HIDUPKATOLIK.COM – MALAM kian larut diiringi rinai hujan. Udara malam membuat suasana saat itu terasa nyaman. Di teras rumah, suamimu Andre dan putra tunggalmu Herbert tengah terbenam dalam permainan catur. Mereka saling mengerahkan konsentrasi guna merintangi langkah lawan.
Tak banyak celoteh yang terluncur dari mulut mereka. Dahi Andre berkerut memikirkan strategi yang harus diambil untuk pion-pion caturnya. Sementara Herbert tertawa lega manakala langkahnya sanggup menjegal langkah sang ayah.
Tiba-tiba, suaramu memecah keheningan. “Ada yang mau minum teh hangat?”
“Mau dong, Ma…,” sambar Herbert seketika.
“Lekaslah kau tidur, Bert!” saranmu pada putra tunggalmu itu.
“Belum ngantuk, Ma,” balas Herbert sembari nyengir.
Seraya menyodorkan dua cangkir teh hangat, kau menyelipkan kegalauanmu, ”Pa, sebentar lagi waktu kontrakan kita habis lho!”
Kau gemas karena dua lelaki di hadapanmu itu tak menghiraukan ucapanmu.
“Bagaimana nih, Pa. Bulan depan kita harus bayar kontrakan…,” katamu dengan nada meninggi.
Andre menoleh sesaat ke arahmu.
“Tenang saja… nanti kucari uangnya,” katanya mencoba menenangkan dirimu.
“Pa, seandainya ada uang, kita beli rumah sederhana saja. Ada lho rumah kecil seharga 150 juta rupiah,” katamu.
Tak ada jawaban. Hening kembali melata hingga permainan catur mereka usai.
Herbert segera beringsut menuju kamarnya. Sedangkan Andre menarik tanganmu, mengajakmu berbincang-bincang lebih lanjut.
“Ma, tadi aku dapat oleh-oleh cakar monyet dari teman kerjaku, Rendy. Ia baru pulang dari India. Katanya, cakar monyet itu punya kekuatan magis,” beber Andre.
”Alkisah, cakar monyet itu bisa mengabulkan tiga permintaan kita. Yuk, iseng-iseng, kita minta rumah, Ma,” kata Andre.
“Itu musyrik, berhala,” tepismu, sontak menolak.
“Iseng-isenglah, kita buktikan kebenarannya,” bujuk Andre.
Lelaki separuh baya itu segera masuk kamar, mengambil cakar monyet tersebut.
“Jangan aneh-aneh!” tolakmu mentah-mentah. “Mintalah rumah kepada Tuhan, bukan kepada cakar monyet!” katamu mengomel.
Tak lama berselang, dengan mimik serius, Andre menyampaikan permintaannya, “Cakar monyet, bisakah kau memberi rumah untuk keluargaku…”
Pada akhirnya kau bergeming. Tubuhmu bagai terkunci. Sementara bayangan bakal diusir oleh pemilik kontrakan sempat berkelebat di benakmu.
“Mari kita lihat… apa benar cakar monyet ini punya daya magis,” kata Andre menenangkan dirimu yang masih carut-marut dipermainkan oleh kegelisahan.
***
Berbeda dengan hawa semalam, siang itu terasa gerah. Kau sibakkan jendela rumah kontrakanmu lebar-lebar. Kau tatap pepohonan yang menghiasi pekarangan. Semua tampak diam. Tidak seperti biasanya, embusan angin menggoyang-goyangkan batang-batang pohon bak gemulai seorang penari.
“Kok perasaanku tidak enak ya,” ujarmu sendirian.
Rumah kontrakanmu lengang. Andre dan Herbert sudah berangkat kerja sedari pagi. Karena Andre hanyalah karyawan biasa, penghasilannya selalu ludes dilahap oleh kebutuhan sehari-hari. Baru beberapa bulan ini, Herbert bekerja sebagai teknisi mesin di sebuah pabrik. Penghasilannya belumlah sanggup menopang tiang nafkah keluargamu.
Kau tertegun tatkala seseorang membuka pintu pagar. Dari balik jendela, lehermu terjulur. “Siapa orang itu?” pikirmu. Dari penampilannya, tampaknya ia bukan orang sembarangan. Apalagi di belakangnya ada dua orang yang menguntitnya, semacam bodyguard.
Sejurus berselang, tamu asing itu mengetuk pintu rumahmu. Serta-merta daun pintu rumahmu tersibak.
“Apakah ini rumah Herbert?” tanya lelaki beraura sarat wibawa itu.
“Iya betul,” jawabmu ragu-ragu.
“Ini ibunya?” tanyanya lagi.
“Ya, saya ibunya,” jawabmu. Perasaan tidak enak merangsek bilik dadamu.
“Ada apa, Pak?” tanyamu mulai gugup.
“Herbert mengalami kecelakaan kerja,” kata lelaki itu dengan suara selirih bisik.
“Bagaimana kondisinya, Pak?” tanyamu seketika dilabrak panik.
“Ibu tenang dulu ya. Semoga semua akan baik-baik,” kata lelaki itu lagi. Tiba-tiba, penglihatanmu buram. Hingga akhirnya tubuhmu lunglai dan roboh di lantai.
“Apa saya bisa menghubungi suami Ibu?” kata lelaki itu.
Tanpa sanggup berpikir lagi, kau sodorkan nomor telepon Andre di ponselmu. Lantas, kau dipapah untuk berbaring di sofa. Samar-samar kau mendengarkan perbincangan mereka. Herbert telah tiada! Duniamu terasa runtuh. Herbert adalah harapanmu untuk merenda masa senja.
Upacara pemakaman pun terlintasi dalam kubangan duka. Berkali-kali kau kehilangan kesadaran. Belakangan, kau mendengar dari Andre, bahwa perusahaan memberikan dana sejumlah Rp 150 juta atas kecelakaan kerja yang dialami Herbert.
Kau tak peduli. Kau sungguh dirundung kepedihan. Tak ada yang sanggup menggantikan Herbert…
“Bukan dengan cara begini, kita bisa membeli rumah,” ujar Andre dirutuki sesal. Kau tepekur di sisi suamimu.
“Ini gara-gara cakar monyetmu!” ujarmu diliputi letupan amarah. Seakan ada tumpukan sekam di dadamu yang tersulut hingga api amarah merembet tak terkendali.
***
Hari ketujuh setelah kepergian Herbert masih menyisakan mendung kelabu di hatimu dan Andre. Tak habis-habisnya, kau menyalahkan keisengan Andre, meminta rumah pada cakar monyet laknat itu.
“Sekarang, kau bisa segera punya rumah tapi kau kehilangan anak. Gila benar!” katamu mendongkel-dongkel sesal.
“Siapa yang tahu bakal begini jadinya!” balas Andre separuh membentak.
Selepas doa tujuh hari untuk Herbert, sepi kembali menjeratmu. Kau belum sanggup menerima realitas kelabu yang menelentang di hadapanmu. Rindumu pada Herbert justru menjadi-jadi. Tiba-tiba, kau mencari cakar monyet itu di kamar. Dan kau berhasil menemukannya di atas almari pakaian.
“Barang sialan ini masih saja disimpan! Memang kau bisa mengembalikan anakku?” umpatmu meradang.
“Cakar monyet, kembalikan Herbert ke rumah ini!” katamu lagi dengan suara melengking. “Ayo buktikan, apa kamu bisa membawa anakku pulang!” tantangmu.
Pengujung hari telah menghampiri. Semua pintu dan jendela di rumah kontrakanmu tertutup rapat. Seharusnya, kau sudah berada di pembaringan. Namun, tubuhmu masih lengket di kursi tamu. Tatapan matamu layu; sudah sepekan ini tiada pijar semangat di situ.
“Tidurlah, Ma, sudah malam,” ajak Andre.
“Aku menunggu Herbert pulang malam ini,” ucapmu lugas.
Kalimatmu itu bagai menyambar Andre.
“Herbert sudah meninggal, Ma,” kata Andre memberi pengertian.
“Baru saja aku menantang cakar monyet sialan itu untuk mengembalikan Herbert! Bukankah masih ada dua kesempatan lagi untuk meminta sesuatu kepadanya?” tantangmu berapi-api.
Andre terhenyak.
“Dunia Herbert sudah berbeda dengan dunia kita, Ma,” ujar Andre sembari memegangi tubuhmu yang mulai meronta. “Tidakkah kau kasihan menyaksikan jasad Herbert hidup lagi?”
“Aku ingin Herbert pulang!” ujarmu tak sanggup menakar nalar.
Seketika terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Deru angin, entah dari mana, mengiringi suara ketukan itu. Keheningan malam pun jadi mencekam. Kau segera tersadar, Herbert datang! Kau menghambur ke arah pintu. Pada saat itu juga, Andre segera meraih cakar monyet yang tergeletak di atas meja. Ia meminta kepada cakar monyet itu untuk mengembalikan Herbert ke alamnya.
Tatkala kau membuka pintu, jasad Herbert telah beranjak. Hanya daun-daun kering yang terhempas oleh hembusan angin, berserakan di pelataran teras. Kau pun tersungkur dengan tangis menyayat hati.
Keesokan harinya, aku mengantarmu dan Andre melangkah ke ruang pengakuan di parokimu. Sesal merajam hatimu.
(Diadaptasi dari The Monkey’s Paw story, karya William Wymark Jacobs, London, 1902)
Oleh Maria Etty