Dari Dekat Paroki St. Maria Immaculata Mataram-Lombok Barat: Pengampunan, Solidaritas, dan Kerukunan

170
Pastor Paroki St. Maria Immaculata Mataram, Romo Stevanus Dananjoyo berbicang dengan seorang mahasiswa dari Univ. Islam Negeri Mataram beberapa waktu lalu.

HIDUPKATOLIK.COM – SEPULUH orang mahasiswa berjas hijau tosca dengan langkah riang memasuki gedung Paroki Santa Maria Immaculata Mataram, Lombok Barat Keuskupan Denpasar yang terletak di Jl. Pejanggik 37 pada Senin, 18/09/2023. Manik mata mereka menjelajah setiap sudut gedung gereja. Mereka melihat dan mengamati struktur bangunan, ornamen, dan suasana doa yang ada.

Kelompok mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Mataram ini datang untuk mengenal Katolik dari dekat. Mereka terpantik untuk mengetahui apa peran umat Kristiani terhadap kerukunan dan toleransi beragama di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Pulau Lombok.

Pada tahun 2022, lembaga swadaya masyarakat berbasis di Indonesia yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia, yakni Setara Institute merilis daftar kota paling toleran dan intoleran se-Indonesia dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2022. Dalam daftar kota paling tidak toleran Kota Mataram menempati urutan ke-5. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan empat variabel, yakni regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindak pemerintah, dan demografi sosio keagamaan. Hal ini menuai pro kontra.

Guna melepas stigma sebagai kota intoleran, segenap elemen masyarakat berjibaku bersama untuk mewujudkan Lombok yang peduli kerukunan dan kesatuan umat beragama. Kunjungan para mahasiswa ini pun sebagai bentuk nyata semangat moderasi beragama yang digaungkan Kementerian Agama. Ditemani oleh Pastor Rekan Paroki Santa Maria Immaculata Mataram, Romo Stevanus Dananjoyo Maharsi Putro Pamungkas bersama Suster Natalia, HK para mahasiswa ini pun menuntaskan dahaganya.

Romo Danan, sapaan akrabnya, mengingatkan kembali bahwa landasan masyarakat Indonesia untuk hidup rukun antar umat beragama karena jati diri bangsa Indonesia bertumpu pada semangat Bhinneka Tunggal Ika. Peran Gereja dalam membangun kerukunan pun ia contohkan dengan aktifnya Kepala Paroki Mataram, Romo Laurentius Maryono dalam kepengurusan Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB) Provinsi Mataram.

“Beliau merintis perjuangan untuk senantiasa menjaga kerukunan di NTB walaupun diluar digembar-gemborkan berita yang kurang sedap karena perilaku atau peristiwa tertentu sehingga mengeneralisir orang NTB kurang toleran,” ungkapnya. Kelahiran 8 Maret 1992 itu melanjutkan, “Saya katakan tidak, itu hanya oknum! Oknum yang tidak mampu dan tidak mau hidup bersama yang lain yang berbeda kepercayaan.” Menurutnya, masyarakat NTB pada umumnya sangat menerima dan terbuka kepada semua orang.

Ia pun berpesan kepada para calon pemimpin masa depan ini untuk mengingat perkataan Bung Karno yang dengan jelas berseru, “Jika jadi Hindu, jangan jadi orang India. Jika jadi Islam, jangan jadi orang Arab, jika jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya.” Pancasila adalah identitas dan cara hidup bangsa Indonesia.

Masa Kelam

Peristiwa kelam Mataram yang tertancap di benak banyak orang adalah peristiwa 171. Tempo (nasional.tempo.co), 11/2/2021 menuturkan, pada tanggal 17 Januari 2000 terjadi penyerangan dan pengerusakan terhadap gereja dan warga Kristiani di Kota Mataram. Dalam kerusuhan berbau SARA tersebut, 10 gereja dibakar, serta 5 gereja dirusak, termasuk di antaranya Gereja GPIB Imanuel di Jalan WR Supratman yang bersebelahan dengan Kantor Walikota Mataram dan Gereja Katolik St. Maria Immaculata yang bersebelahan dengan Markas Kodim 1606 Lombok Barat.

Tidak hanya itu, pelaku kerusuhan juga melakukan penjarahan di berbagai lokasi, termasuk sejumlah hotel dan fasilitas wisata di Kawasan wisata, Pantai Senggigi, Lombok Barat. Tercatat 28 hotel, 402 rumah, 67 toko yang menjadi korban. Total kerugian mencapai angka Rp 7 Miliar. Peristiwa ini juga merenggut 6 nyawa, 11 orang luka berat, dan 2 orang luka ringan. Termasuk 3 orang anggota kepolisian terluka.

Lebih lanjut, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen RI tahun 2002 dalam laporan berjudul Konflik-konflik Sosial Bernuansa SARA di Berbagai Komunitas: Studi Kasus Kerusuhan Mataram Januari 2000 menuliskan bahwa pemicu tragedi ini adalah sikap lamban pemerintah dalam penanganan konflik di Maluku (Ambon), yang mengakibatkan sejumlah massa setelah mengikuti tabligh akbar di lapangan umum Mataram untuk menampakan solidaritas terhadap muslim dilakukan dengan pengerusakan terhadap gereja Immanuel di belakang kantor walikota Mataram.

Jurnal “Al-Qalam” No.XVI Tahun XI Edisi Juli-Desember 2005 “Ketika 171 Bergolak” menuturkan kerusuhan 171 terjadi akibat ulah pihak ketiga (tanpa menyebutkan daerah asalnya). Tidak tinggal diam, penanganan dan penyelesaian kerusuhan dilakukan berbagai pihak, baik oleh pemerintah pusat, daerah, tokoh agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha). Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen RI menuliskan lagi penyelesaian kerusuhan dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan melalui jalur hukum. Pada 22 Januari 2000, Polda NTB mengumumkan pelaksanaan proses hukum terhadap 264 orang yang ditangkap dan 18 orang diantaranya dinyatakan sebagai tersangka.

Jalan Pulih

Tak sedikit masyarakat yang mengungsi dan tak kembali lagi ke Mataram karena tragedi itu. Akibatnya, perekonomian Lombok tersendat. Walaupun demikian, banyak juga yang bertahan. “Setelah peristiwa pembakaran, kurang lebih membutuhkan waktu 1 bulan bagi umat untuk berangsur-angsur kembali,” terang Romo Danan.

“Gereja Mataram secara fasilitas memang pernah dibakar oleh umat beragama lain dan menimbulkan trauma karena rumah umat pun dijarah tapi di sisi lain, saya menangkap kisah yang menarik,” ujar Romo Danan.

Usai tinggal selama 1 tahun 7 bulan di Mataram, ia pribadi belum menemukan orang yang bersikap fanatik. Mendapat perlakuan tidak mengenakan pun belum pernah dialaminya. Dari kisah masa kelam itu, ia belajar bahwa mereka yang hidupnya hanya untuk Gereja dan kurang membaur dengan masyarakat, banyak menjadi korban, berbeda dengan mereka yang rajin beribadah dan rajin juga membantu warga sekitar, mereka banyak dilindungi warga.

“Itulah kesaksian mereka. Dari sini saya melihat apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Jika kita menabur kasih, maka kita pun akan dikasihi,” ungkapnya. Untuk hidup bersama dalam rumah Pancasila, semangat keterbukaan untuk hidup dengan masyarakat adalah penting.

“Ini menjadi pelajaran bagi saya bahwa hidup di tengah masyarakat itu harus membaur, mengenal sesama kita, jangan kikir dengan apa yang dimiliki,” akunya. Ia melanjutkan, “Peristiwa itu memang traumatis tetapi Gereja selalu mengingatkan kepada umat untuk selalu berbuat kasih. Terlebih berani mengampuni sebagaimana yang Yesus ajarkan saat mendoakan algojo-algojonya dari atas kayu salib.”

Pengampunan itulah yang membuat Gereja bangkit. Peristiwa ini juga semakin menyadarkan Gereja akan kebutuhan hidup selaras dengan masyarakat sekitar. “Kita semakin membuka diri dan berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat serta menebar kasih kepada mereka. Kasih itu harus berbuah keluar juga,” tegasnya.

Komitmen berjalan bersama lintas agama lain, menurut Romo Danan, ditunjukkan melalui peran dari pemuka agama, dalam hal ini Kepala Paroki Mataram beserta fungsionaris pastoral lainnya yang selalu menggerakkan umat untuk aktif berkegiatan di dalam dan di luar lingkup gereja. Ia pun menyoroti pentingnya pembinaan iman berjenjang yang tengah dilakukan paroki. Tujuannya agar membentuk militansi iman yang tetap peduli dengan masyarakat. Teladan seorang imam amat penting.

“Pastor paroki saya mengajarkan bagaimana membangun komunikasi yang baik lintas instansi baik pemerintah, tokoh adat/agama, dan masyarakat,” ujarnya bangga. Untuk itu, Kepala Paroki Mataram mengajaknya untuk aktif dalam kegiatan FKUB serta menjalin persahabat dengan tokoh pemerintah. “Dari situ umat dapat melihat pentingnya hidup berdampingan dengan masyarakat lain, jangan sampai menutup diri, tetapi terlibat aktif. Ini sempat diserukan dalam pra sinode tingkat paroki,” imbuhnya.

Dikunjungi Menag

Setelah bertahun-tahun memulihkan diri dari masa kelam, pada saat Pesta Santo Stefanus Martir Pertama, Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qumas, mengunjungi Paroki Mataram pada Senin, 26/12/2022. Kedatangan Menag menjadi hadiah natal tersendiri bagi umat. Dalam sambutannya, Romo Maryono menuturkan, toleransi umat beragama di Mataram sudah terjalin dengan baik.

“Di belakang gereja terdapat masjid, lalu di sekitar gereja terdapat pedagang kaki lima beragama Islam yang berjualan dan gereja mengizinkan mereka mengambil air bersih dengan gratis,” ungkapnya. Hal ini pun disambut hangat oleh Menag yang mengatakan bahwa toleransi di NTB itu sudah teruji dan ia berterima kasih atas toleransi yang sangat tinggi itu.

Menag mengungkapan dalam semangat persaudaraan, “Meskipun saya menyakini agama saya yang benar, namun tidak ada yang mampu menghalagi persaudaraan yang ada di antara kita. Kita adalah saudara kemanusiaan yang tidak terpisahkan.” Tidak hanya itu, Menag juga memberikan bantuan sarana prasarana kepada Paroki Mataram dengan nilai Rp 100 juta. Bantuan itu telah digunakan dan dilaporkan pertanggung jawabannya kepada Kemenag.

Miniatur Indonesia

Romo Maryono, dalam wawancaranya dengan HIDUP, menekankan bahwa Paroki Mataram adalah miniatur Indonesia karena beragam etnis hadir di sini. Ia yang dulu sempat ragu menerima penempatan tugas di Lombok karena tidak punya latar belakang Islamologi kini mengaku bahwa keinginan untuk hadir bagi yang lain adalah panggilan dasar manusia yang selalu bergema dalam hati. “Saya belajar hadir bagi mereka dan diterima. Ini adalah buah sukacita kehadiran,” ungkapnya.

Ia pun merefleksikan, Gereja Katolik di Mataram yang pada 8 Desember 2023 akan berusia 88 tahun. Gereja dalam arti jemaat Tuhan telah melewati masa-masa sulit. Berbagai kejadian telah terjadi: Gereja dibakar, rumah-rumah dijarah, umat mengungsi, umat Kristiani mendapat serangan, ancaman, dan pengusiran. Umat membersihkan puing-puing dan membangun kembali tempat ibadat yang sudah dirusak oleh masa tersebut. Setelah itu disusul oleh gempa bumi 2018 yang menewaskan 368 jiwa. Gereja Rusak tapi tidak sampai roboh. Kemudian pandemi Covid-19.

“Bencana musibah baik alami mapun non alami sudah pernah dialami oleh umat Mataram. Dan Yesus senantiasa menaungi umat-Nya,” sebutnya mantap. Ia pun berharap semoga di usia ke-88 ini, iman umat paroki semakin bertumbuh, tangguh, kuat, dan kokoh agar siap menghadapi segala tantangan yang ada.

Romo Danan pun mengungkapkan harapannya. “Semoga umat lebih terbuka dan aktif kegiatan menggereja dan bermasyarakat sebab kita hidup di tengah masyarakat majemuk. Jangan lupa menunjukkan karya karitatif. Bagi pemerintah, besar harapan agar semakin mengayomi kaum minoritas,” sebutnya.

Romo Maryono pun memungkasi, “Gereja bersyukur atas penyertaan Roh Kudus Allah sehingga Paroki Mataram dapat melewati masa-masa sulit. Syukur atas perlindungan penyertaan Bunda Maria sebagai pelindung yang melindungi umatnya dari berbagai serangan dan rongrongan kuasa jahat.”

 Felicia Permata Hanggu dari Mataram, Lombok, NTB

Majalah HIDUP, Edisi No. 45, Tahun Ke-77, Minggu, 5 November 2023.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini