Kardinal Victor Manuel Fernández, Prefek Dikasteri Ajaran Iman (DDF) Vatikan

HIDUPKATOLIK.COMSEBUAH pernyataan mengejutkan datang dari Vatikan pada Senin, 18 Desember 2023. Pasangan sejenis kini boleh menerima berkat dalam Gereja Katolik. Dokumen Fiducia Supplicans ini bagi sebagian orang dianggap sebagai langkah maju dalam kaitannya dengan pelayanan Pastoral Gereja.

Tetapi ada juga yang justru mempertanyakan maksud dari Dokumen tersebut. Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia, Pastor Yohanes Aristanto, MSF memberi catatan-catatan penting atas Dokumen tersebut beberapa jam setelah Dokumen secara resmi diumumkan di Vatikan. Beberapa pokok gagasan yang penting untuk digarisbawahi ialah Gereja tetap memegang teguh pada ajaran Gereja Katolik mengenai perkawinan, tetapi pemberkatan pasangan sejenis tetap juga dimungkinkan sebagai jalan keluar dalam kerangka pastoral yang luas.

Paus Fransiskus

Dalam kerangka pastoral yang luas itu, kita perlu memperkaya pemahaman mengenai apa itu berkat berdasarkan cita-cita pastoral Paus Fransiskus mengenai Belas Kasih Pastoral. Dengan pemahaman yang luas dan kaya mengenai istilah pemberkatan, maka merupakan sesuatu yang mungkin, memberkati pasangan sejenis dan homoseksual. Memberkati pasangan sejenis dan homoseksual tidak berarti bahwa status kebersamaan mereka merupakan perkawinan apalagi mengubah ajaran Gereja Katolik mengenai perkawinan.

Tulisan ini mencoba memahami Dokumen Fiducia Supplicans yang terkait dengan pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual ini dengan sebuah Dokumen lain yang secara khusus berbicara mengenai keluarga yaitu Amoris Laetitia.

Ajaran Gereja

Gereja Katolik memahami perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh hidup dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit sampai kematian memisahkan. Persekutuan seluruh hidup itu secara istimewa tertuju pada kebaikan suami-isteri, bersifat terbuka terhadap kelahiran anak dan mendidik anak-anak yang lahir, mendidik mereka secara manusiawi maupun secara kristiani.

Bagi orang-orang yang dibaptis perjanjian perkawinan yang sah dengan sendirinya menjadi sakramen. Karena perkawinan Kristiani merupakan renungan yang mendalam mengenai persatuan Kristus dan Gereja-Nya, persatuan yang sepenuhnya diwujudkan dalam persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Dalam perkawinan, keduanya saling memberikan diri mereka dalam cinta yang eksklusif dan dalam kesetiaan, saling mengasihi sampai mati, terbuka bagi penerusan kehidupan, disucikan oleh sakramen yang menganugerahkan mereka rahmat untuk menjadi Gereja rumah tangga, dan menjadi ragi kehidupan baru bagi masyarakat.

Gereja tanpa henti mempromosikan perkawinan dan hidup berkeluarga karena kesejahteraan masyarakat dan masa depan umat manusia menuntut agar perkawinan tetap terjaga dan terpelihara kelangsungannya.

Dalam Amoris Laetitia, sebuah Dokumen yang secara khusus berbicara mengenai Keluarga, Paus Fransiskus menegaskan, bahwa sukacita keluarga juga merupakan sukacita Gereja.

Dengan demikian, jelas bahwa berbagai bentuk persatuan yang secara radikal berlawanan dengan cita-cita ideal perkawinan kristiani ini tentu saja oleh Gereja tidak bisa diakui dan diterima sebagai perkawinan. Inilah doktrin mengenai ideal perkawinan Katolik.

Kesetiaan dalam memegang doktrin mengenai ideal perkawinan Katolik, tidak berarti bahwa Gereja sebagai ibu menutup mata terhadap berbagai situasi khusus, menyadari kelemahan dan kerapuhan dalam diri anak-anaknya.

Situasi kehidupan konkret sangatlah kompleks. Karena begitu banyaknya variasi situasi dan keadaan yang dihadapi dalam kehidupan konkret, maka jelas bahwa tidak ada satu aturan umum yang bisa diterapkan pada semua situasi dan keadaan. Kita perlu bertindak menimbang kasus demi kasus.

Dengan menyelami dan menimbang setiap situasi dan keadaan yang dihadapi, Gereja dapat menawarkan dukungan dengan berjalan bersama semua orang yang membuka diri terhadap rahmat Allah dalam hidupnya. Menawarkan bantuan dan berjalan bersama semua orang dalam segala situasi konkret hidup mereka, dalam ketidaksempurnaan dan dalam kelemahan mereka, itulah yang disebut Belas Kasih Pastoral.

Belaskasih Pastoral

Seperti sudah dikatakan, kesetiaan pada Doktrin mengenai ideal perkawinan Katolik, tidak berarti bahwa Gereja sebagai ibu menutup mata terhadap berbagai situasi khusus, situasi yang menggambarkan kelemahan dan ketidaksempurnaan. Salah satu di antara banyak situasi khusus itu ialah adanya pasangan sejenis dan homoseksual. Paus Fransiskus mengajak seluruh Gereja untuk merenungkan dua cara berpikir berhadapan dengan situasi tersebut yaitu mengucilkan atau menyatukan kembali.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita semua diajak untuk melihat kembali perjalanan dalam sejarah hidup beriman. Jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan Yesus. Jalan Yesus adalah jalan belaskasih dan integrasi.

Menarik bagi kita untuk mencermati kata-kata yang disampaikan Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia, “Jalan Gereja tidaklah menghukum siapa pun selamanya; tetapi mencurahkan rahmat Allah bagi semua orang yang memintanya dengan hati tulus“ (AL. 296).

Orang yang meminta berkat dengan hati tulus menunjukkan keterbukaan terhadap belaskasih Allah yang tidak menghukum tetapi Allah yang mengasihi. Gereja harus membuka pintu rahmat untuk itu dengan mengabulkan permintaan mereka tanpa syarat apalagi syarat untuk memiliki kesempurnaan dalam hidup moral.

Kemungkinan pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual menunjukkan bahwa Gereja memberi ruang bagi belas kasih Allah dalam situasi dan eksistensi konkret setiap manusia. Cita-cita Injil membantu kita untuk memperlakukan sesama dengan penuh belas-kasih. Injil mengajari kita untuk tidak menghakimi dan mengutuk.

\Yesus tidak membenarkan dosa. Tetapi Yesus mengasihi pendosa. Dalam konteks Belaskasih Allah dalam Pastoral, kiranya jelas, bahwa pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengabaikan integritas ajaran moral Gereja mengenai perkawinan. Pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual dimaksudkan untuk mendukung nilai-nilai Injil tertinggi dan sentral yaitu keutamaan kasih. Menetapkan begitu banyak syarat terhadap belaskasih justeru bertentangan dengan kasih itu sendiri.

Kebijaksanaan Pastoral

Pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual, terlebih di Indonesia jika terjadi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Perlu kebijaksanaan pastoral dan pendampingan serta katekese yang memadai untuk menghindari kebingungan bagi umat.

Ajaran Katolik mengenai perkawinan jelas tidak berubah. Perkawinan hanya dapat dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hubungan seksual suami-isteri dalam perkawinan pada dirinya harus bersifat terbuka terhadap kelahiran anak dan pasangan suami-isteri bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak yang lahir dari perkawinan. Itu sebabnya pasangan sesama jenis dan homoseksual tetap bukan merupakan sebuah perkawinan.

Meskipun secara doktrinal bukan merupakan sebuah perkawinan, mereka yang hidup bersama di luar perkawinan, termasuk dalam hal ini pasangan sejenis dan homoseksual, dapat memohon berkat supaya dengan pertolongan belas kasih Allah mereka dapat mencapai apa yang baik dalam kehidupan dan hubungan mereka. Gereja perlu menunjukkan belas-kasih yang murah hati kepada mereka dengan memahami, mendampingi, menemani, dan membuka hati untuk mereka.

Gereja, kata Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia, adalah rumah Bapa, di mana ada tempat bagi setiap orang, dengan segala permasalahan hidup mereka (AL. 310).

Salah satu hal penting yang barangkali perlu kita cermati dalam konteks Pastoral di Indonesia ialah penggunaan istilah pemberkatan. Istilah pemberkatan seringkali dipahami juga dalam konteks liturgi perkawinan yang sah. Oleh sebab itu, barangkali sebutan memberkati dalam konteks pastoral Gereja Indonesia diganti dengan mendoakan.

Dalam doa pemberkatan, misalnya seorang pelayan Gereja bisa menyebutkan dan memohon segala sesuatu yang baik dalam suatu hubungan antar manusia seperti kedamaian, kesehatan, penghargaan, perhatian, kepedulian, pengorbanan, kerjasama, cinta, dan lain-lain.

Singkatnya, pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual di dalam Gereja Katolik bukanlah perkawinan. Dan kemungkinan pemberkatan pasangan sejenis dan homoseksual di dalam Gereja Katolik harus dipahami dalam konteks Belas Kasih Pastoral. Belaskasih pastoral tidak boleh hilang ketika berhadapan dengan umat dengan kompleksitas situasi hidup yang mereka hadapi.

Perlu kebijaksanaan pastoral dan pendampingan serta katekese yang memadai untuk menghindari kebingungan bagi umat.

Romo Ignas Tari, MSF, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Banjarmasin

Majalah HIDUP, Edisi No. 01, Tahun Ke-78, 7 Januari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini