Khotbah yang “Genit”

326

HIDUPKATOLIK.COM – BAHWA khotbah sekali lagi menjadi bahan pergunjingan itu wajar. Dalam liturgi, ia sedikit dari bagian liturgi yang bisa diutak-atik. Yang lain sudah punya pakem yang harus ditaati.

Pertanyaan yang sering muncul terkait khotbah, bagaimana menjadikan lebih menarik? Terhadap pertanyaan ini kerap dijawab dengan mencari tema yang lagi viral. Selain itu ungkapan-ungkapan yang yang bisa dikategorikan sebagai accidentally news exposure alias berita yang muncul secara aksidental.

Tapi, apakah peristiwa aksidental itu memiliki makna mendalam hingga bisa menjadi tanda sebuah zaman? Sebuah peristiwa akan diangkat ketika ia menjadi tanda untuk zaman yang sedang terjadi. Selain itu di baliknya terdapat makna yang menandakan sebuah perubahan yang mesti terjadi.

Pada sisi lain sekadar mengangkat topik-topik yang ‘genit’ kerap hanya berhenti menghasilkan candaan. Memang di satu pihak memunculkan ‘engagement’ atau keterkaitan antara pengkhotbah dan audiens. Tetapi keterikatan itu kehilangan makna karena hanya mengangkat hal-hal superfisial.

Adanya tendensi sekadar ‘viral’ seperti ini tak jarang ditanggapi dengan ekstrem lainnya. Banyak pengkhotbah yang akhirnya menghindari berita-berita viral dan lebih fokus padan interpretasi bacaan. Mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa perlu ada upaya menghindari berita-berita semacamnya atau yang disebut dengan ‘news avoidance’.

Adanya upaya menghindari hal seperti ini bisa terlihat dari model berkhotbah yang lebih fokus menjelajahi bacaan secara eksegetis demi menemukan benang merah antara 3 bacaan. Upaya ini patut diapresiasi. Tapi kalau para pengkhotbah kritis, banyak kali bacaan kedua minim keterkaitan dengan bacaan 1 dan Injil. Dengan demikian bagaimana menarik benang merah ketika tidak ada keterkaitan? Proses seperti ini bila tidak disadari, akan menghasilkan khotbah yang lebih menyenangkan para pewartanya ketimbang mempertimbangkan daya tangkap audiens.

Aktualisasi

Bagaimana bisa menjembatani khotbah yang ‘genit’ dan khotbah yang terlampau membedah isinya tetapi lupa menciptakan keterkaitan dengan pendengar?

Pertama, khotbah harus disusun dalam konteks pewahyuan yang progresif. Disebutkan demikian karena pewahyuan diri Allah yang sudah dimulai pada masa lalu selalu melewati proses penyempurnaan dari waktu ke waktu dan terpenuhi dari waktu ke waktu.

Demikian adalah tugas seorang pengkhotbah secara indikatif menunjukkan apa yang dikatakan pada waktu itu terpenuhi sekarang dalam kehidupan nyata. Hal seperti ini juga ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Yesus ketika diberi kesempatan berkhotbah di Sinagoga.  “Pada hari ini genaplah s nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Lukas 14, 20 – 21). Di sini terwujuyd ‘engagement’ antara pengkhotbah dan pendengar karena apa yang disabdakan terwujud dan dialami oleh orang yang hidup kini dan di sini.

Banyak khotbah sebaliknya kehilangan kekuatan indikatif ini. Mereka akhirnya terjerumus untuk lebih mementingkan imperatif tentang apa yang harus dilakukan umat hal mana merupakan beban tambahan yang sangat memberatkan dan secara komunikatif tidak akan mudah terima ketika sesuatu terlampau dipaksakan.

Kedua, aspek keterkaitan antara pengkhotbah dan umat mestinya mendapatkan proporsi yang jauh lebih besar dalam jenis khotbah non liturgis (homili). Khotbah non liturgis bisa bersifat katekateis, kerigmatis, missional yang pembawaannya jauh lebih bebas.

Hal ini juga mencakup khotbah yang disebarkakn melalui jaringan baik medsos maupun media digital lainnya. Dalam kenyataan, banyak renungan yang dimasukkan dalam media digital tetapi hanya merupakan naskah dari khotbah yang dibawakan dalam perayaan misa. Model redaksi seperti ini akan sulit memiliki keterkaitan karena dibawakan secara sangat datar dengan bahasa serta ungkapan yang jauh dari bahasa umum. Khotbah seperti ini karena demi mempertahankan isinya makai selain ia menghindari berita tetapi juga pada saat yang sama jauh untuk dipahami umat Allah.

Lalu bagaimana menjembatani hal ini? Kata-kata teolog Karl Barth menjadi penting untuk diingat. Teolog asal Basel – Swiss ini dengan sangat jelas mengungkapkan bahwa pengkhotbah harus seimbang saat menyusun khotbahnya: Kitab Suci dan Koran merupakan dua sumber yang perlu ia dalami saat menyusun khotbah. Hanya dengan demikian dapat terungkap keterkaitan yang memungkinkan umat memahami Sabda Tuhan dengan baik.

Pengkhotbah harus seimbang saat menyusun khotbahnya.

Robert Bala
Mendalami Teologi pada Universidad Pontificia de Salamanca, Spanyol

Majalah HIDUP, Edisi No. 33, Tahun Ke-77, Minggu, 13 Agustus 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini