HIDUPKATOLIK.COM – Sebuah surat berisi pertimbangan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan perwakinan beda agama beredar luas hari ini, Sabtu (22/07/2023), di aplikasi pesan WhatsApp.
Surat dua halaman yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut beredar lima hari setelah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Muhammad Syarifuddin, menandatangani Surat Edaran No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Menurut Surat Edaran, atau SEMA, tersebut, para hakim harus berpedoman pada dua ketentuan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
“Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” demikian bunyi SEMA tersebut.
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.”
Meski demikian, surat KWI dan PGI tersebut tertanggal 20 Maret 2023. Ada enam pertimbangan yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia., termasuk “bahwa perkawinan antar-umat beda agama dan kepercayaan adalah sebuah fenomena yang banyak ditemui di tengah masyarakat Indonesia yang plural sehingga memerlukan suatu pedoman bagi hakim dalam memutus permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar-umat beda agama dan kepercayaan demi memberikan kepastian hukum.”
Dalam pertimbangan lainnya, KWI dan PGI mengatakan “bahwa Pasal 28E UUD 1945 menyatakan, ‘Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” sehingga menurut kami, adalah hak dari setiap pasangan antar-umat beda agama dan kepercayaan untuk melangsungkan perkawinan dan memilih berdasarkan tata cara agama atau kepercayaan apa perkawinan itu akan dilangsungkan.”
Selain itu, KWI dan PGI mempertimbangkan “bahwa yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan in casu larangan perkawinan beda agama dan kepercayaan tetaplah pemuka agama, sehingga apabila kedua pasangan tetap berkehendak untuk melaksanakan perkawinan meski salah satu ajaran agama atau kepercayaan dari salah seorang pasangan melarangnya, permohonan penetapan pencatatan perkawinan diberikan dengan syarat salah satu pasangan harus memilih mengikuti tata cara perkawinan salah satu agama atau kepercayaan pasangannya.”
Tidak Kompatibel
Sementara itu, SETARA Institute menegaskan dalam rilis yang dikeluarkan pada Kamis (20/07/2023) bahwa SEMA tersebut secara substantif tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila.
“Fakta obyektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut,” ujar Halili Hasan, direktur eksekutif SETARA Institute.
Selain itu, ia menyebut SEMA tersebut sebagai kemunduran yang menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.
“Sebelumnya, beberapa Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta,” imbuhnya.
Ia juga menyayangkan SEMA tersebut lantaran hal ini menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit. Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif tetapi juga yudikatif.
Seraya menyebut SEMA tersebut sebagai instrumen penyeragaman putusan pengadilan, ia menegaskan bahwa SEMA seharusnya hanya bersifat internal dan mengenai administrasi peradilan, bukan instrumen untuk mengekang kebebasan hakim dalam melakukan pembuktian, memberikan penafsiran, dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya sesuai dengan bukti-bukti dalam due process of law yang digelar di persidangan pada masing-masing pengadilan.
Katharina Reny Lestari