Mengapa Perlu Menjaga Relasi Humanistik dalam Diskursus Politik

175
Ir. Soekarno (kedua dari kiri) dan Mgr. A. Soegijapranata, SJ (kedua dari kanan)

HIDUPKATOLIK.COM – Hari-hari ini situasi perpolitikan semakin memanas. Eskalasi demikian terlihat tidak saja dalam media cetak maupun media televisi, tetapi juga dalam diskusi grup-grup media sosial maupun dalam dunia nyata. Peningkatan eskalasi politik itu ditambah lagi adanya presumsi berbagai pihak terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial tentang uji materi atas persyaratan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke depan.

Dari perspektif teori etika, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi batas usia capres dan cawapres di pemilihan presiden 2024 ditengarai lebih bernuansa etika teleologis utilitarianistik, karena sarat dengan kepentingan politik, daripada sebuah wujud  etika deontologis, dalam arti merupakan ungkapan dari kewajiban moral sebagai penjaga konstitusi bangsa. Keputusan kontroversial itu pula telah mendapat perhatian yang serius dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, yang buntutnya adalah pemecatan  Anwar Usman dari kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Situasi ini pula ikut menambah gradasi eskalasi  suhu politik semakin meningkat belakangan ini.

Sebagaimana penulis utarakan dalam artikel “Perlunya Kecerdasan Etis dalam Diskursus Politik” (Hidupkatolik.com, edisi 10 Oktober 2023), diskusi hangat demikian dapat dipandang sebagai sesuatu yang positif, yakni tanda kepedulian masyarakat yang begitu besar terhadap masa depan bangsanya. Dengan kata lain, diskursus demikian merupakan sebuah ungkapan partisipasi besar warga masyarakat dalam membangun dan menghidupkan demokrasi yang sehat di negeri ini, di samping  menjadi pengejawantahan dari civic disposition warga masyarakat.

Dampak Ketegangan

Namun tidak bisa dihindari bahwa dalam diskursus demikian terjadi ketegangan yang pengaruhnya sudah mulai terlihat dalam degradasi kualitas relasi sosial hari-hari ini. Apa yang menjadi sumber ketegangan demikian? Aristoteles (384 SM – 322 SM) dalam bukunya Retorika (2023:124) mengidentifikasi tiga penyebab ketegangan dalam politik, yakni penghinaan pada calon yang dibela, sikap dengki dari pembela calon,  dan “kegigihan” pembela calon yang diperlihatkan dengan upaya meremehkan seperti mengatakan berbagai hal yang mempermalukan calon lain. Apa yang dikatakan oleh Aristoteles ini juga mulai mengejawantah dalam kehidupan masyarakat.

Selain ketegangan, dampak lain panasnya diskursus politik dewasa ini adalah  fenomena kubu-kubuan. Dalam kondisi demikian, kualitas relasi kebendaan, meminjam istilah Martin Buber (1878–1965) mulai terasa. Indikasinya terlihat dalam beberapa hal berikut. Pertama,  menempatkan orang lain sebagai pihak yang perlu ditaklukkan. Dalam pergaulan sosial, mulai terlihat bahwa anggota masyarakat yang berbeda pilihan dianggap sebagai lawan, dan masing-masing pihak cenderung mencari strategi bagaimana menaklukkan mereka yang tidak satu pilihan.

Kedua, dalam relasi kebendaan (I-It, meminjam istilah Martin Buber), orang yang tidak satu pilihan dianggap sebagai Liyan atau pihak ketiga yang berada di luar kelompok. Liyan adalah orang asing bagi kelompok, bukan sebagai sesama saudara. Karena itu Liyan selalu dicurigai, diawasi, dan dimata-matai.

Ketiga, terkait dengan butir kedua, satu sama lain mulai merasa teralienasi dalam pergaulan sosial. Biasanya akrab, ramah, dan guyub, karena pilihan yang berbeda terhadap calon pemimpin, suasana itu berubah drastis menjadi jauh, menjaga jarak, curiga, dan merasa asing.

Keempat, sebagai implikasi lebih lanjut butir kedua dan ketiga, ada fenomena menghidupi sifat nekrophilia, meminjam istilah Erich Fromm, dengan upaya menjatuhkan pihak lain yang tidak satu pilihan. Caranya adalah mengumbar keburukan dan kesalahan calon pemimpin pilihan mereka yang berbeda, persis seperti dikatakan oleh Aristoteles di atas.

Pentingnya Relasi Humanistik

Ketegangan tersebut, jika tidak dikelola dengan baik dalam arti dengan penuh kedewasaan, bisa menimbulkan konflik horizontal. Untuk itulah mengatasi situasi di atas, menurut hemat penulis, antitesis yang perlu dihidupkan adalah relasi humanistik. Mengapa relasi humanistik perlu dihidupkan? Beberapa argumen bisa dikemukakan.

Pertama, dalam relasi humanistik,  setiap orang diakui sebagai pribadi yang memiliki keunikan sendiri, dan keunikan itu justru dilihat sebagai  bagian integral kehidupan manusia.  Kedua, relasi humanistik mengakui kesetaraan dan kesederajatan sebagai nilai-nilai utama. Setiap orang adalah “Aku” dan “Engkau” sekaligus pada momen yang sama.

Ketiga, dalam relasi humanistik, ada pengakuan terhadap kebebasan bagi setiap pribadi. Artinya, di sini tidak ada penyeragaman atau penyamaan pilihan. Dalam relasi ini, perbedaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia. Bahkan perbedaan itu memperindah kehidupan bersama. Karena itu pula perbedaan pilihan dilihat sebagai sesuatu yang sah, dan dianggap sebagai dasar perekat, bukan justru memisahkan atau mengeliminasi pihak lain.

Keempat, implikasi dari tiga butir sebelumnya, relasi humanistik menghidupkan biophilia, yakni kecintaan pada kehidupan semua pihak, sekali lagi meminjam terminologi Erich Fromm, filsuf dan psikolog eksistensialis. Dalam relasi ini seperti dikatakan oleh Emanuel Levinas ( 1906 –1995), perjumpaan antar  individu merupakan sebuah tanggung jawab kepada orang lain.

Singkatnya, dalam relasi humanistik setiap individu memiliki peran dan kedudukan yang sama dalam pilihannya yang berbeda. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab setiap orang adalah memberikan ruang pada setiap individu untuk mewujudkan eksistensinya, termasuk pilihannya yang berbeda.

Akar Relasi Humanistik

Akar dari relasi humanistik terletak pada pengakuan nilai mendasar manusia.

Menurut Aristoteles, nilai mendasar itu terejawantah dalam tiga hal, yakni penggunaan maksimal akal sehat, karakter moral, dan niat baik. Dan ketiga akar ini perlu mendasari diskurus politik warga masyarakat.

Menurut Aristoteles, wujud dari akal sehat itu adalah kemampuan menggunakan pikiran dalam perdebatan atau diskursus, tepatnya mempertimbangkan pilihan diksi serta dampak kata-kata bagi diri sendiri dan orang lain. Akal sehat yang hidup akan menyadarkan bahwa pilihan hanyalah jalan yang berbeda, namun menuju satu tujuan yang sama. Jangan karena pilihan berbeda, tujuan bersama diabaikan. Inilah akal sehat.

Sedangkan karakter moral dimaksudkan adalah sikap positif yang dimiliki seseorang. Wujudnya adalah kesediaan menghargai pilihan orang lain yang berbeda, di samping kemampuan  mengelola emosi dan berani mengakui hal-hal positif orang lain. Dan yang tidak boleh dilupakan menurut Aristoteles adalah niat baik seseorang. Dalam perspektif moral, niat baik menjadi modal mendasar untuk  memberikan ruang kehidupan bagi orang lain dalam diskursus politik.

Tiga hal di atas, yakni akal sehat, karakter moral dan niat baik menurut hemat penulis merupakan social capital, meminjam terminologi Francis Fukuyama (1952-) yang perlu dihidupi oleh masyarakat untuk membangun relasi humanistik dalam diskursus politik. Kedewasaan berpolitik  merupakan buah dari ketiga hal itu yang mampu menghidupkan relasi humanistik di masyarakat.

Seyogianya perhatian besar  pada akal sehat, karakter moral, dan niat baik sebagai esensi relasi humanistik menjadi bagian perwujudan iman bagi orang Katolik dalam partisipasinya membangun demokrasi di negeri ini, sekaligus pengejawantahan semboyan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ “100% Katolik, 100% Indonesia”. Semoga. **

 

Oleh Kasdin Sihotang dosen Filsafat Moral di Fakultas Ekonomi dan Bisnis,  Staf PPE Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini