HIDUPKATOLIK.COM – SENJA telah berlalu di hari Sabtu menjelang malam yang sunyi senyap di sosoroat atau tempat perhentian sampan Stasi Bekkeilu, tatkala jarum jam menunjukkan pukul 18.57 WIB. Doa Angelus yang sekitar satu jam lalu alarmnya di hape berbunyi, bahkan tak sempat kami panjatkan di tepi Sungai Sila’oinan yang beberapa pekan ini semakin dangkal. Karena musim kering yang berkepanjangan sejak medio-September hingga akhir Oktober lalu.
Akibat dangkalnya sungai itu, kami berlima beberapa kali terpaksa harus turun naik sampan untuk mendorongnya maju saat kandas di atas pasir, bebatuan, atau tersangkut kayu yang melintang tepat di tengah sungai.
Sementara itu pompong sibau (sampan kecil bermesin tempel yang baru dibeli), telah kami tambatkan di tepi sungai yang tak jauh lokasinya dari bangunan gereja kecil berukuran 9 x 12 m di pedalaman Stasi Bekkeilu, Wilayah Sila’oinan. Aprianus, seorang siswa SMA sebagai operator pompong, terlihat sudah sangat kelelahan dan tubuhnya yang mungil namun kuat, bermandikan keringat.
Tambahan pula, ia baru pertama kalinya mengoperasikan pompong pastoran untuk membawa saya, Dolin (anak asrama putra), serta Despi dan Meisi (asrama putri) menyusuri sungai Wilayah Sila’oinan di musim kering selama sekitar empat jam. Dalam keadaan normal di mana sungai penuh air, bisa ditempuh hanya sekitar dua jam dari Siberut ke Bekkeilu. Dengan diterangi cahaya senter SWAT, kami berlima bergegas melangkahkan kaki yang masih berlumpur ke arah rumah Adrianus Sagulu, Baja’ Gereja (Ketua Dewan Stasi) Bekkeilu di Sabtu petang tanpa bintang-gemintang.
“Amasoiboan Pastor (Sudah malam, Pastor),” ujar Adrianus ketika kami tiba di depan rumahnya. Kami menjelaskan kepadanya bahwa sebenarnya rencana kami akan langsung menuju Stasi Magosi yang paling hulu lebih duluan. Berhubung hari sudah malam, setelah menyusuri sungai yang dangkal selama sekitar empat jam dengan berselonjor atau bersila, kami tunda kunjungan ke Stasi Magosi. Sebab, jika kami melanjutkan perjalanan ke stasi tersebut dari Bekkeilu ini, dibutuhkan sekitar dua jam perjalanan dengan pompong melewati Stasi Salappa dengan syarat tidak dangkal.
Sebab itu, kami terpaksa berhenti dan menginap di Stasi Bekkeilu dengan hati sedikit gundah gulana bercampur pilu. Karena kemungkinan besar umat Stasi Magosi telah menunggu kedatangan kami sejak sore hari. Namun, bila pastor tidak bisa datang ke stasi untuk mempersembakan Misa karena halangan khusus, pengurus stasilah yang akan memimpin Ibadat Sabda setiap hari Minggu.
Dusun atau Stasi Bekkeilu yang hanya dihuni 26 KK beragama Katolik dan 5 KK menganut Islam, hingga hari ini belum mempunyai aliran listrik dari PLN meski NKRI sudah 78 tahun merdeka. Meski ada penerangan kecil dari tenaga surya di rumah Baja’ Gereja, namun tidak banyak membantu saat membacakan bacaan-bacaan Misa untuk hari Minggu besok. Maka, kegiatan sermon (pendalaman iman) batal.
Jangan tanya soal sinyal WIFI, jaringan internet Telkomsel, atau 4G yang masih absen di stasi yang namanya ternyata belum terekam di aplikasi Google Earth itu. Lukisan tentang perjalanan misioner-pastoral ke Stasi Bekkeilu kali ini Bersama empat orang muda yang sangat antusias mendampingi pastor parokinya, sesungguhnya hanya didominasi satu warna monochrome.
Wilayah Sila’oinan terletak sekitar 20 km dari pusat Paroki Santa Maria Diangkat Ke Surga, Siberut Selatan, Kabupaten Kepupalaun Mentawai, Keuskupan Padang. Wilayah ini terdiri dari Stasi Bekkeilu, Salappa, dan paling hulu Stasi Magosi. Yang mau saya sharingkan di sini adalah justru dari Stasi Magosi inilah produksi madu hutan secara alami sangat tinggi. 1-2 umat yang mencari dan menjual berpuluh liter madu hutan ke paroki, telah meningkatkan taraf hidup mereka. Saya, juga rekan imam, Pastor Maurice Fokam SX (asal Kamerun) merupkan konsumen madu hutan yang konsisten demi menjaga kesehatan badan, seperti Yohanes Pembaptis, supaya kuat dan tetap sehat melakukan perjalanan misioner-pastoral secara total.
Melukis Jalan Salib
Sebenarnya sangat beruntung bahwa umat Mentawai sejak dahulu kala dimanjakan oleh kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah yang diberikan Pencipta kita. Hal ini kadang cenderung membuat mereka kurang gigih untuk bekerja lebih keras lagi dalam mengolah lahan agar secara berkala dapat menghasilkan keuntungan ekonomis. Karena segalanya sudah disediakan secara gratis.
Paradoksnya, hingga saat ini dominasi perekonomian Mentawai masih dipegang dan dikuasai oleh pendatang dari ranah Minang, Batak, Nias dan Jawa. Bahkan, daya juang dalam hal mempertahankan iman kekatolikan pun masih belum kuat, di tengah sumber daya alam yang kuat.
Di wilayah tertentu seperti Sarereiket misalnya, beberapa keluarga Katolik sejak puluhan tahun lalu telah menjadi mualaf, meski secara faktual kebanyakan dari mereka di saat “punen” (pesta adat) atau dalam kesempatan lain masih tetap menggonsumsi daging yang diharamkan. Secara tradisional orang Mentawai asli hampir dalam setiap upacara adat selalu menggunakan daging tersebut. Di kampung paling hulu di wilayah ini, yakni Desa Matotonan sejak sekitar tahun 70-an hingga 80-an mayoritas penduduk asli Mentawai telah memeluk agama Islam.
Sekarang ini penganut Katolik di Stasi Matotonan hanya sekitar 65 KK, penganut Islam sekitar 300-an KK. Ada pelajar Katolik asal stasi ini, yang bersekolah di SMAN I Siberut Selatan pindah agama, yang mengakibatnya orang tuanya merasa sangat kecewa. Karena orang tuanya termasuk aktivis dan anggota dewan stasi di Matotonan.
Berhadapan dengan situasi ini, saya pribadi sudah dua kali mengunjungi orang tua ini guna meneguhkan dan menghiburnyanya. Dalam hati kecil saya sebagai gembala, pun merasa kecewa bahkan ada perasaan bersalah karena ada “satu domba muda kita yang hilang keluar dari kandang”.
Dalam kaitan ini, menurut refleksi saya, pembinaan dan pendidikan kateketik yang berkaitan dengan teologi salib mesti diprioritaskan di wilayah Mentawai ini. Upaya kecil dan sederhana dalam hal ini, telah saya lakukan dengan melukis langsung 14 lukisan Jalan Salib dari bahan papan utuh ukuran 50 x 50 cm yang disediakan “paamian” (umat) Matotonan. Hati saya tersentuh dan berkobar-kobar tatkala “paamian Matotonan” dengan sukacita menyediakan sendiri papan yang diambil dari hutan demi tersedianya lukisan itu.
Demi menyelesaikan 14 lukisan, selama empat hari saya menginap dan tinggal bersama umat di stasi ini—yang jika ditempuh dengan sampan akan memakan waktu sekitar 4-5 jam dari pusat paroki. Saat proses pembuatan lukisan ini, yang mengambil tempat di beranda rumah seorang umat, banyak hal menarik terjadi di sini. Saudara-saudari kita pindah iman yang lalu-lalang di depan rumah itu kadangkala berhenti sejenak untuk sekadar melihat gambar atau mengamat-amati apa yang sedang saya lukis.
Sementara beberapa anak dan remaja Muslim yang hadir di beranda rumah ikut melihat dan mendengar soal “sosok Yesus, sang Almasih”. Melukis di stasi yang mayoritas Muslim, menjadi kesempatan bagi umat setempat agar berani dan percaya diri dalam berdialog dengan para saudara Muslimnya tentang iman.
Satu “Saraina”
Dengan jumlah umat Katolik 10.802 jiwa (terbesar di Keuskupan Padang) per Desember 2022, para imam misionaris Xaverian yang berkarya di Paroki Siberut saat ini, Pastor Antonius Wahyudianto, SX; Pastor Maurice Fokam SX, Pastor Salvador Cruz Rojo, SX serta Bruder Siprianus Sagoroujou, SX bekerja keras dalam mengatur jadwal kunjungan bulanan ke 26 stasi yang tersebar di enam wilayah.
Kondisi geografis dan medan pastoral yang menantang di Wilayah Sagulubbe’, sebelah pantai Barat Daya yang sering berombak tinggi sekitar 4-6 meter di saat musim badai, tidak membuat para Xaverian berkecil hati saat membuat jadwal tiga bulanan mengunjungi umat di tujuh stasi Barat Daya. Jarak antara satu stasi ke stasi lainnya lumayan jauh. Bagi misionaris Xaverian seperti saya, motto Caritas Christi Urget Nos (Kasih Kristus mendesak kami) telah merasuk dalam tulang sum-sum, agar selalu siap tempur mewartakan Kabar Sukacita bagi umat Katolik Mentawai di Barat Daya Pulau Siberut.
Secara pastoral dan sakramental, umat di Wilayah Sagulubbe hanya bisa dilayani 2-4 kali setahun, sekitar bulan Januari-April, atau antara awal Oktober hingga Desember. Artinya, kunjungan stasi hanya bisa dilakukan di luar musim badai yang biasanya berlangsung antara awal Juni hinga akhir September.
Tetapi, demi merajut umat Mentawai sebagai saraina simanuntu bagaku (saudaraku terkasih) dan sebagai satu keluarga Wilayah Sagulubbe’, secara simbolis-liturgis pada hari terakhir kunjungan pastor di hari Minggu, diadakan Misa solemnitas bersama di pusat Stasi Sagulubbe yang dihadiri oleh para wakil dewan stasi dari keenam stasi lainnya.
Dalam Bahasa Mentawai, arti harafiah saraina adalah satu ibu. Kata saraina merupakan gabungan 2 kata Mentawai; sara artinya satu, dan ina (ibu). Dalam pemakaian sehari-hari kata saraina dimaknai sebagai saudara seiman. Yakni, saudara seiman yang disatukan oleh satu baptisan.
Meski Wilayah Sagulubbe ini hanya dikunjungi pastor dan timnya sekitar 2-3 kali dalam setahun, namun kegiatan menggereja di antara kaum mudanya cukup aktif dan rutin, berkat pendampingan guru/katekis, Stefanus Sakakaddut. Dalam diri dan hati kaum muda di wilayah yang banyak mengirimkan pelajar SMA ke asrama putra dan putri di Susteran PRR Maileppet ini, semangat menjadi saraina harus tetap dipelihara bersama.
Di Wilayah Sagulubbe’ ini ada satu stasi (Mappinang) dari tujuh stasi tersebut yang harus dilalui dengan berjalan kaki di sisi dinding tebing yang licin. Lebarnya hanya sekitar 40 cm. Sementara di sebelah kiri tebing mengalir air terjun yang deras dan indah. Bila kita tidak hati-hati menapaki tebing yang licin, kita bisa terjatuh dan mungkin tewas tenggelam di bawah air terjun nan rancak itu.
“Antara keindahan dan kematian sungguh bersatu padu dalam perjalanan pastoral ke stasi Mappinang, bak dua sisi dari satu keping uang logam” pikir saya dalam hati. Meski dengan turun naik lembah dan tebing yang cukup melelahkan karena jalan kaki, namun untuk mencapai gereja Santa Lusia, Stasi Mappinang, tak sampai memakan waktu satu jam. Sehingga pastor tetap siap sedia menantikan umat di sudut altar atau di sakristi untuk melayani Sakramen Tobat, sebelum Misa dimulai di malam hari dengan cahaya lampu neon tenaga surya seadanya, namun khidmat.
Tatangan dan Harapan
Tantangan sekularisasi di ranah misi Bumi Sikerei dapat terjadi bila orang bisa hidup dengan tenang dan melenggang santai sambil pegang hape dari pagi sampai malam, dalam kegiatan budaya, tempat rekreasi atau olah raga, dalam rumah, di kebun, namun tanpa sedetik pun ingat akan Tuhan! Gereja dan kaum muda di paroki pun dewasa ini sedang menghadapi tantangan yang berat. Hal ini khususnya berkaitan dengan godaan duniawi dan fenomena sekularisasi, di mana api iman mereka bisa semakin meredup bahkan padam.
Salah satu upaya menghidupkan kembali api interior imani kaum muda — cinta Gereja dan tanah air sendiri — adalah mengadakan kegiatan tahunan Temu OMK dalam rangka Hari Sumpah Pemuda Se-Paroki Muara Siberut, 25-28 Oktober 2023, bertempat di Stasi Santo Guido Maria Conforti, Maileppet. Demi menampung sekitar 260 utusan dari 12 stasi itu, panitia menempatkan mereka di rumah-rumah umat dengan cara live-in.
Kegiatan ini merupakan proses membangun persaudaraan (pusarainaat) dan persekutuan sejati (parurukat) di antara peserta dan para keluarga di mana mereka menginap. Program Seksi Kepemudaan tahunan yang vakum sekitar 2-3 tahun pasca-pandemi ini, diisi dengan berbagai kegiatan penuh makna seperti tiga sesi seminar dengan tema Peran Kaum Muda dalam menggereja, Peran Kaum Muda dalam bernegara, dan Peran Kaum Muda dalam melestarikan Budaya Mentawai.
Pada petang hari, acara dilanjutkan dengan lomba cerdas tangkas (cerkas), voli putra dan putri, panahan, lomba kor, mazmur, khotbah, tari kreasi, dan tari tradisional turu’ laggai. Dalam setiap lomba ini terlihat wajah-wajah antusiasme kaum muda yang sangat merindukan pusarainaat, parurukat, dan pusurakat (puji syukur).
Program rutin ini yang diprakarsai Seksi Kepemudaan Paroki selama bertahun-tahun ini merupakan punen sabeu (pesta besar) yang selalu membawa sukacita dan harapan. Dalam salah satu kata sambutannya saat diadakan Upacara Bendera di lapangan bola kaki Desa Maileppet, Ketua ISKA-Mentawai, Dominikus Saleleubaja berharap seraya menandaskan, “Kaum muda Mentawai mesti meneladan tokoh nasional dan uskup pribumi pertama, Mgr. Alebertus Soegijapranata, SJ yang mempopulerkan slogan “100% Indonesia, 100% Katolik”.
Pastor Wahyudianto dalam Misa penutupan dengan nada optimis memberi pesan dan harapan bagi kaum muda. Ia mengajak mereka menyanyikan lagu rohani jadul dengan refreinnya, “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri, bersama-sama kita nikmati, apa yang dikaruniakan-Nya”
Pastor Antonius Wahyudianto, SX, Pastor Kepala Paroki Muara Siberut, Kepulauan Mentawai
Majalah HIDUP, Edisi No. 48, Tahun Ke-77, Minggu, 26 November 2023