HIDUPKATOLIK.COM – Canterbury, sebuah kota di sisi timur negara Inggris. Letaknya hanya sekitar satu jam perjalanan dari London dengan kereta. Di pusat kota Canterbury ada sebuah gereja besar, megah, dan sangat tua. Juga tentunya sangat indah. Gereja ini adalah Katedral Canterbury yang diresmikan pada tahun 1070.
Gereja ini menjadi tujuan wisata utama di kota Canterbury sekaligus tujuan ziarah. Selain karena gedungnya yang telah menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO, Katedral ini juga menjadi terkenal, karena seorang uskup telah dibunuh secara sadis pada abad ke-12 dan jasadnya dimakamkan di sini juga. Uskup yang dimaksud adalah Santo Thomas Becket, yang wafat dibunuh oleh empat orang ksatria Kerajaan Inggris dengan rajanya Henry II.
Thomas Becket sebelum diangkat menjadi Uskup Agung Canterbury, adalah sahabat dekat Raja Henry II. Lalu kenapa Henry II menjadi begitu tidak menyukai sahabat dekatnya? Sampai-sampai perkataannya, oleh para ksatria dianggap sebagai perintah
membunuh.
Thomas Becket lahir pada 21 Desember 1120 di Cheapside, London, Inggris. Ia berasal dari keluarga pedagang, ayahnya cukup terpandang. Namun karena bangkrut, Becket remaja sudah harus bekerja. Terakhir ia membantu di rumah tangga Theobald of Bec, Uskup Agung Canterbury. Theobald percaya pada Becket dan sering memberi tugas-tugas berat, termasuk menjalankan misi penting ke Roma. Becket juga dipercaya menjadi wakil Uskup (archdeacon). Becket dikirim ke Bologna untuk belajar hukum kanon pada tahun 1154.
Theobald sangat puas dengan hasil kerja Becket. Sehingga ketika jabatan Lord Chancellor kosong, Theobald mengusulkan nama Becket kepada Henry II yang baru saja menjadi Raja. Maka sejak Januari 1155, Becket menjabat sebagai Lord Chancellor. Jabatan ini sungguh penting karena mengurus sumber pendanaan Kerajaan. Raja puas dengan kinerjanya. Becket yang saat itu berusia 34 tahun menjadi sahabat dekat Raja yang usianya masih sangat muda, baru 21 tahun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tentu saja Becket ikut hidup makmur.
Tujuh tahun berlalu, tepatnya pada tahun 1162 Uskup Theobald meninggal. Becket dicalonkan untuk menggantikan Theobald. Pada tanggal 23 Mei 1162, Becket resmi terpilih menggantikan Theobald oleh dewan uskup dan bangsawan kerajaan. Termasuk Henry II setuju karena yakin Becket sebagai Uskup akan lebih mendahulukan kepentingan Kerajaan dibandingkan kepentingan Gereja. Konon saat itu, Becket menyampaikan kekuatirannya kepada Raja terhadap tawaran tersebut. Dia berkeyakinan, sebagai Uskup kelak ia akan berseberangan dengan Raja. Namun keputusan Raja sudah bulat.
Maka pada tanggal 2 Juni 1162 Becket menerima tahbisan imam lalu keesokan harinya menjalani tahbisan Uskup. Jaman itu pemilihan jabatan Uskup tidak seteratur zaman sekarang. Waktu itu Raja ikut berperan dalam menentukan siapa yang mengisi jabatan Uskup. Serta bisa berasal dari awam asal terlebih dahulu ditahbiskan sebagai imam. Jaman itu antara Gereja dan Kerajaan sering terjadi gesekan karena tarik menarik kekuasaan.
Sejak menjadi Uskup, Becket berubah total, ia memilih hidup asketis. Ia melepas jabatan Chancellor yang bergengsi itu. Becket ingin mengembalikan hak-hak Gereja yang selama Henry II berkuasa telah diambil-alih Kerajaan. Hal ini segera membuat hubungan mereka menjadi tegang. Becket tahu persis karakter Henry II. Ia sangat arogan, tak segan menggunakan kekerasan bahkan tak menghargai nyawa orang. Apa yang diinginkannya harus terwujud. Sejarah mencatat, jaman Henry II adalah masa penuh darah bagi Kerajaan Inggris. Namun Becket tak gentar, ia tahu risiko akan kehilangan nyawa dengan menentang Henry II dalam posisinya membela Gereja.
Salah satu puncak perseteruan mereka adalah saat Henry II mengundang sebagian besar pejabat Gereja ke Istana Clarendon pada tanggal 30 Januari 1164 dan memimpin pertemuan tersebut. Henry II mengajukan 16 konstitusi yang intinya mengurangi kebebasan para Uskup serta membatasi hubungan dengan Roma. Karena sebelum pertemuan, Henry II telah melakukan segala upaya pendekatan dengan para Uskup, maka semua yang hadir setuju dengan Konstitusi Clarendon ini. Tentu saja kecuali Becket. Ia menolak menandatangani dokumen. Akibat tindakan yang berani ini, Becket dituduh menghina otoritas Kerajaan.
Sebelum ditangkap, Becket mengungsi ke Perancis dan bertahan sekitar dua tahun di Biara Cisterian Pontigny lalu pindah ke kota Sens. Becket menjadi buronan namun ia dilindung oleh Raja Perancis. Di pengasingan, Becket melawan balik dengan mengancam akan memberikan sanksi ekskomunikasi bagi Henry II dan para Uskup yang mendukung Raja.Namun Paus Alexander III memilih upaya diplomatis dan berupaya mendamaikan Becket dan Henry II.
Pada awal tahun 1170 Paus mengirim delegasi menawarkan solusi kepada Henry II dan tercapailah kompromi yang memungkinkan Becket kembali ke Inggris. Namun Henry II masih saja tetap arogan. Pada Juni 1170 ia mengadakan upacara penobatan putranya
sebagai pewaris mahkota. Seharusnya ini menjadi hak istimewa Uskup Agung Canterbury, namun Henry II justru meminta Uskup Agung York, Uskup London, dan Uskup Salisbury untuk upacara ini.
Maka pada November 1170, Becket menjatuhkan sanksi ekskomunikasi kepada ketiga Uskup tersebut. Mendengar tindakan Becket ini, Henry II sangat kesal. Dalam satu perjamuan pada tanggal 29 Desember 1170 yang juga dihadiri para ksatria Kerajaan, ia sempat berkeluh kesah. “Apakah tidak ada seorang pun yang dapat membebaskan saya dari Imam yang penuh gejolak ini?” Rupanya keluh kesah ini langsung ditanggapi oleh empat ksatria. Mereka tanpa pamit, berangkat menuju Katedral. Mereka dengan kasar masuk gereja dan menemukan Becket di sekitar altar. Becket hendak ditangkap namun
menolak, “Saya bukan penghianat dan saya siap untuk mati” demikian pernyataan Becket. Keempat ksatria dengan sadis mengayun pedang membantai Becket. Seketika darah dan otak Becket membasahi lantai dan Becket meninggal.
Pada tanggal 21 Februari 1173, Paus Alexander III menganugrahkan kanonisasi kepada Becket dan Gereja memperingatinya setiap tanggal 29 Desember sebagai seorang martir.
Becket telah memberi teladan, ia memegang teguh jabatan yang dipercayakan kepadanya. Ia membela Gereja yang dipercayakan kepadanya dan tak takut walaupun terancam nyawanya.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)