HIDUPKATOLIK.COM – PADA Agustus ini, setidaknya ada dua imam diosesan dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) berulang tahun imamat ke-25: Romo Bernardus Hardijantan Dermawan (Pastor Kepala Paroki Bintaro Jaya Gereja Santa Maria Regina) dan Romo Benediktus Ari Darmawan (Pastor rekan Paroki Bojong Indah). Juga ada Romo Romo Yosep Yuki Hartandi, CDD (Ketua YPK Don Bosco Medan), yang 25 tahun lalu, saat jejak kerusuhan Mei 1998 masih mencekam, mereka bertiga bersama menerima Sakramen Imamat di Paroki Mangga Besar. Pada tiap bulan Agustus, memang banyak pastor KAJ merayakan ulang tahun imamat. Bahkan rencananya, ada enam orang Diakon projo KAJ juga akan menerima tahbisan imamat pada bulan Agustus ini. Tentu saja bukan hanya di KAJ, tapi juga di keuskupan lain di seluruh dunia.
Bulan Agustus menjadi pilihan menarik tahbisan imamat, karena pada bulan ini tepatnya tanggal 4 Agustus, Gereja memperingati seorang kudus yang ditetapkan sebagai pelindung para imam. Dia adalah Santo Johanes Maria Vianney. Bukan hanya sebagai pelindung namun juga sebagai panutan yang sangat berharga bagi para imam.
“Sang Pastor dari Ars” demikian julukannya. Ia lahir pada 8 Mei 1786 di kota kecil Dardilly, dekat Lyon, Perancis Selatan. Jean Baptist Marie Vianney adalah nama aslinya dalam Bahasa Perancis.
Konon sejak bayi, Jean sudah menunjukkan tanda-tanda kekudusan, kata pertama yang terucap dari bibirnya adalah Yesus dan Maria. Ia berasal dari keluarga petani sederhana. Orang tua Jean jelas bukan orang kaya, namun hati mereka sungguh kaya. Rumah mereka selalu terbuka menerima orang-orang miskin yang butuh makanan. Jean kecil sangat terkesan akan orang tuanya dan ia tak segan menyapa dan memperhatikan orang-orang miskin sekitar rumah mereka.
Jean remaja tekun berdoa dan meditasi. Ia setiap malam membahas Kitab Suci dengan ibu dan kakaknya, Chaterine. Di tengah Revolusi Perancis, kala gereja-gereja ditutup dan para pastor diusir, Jean remaja berinisiatif mengumpulkan teman-teman sebaya dan ia mengajar Kitab Suci dengan cara sederhana. Saat itu sudah muncul minat Jean untuk menjadi imam, namun situasi politik tidak mendukung.
Baru pada tahun 1805, saat ia berusia 19 tahun, gereja-gereja kembali dibuka. Sebuah seminari juga dibuka di kota tetangga. Jean memperoleh restu orang tua untuk masuk seminari walau secara usia sudah sangat terlambat. Jean ternyata lambat dalam hal belajar, terutama Bahasa Latin. Ia tertinggal jauh dari teman-temannya yang jauh lebih muda. Dalam kesulitannya, ia berdoa kepada Bunda Maria Perawan Terberkati. Ia juga pergi ziarah ke makam Santo Francis Regis di kota Louvesc. Ia mohon pertolongan Tuhan melalui doa dari sosok orang kudus yang telah dikaguminya sejak kanak-kanak. Perlahan tapi pasti, Jean mulai dapat mengatasi kesulitan belajarnya. Kelak saat ia menjadi Pastor di Ars, ia menganjurkan umatnya untuk juga berdevosi kepada Santo Francis Regis ini.
Dengan perjuangan yang sungguh berat, karena gagal dan gagal dalam ujian, baru pada tahun 1814 ia masuk Seminari Tinggi untuk studi Teologi. Dengan bantuan dari teman-temannya yang pandai, Jean berhasil menyelesaikan studinya dan siap ditahbiskan. Lalu muncul keraguan di kalangan pemimpin seminari, apakah dengan kualitas akademis seperti ini Jean pantas ditahbiskan. Namun, dengan mempertimbangkan kesalehannya, akhirnya pada Agustus 1815 Jean ditahbiskan oleh Uskup Grenoble dan ia ditempatkan sebagai pastor paroki membantu Pastor Bailey. Pastor ini telah banyak membantu Jean saat hendak masuk Seminari Tinggi. Berselang dua tahun, Pastor Jean ditugaskan di sebuah paroki kecil bernama Ars. Paroki yang kering dan dikatakan sangat sedikit kasih Allah dapat dirasakan di sana.
Februari 1819 saat Pastor Jean pertama kali datang ke Ars, ia melihat kondisi yang jauh lebih buruk. Umat sangat tidak peduli dengan iman dan doa, apalagi pergi Misa ke gereja. Namun pastor Jean melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan semangat kerendahan hati, ia mengunjungi keluarga-keluarga secara rutin dan berkala. Ia berbincang tentang kehidupan umat sehari-hari, mendengar keluhan, dan memberi nasihat. Lama kelamaan umat makin terbuka dan merindukan kedatangan Pastor Jean. Bertahap mereka mulai memenuhi gereja saat Misa. Dari mulut ke mulut, kisah kesalehan dan sikap Pastor Jean yang banyak membawa orang-orang berbeban kembali berdamai dengan Tuhan, terdengar sampai kemana-mana. Banyak umat dari paroki lain datang ke Ars untuk mengaku dosa dan mendengar nasihatnya. Setiap hari Pastor Jean harus duduk belasan jam untuk melayani umat. Ia juga dikenal akan homilinya yang sungguh meneguhkan.
Pastor Jean sering menerima pemberian dari umat yang datang kepadanya. Tapi dalam waktu singkat, barang-barang ini sudah berpindah tangan ke umat lain yang menurutnya lebih membutuhkan. Ia sering berpuasa, namun cukup sering juga ia tidak makan karena ia tidak lagi memiliki sesuatu untuk dimakan, semua sudah diberikan ke orang lain.
Ketenaran tidak membuatnya bermegah diri, ia malah makin rendah hati. Makin mencintai Tuhan dan menganggap dirinya tak mampu menjalani tugas imamat sebagaimana mestinya. Namun semua orang melihat kesalehannya dan menganggap dia orang kudus.
Pada dini hari tanggal 4 Agustus 1859, didampingi beberapa rekan yang terus berdoa untuknya, ia menghembuskan nafas terakhir kali. Ribuan umat terus berkumpul sejak beberapa hari sebelumnya ketika Pastor Jean tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menerima tamu. Mereka turut berdoa bagi orang kudus yang sangat mereka cintai ini.
Berbagai pengakuan diberikan kepadanya. Paus Pius IX pada tanggal 3 Oktober 1874 menganugrahkan gelar “Pelayan Tuhan yang Terberkati”. Puncaknya pada tanggal 21 Februari 1904, Paus Pius X memberinya gelar Santo.
Ada satu nasihat dari St Jean (Johanes) Marie Vianney yang patut kita ingat. The first thing about the angels that we ought to imitate is their counsciousness of the Presence of God. Berusaha terus menerus menyadari kehadiran Tuhan telah membuat Santo kita ini hidup saleh, tidak mementingkan diri sendiri, selalu ingin menyenangkan orang lain terutama orang miskin, serta tidak bermegah diri.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)