HIDUPKATOLIK.COM – Tanggal 25 November hingga 10 Desember selalu diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhaap Perempuan. Sejalan dengan momen itu, Gereja Katolik juga mengkampanyekan protokol yang melindungi kaum Perempuan di gereja, Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan (PPADR).
Momen itu dipandang sebagai awareness raising dalam mencegah kekerasan seksual di gereja. Tidak mudah membangun kesadaran umat dan pelayan gereja dalam pencegahannya. Karena itu, kita perlu bertanya bagaimana membangun kesadaran umat agar tahu merespons situasi kekerasan seksual di gereja?
Peringatan HAKtP di Gereja
Dalam memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP), Gereja Katolik di KAJ berpartisipasi mengadakan beraneka kegiatan. Peringatan HAKtP saat ini mengangkat tema “kenali hukumnya dan lindungi korban.”
Sejauh penulis ketahui, terdapat 3 paroki yang berinisiatif memperingatinya: Paroki St Kristoforus Grogol, Jakarta Barat (25 November 2023), Paroki St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur (26 November 2023), Paroki St. Helena, Curug (3 Desember 2023). Sementara itu, di tingkat KAJ, seminar terkait HAKtP dilaksanakan secara daring, melalui zoom yang sudah dimulai 25 November hingga berakhir 10 Desember 2023.
Semarak oranye pada kampanye HAKtP ditorehkan pada photobooth, twinbbonize (platform kampanye secara online) seperti di Paroki St Kristoforus, Grogol atau aksi teatrikal, dukungan tanda tangan umat, postingan Instagram dan sekilas info PPADR pada misa di Paroki St Yoseph Matraman dan Seminar “Perempuan dalam Lingkaran Kekerasan” di paroki St Helena, Curug.
Sayangnya tidak ada liputan tentang kegiatan yang dilakukan kegiatan itu di gereja. Di Paroki St. Yoesph Matraman sendiri, aksi teatrikal yang diumumkan dalam warta paroki tergolong relatif sedikit diminati umat, meskipun beberapa umat yang rela mengantri sepanjang 8 meter untuk mendukung kampanye lewat tanda tangan.
Di Gereja St. Yoseph dan St. Kristoforus (sebagaimana dinyatakan Fasilitator Inti masing-masing gereja) sendiri tampak keterlibatan umat gereja dalam mendukung peringatan HAKtP masih rendah. Padahal kasus kekerasan, secara khusus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es yang menjadi tantangan menggereja saat ini, sebagaimana yang dinyatakan PPADR (Buku Saku Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan, 2022).
Kita Umat Berkesadaran
Kekerasan Seksual di dalam gereja terlihat sebagai isu yang sensitif. Sensitif karena gereja dipandang sebagai rumah Allah yang sakral. Umat mungkin saja menafikan persoalan ini karena soal seks dan pelanggarannya dianggap tabu dibicarakan di dalam gereja. Karena itu, pencegahan Kekerasan Seksual dalam peringatan HAKtP merupakan isu kampanye yang seksi namun sekaligus menantang karena seksualitas masih dianggap tabu. Namun demikian, misi tim PPADR untuk breaking the silence, mencegah dan melindungi korban mesti tetap dijalankan demi menghadirkan Kerajaan Allah di gerea
Penerimaan umat atas edukasi pencegahan dan respon penanganan kasus adalah persoalan penyadaran yang tak mungkin dilakukan sekali jadi. Penyadaran ini dilakukan kepada umat yang dilayani dan pelayan gereja. Tugas menyadarkan umat tidak terbatas pada soal tahu merespon, melainkan juga berani melaporkan kasus tsb. Sikap respon dan melapor adalah bentuk tumbuhnya daya kritis umat.
Dalam kampanye HAKtP yang dilakukan di dalam Misa di Paroki St. Yoseph Matraman, banyak umat merespon dengan menandatangani dukungan kampanye PPADR atau ada juga umat di Paroki Grogol, melakukan kampanye dengan terlibat dalam photobooth. Apakah dengan demikian sudah terbangun kesadaran? Belum tentu! Kesadaran kritis dicapai melalui dialog, ruang-ruang diskusi, edukasi. Hal itu butuh waktu dan proses internalisasi terhadapnya. Itu juga tidak mungkin dilaksanakan dalam momen HAKtP saja, melainkan berkesinambungan. Kesadaran juga diuji ketika umat merespon dan melaporkan kasus Kekerasan seksual terjadi—hal mana yang tidak kita harapkan ada di gereja.
Dalam model filsafat Pendidikan Paulo Freire (2008), refleksi dan aksi adalah bagian dari proses penyadaran itu. Tanpa refleksi, aksi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual seperti kehilangan maknanya. Verbalisme belaka. Tanpa aksi, refleksi terhadap aksi pencegahan dan penanganan hanyalah aktivisme semata.
Seorang fasilitator yang mendampingi proses penyadaran kritis membutuhkan pengamatan yang jeli atas situasi umat dan pelayan gereja. Saat kita tahu banyak umat yang cuek terhadap situasi kekerasan seksual yang nyata dan yang mungkin terjadi di sekitar kita, itu artinya belum terbangunnya kesadaran. Kesadaran atas kekerasan seksual—dalam perspektif Filsafat Pendidikan Freire—dibentuk dari refleksi atas analisis potensi kekerasan seksual dan aksi untuk mencegah dan menanganinya.
Bayangkan betapa rentannya di ruang ganti baju putra putri altar yang tidak adanya privasi, bilik pembatas dengan ruang pelayan gereja lainnya. Atau ketika Putri Altar diajak pertemuan di luar gereja tanpa ada pengawasan orang tua. Bayangkan betapa rentannya anak-anak sekolah minggu berada di bilik-bilik online saat sekolah minggu tanpa ada pengawasan orang tua atau pendamping guru sekolah minggu lainnya. Dengan demikian, Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan menjadi niscaya dalam hidup menggereja saat ini.
Saat ini, kasus kekerasan seksual terhadap Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 2228 kasus/38,21% kasus kekerasan seksual terhadap Perempuan. Di samping itu, terdapat 2083 kasus atau 35,75% kasus kekerasan psikis (Data Komnas Perempuan, 2022). Sementara itu, di gereja Katolik sendiri, baru 2 kasus yang ditemukan atau dilaporkan terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan pelayan gereja dan bruder. Situasi ini bak fenomena gunung es, yang terlihat di permukaan sedikit dan yang belum tersingkap mungkin bisa jadi lebih banyak.
Kita bersyukur saat ini UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan 2022 setahun yang lalu. Kepastian hukum ini yang disuarakan dalam tema kampanye HAKtP tahun ini menjamin perlindungan bagi korban. Dulu, persoalan kekerasan seksual bisa diselesaikan secara kekeluargaan, namun kini, korban mendapat kepastian hukumnya dengan adanya UU tsb. Begitu pula cara-cara melindungi korban kekerasan yang disuarakan dalam HAKtP juga perlu disebarluaskan kepada umat di gereja. Tak ketinggalan, edukasi kesetaraan dan keadilan gender di dalam gereja tampak menjadi satu paket pengetahuan yang disebarluaskan. Cara pandang yang bias gender adalah titik awal dari perilaku kekerasan.
Pengetahuan tentang perlindungan anak dan dewasa kesetaraan dan keadilan gender, memberdayakan umat ketika menghadapi kasus kekerasan seksual. Internalisasi pengetahuan ini mengangkat kaum perempuan agar perannya setara dalam masyarakat dan gereja. Kita mungkin adalah mahkluk transenden sebagaimana fiisuf Perempuan, Simone De Beavouir cita-citakan pada kaum perempuan. Yang lebih ultim juga, kita adalah sosok Maria yang reflektif-“mendengarkan perkataan Yesus” saat Tuhan datang berkunjung ke rumah Marta (Lukas 10:38-42). Melalui internalisasi pengetahuan tersebut, perempuan dan laki-laki mampu mentransendensikan persoalan- persoalan kekerasan. Kita menjadi umat yang berkesadaran!
Alistair E. W. Steven Simbolon
Fasilitator Inti KAJ
Gereja St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur