Panas Nian Kemarau Ini

127

HIDUPKATOLIK.COM – “Puanase puol. Neroko mbok menawa bocor”. (Panas banget. Mungkin neraka bocor)

Untung neraka tidak bocor. Tapi Indonesia sedang dirundung musim panas yang luar biasa. Pernah di Jakarta, suhu menyentuh angka 36 derajat.

Saking gerahnya, Catursari, teman satu SMA, mengandaikan panasnya bumi dengan “neraka bocor”.

Kiasan itu ditulisnya di laman FB saya, 20 September lalu.

Musim panas seperti ini bukan datang mendadak. Enam bulan lampau, banyak pemerintahan dunia, sudah mengingatkan datangnya kemarau yang akan membakar dan berlangsung lama. Kemarau panjang, panas terik, kering kerontang, langka hujan dan puncaknya krisis bahan pangan. Itu yang sedang terjadi.

“Saat ini muncul fenomena ramai-ramai negara menutup keran ekspor pangan. Hal ini sebagai efek domino El Nino yang menyebabkan kekeringan ekstrem dan mengganggu produksi pangan global.“ (Pidato Presiden Joko Widodo dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi 2023).

Negara yang kekurangan pangan tak bisa lagi “membelinya” dari negara lain, karena mereka yang biasanya surplus pun mengalami paceklik. Lengkap sudah penderitaan.

Berubahnya iklim dunia hingga mencekik orang bukan baru sekarang. Belasan tahun lampau, majalah NATIONAL GEOGRAPHIC, April 2009, mengangkat artikel dengan judul “Iklim telah berkhianat”.

Dibuka dengan kisah tentang Malcol Adlington, seorang peternak dari kota Barham, New South Wales, yang nyaris bankrut.

Sepanjang 36 dari 52 tahun usianya, dicurahkan sebagai peternak yang cukup hebat.

Sekarang, sapinya tinggal 70 ekor, padahal 5 tahun sebelumnya masih 500-an ekor.

Utangnya menumpuk hingga ratusan ribu dolar.

Pernah dia punya 5 buruh tapi sekarang hanya Adlington dengan isterinya yang mengurus lahan miliknya.

Belum pernah dia menderita seperti sekarang. Keadaan ayah dan kakeknya lebih perkasa. Tak pernah mengalami kekeringan selama 7 tahun seperti ini.

Sapinya dibiarkan merumput di pinggir jalan. Sesuatu yang “tak begitu legal” terpaksa dilakukan karena tak sehelai rumput pun mau tumbuh di kapling miliknya.

Adlington bermaksud menjual sapi-sapinya namun tak satu pun yang melirik. Itu tanda masa suram peternakan di Australia. Kisah mengharu-biru gara-gara sumber air, sungai, danau, semuanya asat (kering kerontang).

Iklim yang “dituduh” berkhianat lantaran air harus dijatah dengan “incrit-incrit”, saat dibagi kepada para peternak di daerah itu.

Tak usah jauh-jauh ke Australia.

Tetangga kampung saya, di Tangsel, Lasimin, mengeluh ngaruara lewat FB. Tanaman-tanaman di kebunnya rusak atau mati sebelum panen.

Dia hobi berkebun, rajin memanfaatkan lahan-lahan kosong di dekat rumahnya.

Sampai tiga bulan lalu, pepaya dan ketela masih datang ke rumah saya. Satu-dua bulan ini absen.

“Kemarau panjang el nino.

Menyebabkan banyak tanaman menderita.

Termasuk pisang.

Banyak diantaranya mati kepanggang sinar matahari yang amat terik.

Yang tidak mati, pohonnya menjadi kurus mengecil. Menjadi rentan terhadap tiupan angin yang sepoi-sepoi sekali pun”.

Tetangga-tetangga lain teriak-teriak karena kehabisan air tanah. Tukang bor panen karena warga ingin memperdalam sumurnya. Semakin lama, sumur semakin dalam, tapi kemarau berikutnya kering lagi. Diperdalam lagi, kering lagi. Begitu seterusnya, entah sampai kapan.

Semakin dalam air tanah disedot ke atas, identik dengan ucapan “selamat datang” bagi intrusi air laut masuk semakin dalam.

Kalau serius, pengelolaan air bersih untuk keperluan warga sebetulnya tak rumit amat. Sayang, kesadaran publik dan intervensi Pemerintah Daerah untuk hal ini masih minimal atau bahkan tidak ada.

Aturan mengenai eksploitasi air tanah dan pengelolaan drainase masih “nul puthul” (nol besar). Warga pun tak paham bagaimana menghemat air bersih saat hujan tiba.

Jangan ditanya bagaimana “menyimpan” air hujan sebagai cadangan untuk musim kemarau.

Pembuatan danau buatan, embung dan waduk tak pernah terdengar beritanya. Yang sudah ada pun jarang dipelihara. Pendangkalan merajalela, sampah berkelana di mana-mana. Tanda bahwa pengerukan jarang dilakukan dan orang melempar sampah sesuka dia.

Giliran kemarau berikutnya datang, warga kembali teriak. Air bersih sulit didapat, kekeringan merajalela, tanaman meranggas sekarat.

Ketika hujan datang lagi, orang gampang lupa akan kekeringan yang barusan pergi. Kemudian banjir mendera di mana-mana.

Penyakit “amnesia sosial” menjangkiti warga dan para pengelola negara.

Tahun 1980-an, Uce F Tekol dan Anton Tirta sudah mengingatkan kita akan bahaya kemarau panjang. Mereka menggubah lagu dengan judul “Kemarau”, dinyanyikan oleh grup band The Rollies dengan sangat manisnya.

Kemarau
Panas nian kemarau ini
Rumput-rumput pun merintih sedih
Lemah tak berdaya diterik sang surya
Yang panas bagaikan dalam neraka

Mengapa…mengapa hutanku hilang
Dan tak pernah tumbuh lagi
Mengapa…mengapa hutanku hilang
Dan tak pernah tumbuh lagi….

(Judul tulisan ini diambil dari lirik lagu “Kemarau”, The Rollies)

Oleh P.M. Susbandono, kontributor dan penulis buku-buku inspiratif

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini