HIDUPKATOLIK.COM – Delapan tokoh agama yang tergabung dalam Forum Peduli Indonesia Damai, masing-masing mewakili agama Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, dan Protestan serta Spiritual Nusantara – sebuah aliran kepercayaan, meminta seluruh masyarakat dan para pemangku kepentingan bangsa untuk tetap menjaga persatuan, khususnya menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun depan.
Dipimpin oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Marsyudi Syuhud, mereka – Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo; Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom; Sekretaris Umum Muhammadiyah, Muhammad Izzul Muslimin (mewakili Abdul Mu’ti); Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Wisnu Bawa Tenaya; Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Philip K. Widjaja; Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Budi Santoso Tanuwibowo; dan Wali Spiritualitas Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu – menandatangani dan membacakan secara bergantian “Seruan Indonesia Damai” yang berisi sembilan poin pada Selasa (06/11/2023) di Gedung Karya Pastoral Keuskupan Agung Jakarta.
Seruan tersebut disampaikan berdasarkan keprihatinan yang sangat mendalam terhadap kondisi kehidupan kebangsaan. Hal ini merujuk pada fenomena politik nasional yang berpeluang dan berpotensi destruktif serta demi masa depan bangsa dan demokrasi Indonesia.
“Forum Peduli Indonesia Damai menyerukan kepada seluruh warga bangsa dan seluruh pemangku kepentingan bangsa untuk turut serta menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia serta mengedepankan dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok/golongan, dan kepentingan partai politik,” kata mereka.
Mereka juga meminta peneguhan kembali konsensus kebangsaan yang berbasis pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan UUD 1945 di seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
“Mendesak terselenggaranya Pemilu tepat waktu, aman, damai, jujur, adil, bebas, rahasia, transparan, dan bermartabat serta mendesak terwujudnya netralitas penyelenggara Pemilu, netralitas aparatur negara, netralitas aparatur desa/kelurahan dalam pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden dan legislatif,” lanjut mereka.
Menurut mereka, menjaga dan mewujudkan stabilitas nasional, stabilitas politik, dan stabilitas keamanan nasional; menghentikan, mencegah, dan menghindari berbagai upaya adu domba, penyebarluasan hoaks yang berpotensi memecah-belah bangsa; dan menghentikan aktivitas dan skenario konflik sosial dan politik yang bisa mengarah pada situasi destruktif dan chaos harus dilakukan.
“Membangun kesiapsiagaan nasional untuk mewaspadai berbagai kemungkinan turbulensi politik dan berbagai ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan keamanan, yang berbahaya dan merugikan kepentingan nasional,” tegas mereka.
Mereka juga mendesak pemulihan keadilan untuk rakyat, membersihkan institusi penegak hukum dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan melakukan pengawalan berbagai upaya penegakan hukum sesuai dengan amanat perundang-undangan dan hati nurani rakyat.
“Mendorong terwujudnya ‘rekonsiliasi nasional’ dan keakraban di antara para pemimpin bangsa, agama, dan politik untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dan demokrasi yang beretika, serta lebih serius dalam mengupayakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelas mereka.
Selain itu, mereka menyerukan kepada semua warga bangsa untuk menggelorakan doa dan menggerakkan kekuatan spiritual demi keselamatan bangsa dan negara.
“Mengajak seluruh tokoh agama, masyarakat, dan adat tradisi di seluruh Indonesia untuk merapatkan barisan, memperkokoh serta meneguhkan solidaritas sosial dan kebangsaan sebagai Gerakan Indonesia Damai di semua tingkatan secara terpadu dan berkelanjutan,” kata mereka.
Trias Politica
Pada kesempatan tersebut, Kardinal Suharyo menggarisbawahi tentang Trias Politica.
Merujuk pada poin tujuh dari “Seruan Indonesia Damai” yang menyinggung soal kehidupan demokrasi yang beretika, ia mengatakan: “Saya berpikir mengenai yang lebih jauh daripada Pemilu nanti. Jadi bukan hanya Pemilu yang kita pikirkan, tetapi lebih jauh negara kita ini mau menuju kemana. Sejauh dapat saya ikuti, saya pelajari, dan saya pahami, kita ingin bertumbuh menjadi bangsa yang semakin berkeadaban publik.”
“Nah, tiga pilar dalam keadaban publik itu adalah negara, pasar, dan masyarakat warga. Tentu ceritanya bisa panjang. Tetapi yang paling penting adalah tiga pilar itu mesti menjalankan fungsinya yang berbeda-beda dengan azas dasar moralitas. Tanpa moralitas, negara hancur.”
Ia mengaku sangat sedih ketika membaca sebuah koran terkemuka yang memelesetkan Trias Politica menjadi Trias Corruptica karena ketiga pilar tersebut – yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bersama – nampaknya terkesan gagal.
“Banyaknya korupsi dari tiga lembaga itu: eksekutif, yudikatif, legislatif. Mengerikan. Mungkin dianggap lelucon, ada plesetan seperti itu. Tapi sungguh menyedihkan bagi saya,” ujarnya.
Dunia bisnis pun demikian. Ia menegaskan bahwa negara tidak bisa dipisahkan dari bisnis. Meskipun demikian, negara harus menerapkan aturan yang baik supaya bisnis bergerak dengan semangat keadilan.
“Demikian juga dengan masyarakat warga. Masyarakat warga hidup bersama-sama pengandaiannya adalah saling percaya. Dan saling percaya itulah yang akan membangun masyarakat akar rumput menjadi masyarakat yang rukun, bersaudara. Jadi masyarakat warga yang bermoral, beretika itu artinya menerima konsensus-konsensus di dalam masyarakat dan menjalankannya,” katanya.
“Itu juga agak jauh dari kenyataannya. Lihat saja di depan jalan antara Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. Itu berapa banyak pelanggaran lalu lintas terjadi. Mestinya masyarakat yang menggunakan lalu lintas menerima konsensus di dalam berlalu lintas dan menjalankannya. Tetapi karena kesadaran itu belum, artinya kalau memakai istilah besar moralitas sosial itu belum tumbuh, nah jadinya segala macam kecelakaan terjadi.”
Kardinal Suharyo berharap ketiga pilar tersebut sungguh-sungguh ditegakkan untuk mengembangkan moralitas sosial dan tanggung jawab sosial bagi masing-masing lembaga.
“Jadi bukan hanya negara, tetapi juga pasar, masyarakat warga,” pungkasnya.
Sungguh Diperhatikan
Senada, Izzul berharap “Seruan Indonesia Damai” sungguh diperhatikan oleh semua pihak, terutama penyelenggara negara dan Pemilu.
“Mau tidak mau, Pemilu ini harus berlangsung sukses. Dan kesuksesan itu diharapkan akan membawa bangsa ini pada kemajuan yang lebih baik,” tuturnya.
Ia mengatakan bangsa Indonesia telah melalui proses berbangsa dan bernegara selama 78 tahun.
“Tentu kita tidak ingin setback, kembali ke belakang terutama dalam hal demokrasi kita. Oleh karena itu, sekali lagi, mudah-mudahan apa yang kita serukan ini bisa menjadi perhatian kita semua dan bisa terwujud yang menjadi harapan kita semua,” ungkapnya.
Sementara itu, Widjaja mendambakan Pemilu yang berkualitas.
“Saya berharap melalui Pemilu ini terwujud demokrasi yang substansial, tidak hanya sekadar secara prosedural, secara mekanik berlangsung. Tetapi nilai-nilai demokrasi terus tercermin, di antaranya keadilan bagi semua, kejujuran, keterbukaan, kesetaraan. Itu sungguh-sungguh diwujudkan baik oleh para penyelenggara Pemilu, pengawas, dan kita semua sebagai rakyat Indoensia,” ujarnya.
Ia juga menekankan soal persatuan dan persaudaraan di tengah perbedaan.
“Sebagai warga bangsa, persaudaraan adalah di atas segala-galanya. Di atas kepentingan-kepentingan politik, di atas kepentingan-kepentingan sektoral, tetapi kita sebagai bangsa, Indonesia harus tetap bersatu di tengah perbedaan-perbedaan pilihan ini. Hanya dengan demikian saya kira kita bisa melewati Pemilu ini dengan aman, dengan damai. Dan itu yang menjadi harapan kita semua bersama. Indonesia damai melalui Pemilu 2024,” tuturnya.
Katharina Reny Lestari