HIDUPKATOLIK.COM – Romo Benny, ada seorang teman yang bertanya kepada saya soal benda-benda rohani yang sudah diberkati, seperti patung Yesus, dan kemudian jatuh dan pecah. Dia bingung bagaimana memperlakukan benda rohani tersebut. Bagaimana sebaiknya kita, umat Katolik, memperlakukan benda rohani yang sudah diberkati namun rusak seperti itu? Apakah kita perlu menguburnya atau membuangnya begitu saja ke tempat sampah?
Rachel, Jakarta
GEREJA Katolik memiliki keyakinan tentang pemberkatan yang disebut sebagai sakramentali. Umumnya orang memahami bahwa pemberkatan hanya dilakukan pada benda-benda rohani. Padahal, sakramentali ini tidak hanya berlaku pada benda-benda rohani tetapi juga pada orang yang diberkati untuk mengemban jabatan atau status tertentu yang diberikan oleh Gereja, termasuk aneka ragam keadaan hidup Kristen (Bdk. KGK 1667). Pemberkatan sakramentali yang menyangkut kehidupan Gereja dan sakramental dilakukan oleh para tertahbis (uskup, imam dan diakon).
Dalam pemahaman iman Gereja, sakramentali tidak memberikan rahmat Roh Kudus seperti yang terjadi pada Sakramen. Meskipun demikian, sakramentali tetap merupakan pemberkatan yang berarti bentuk pengudusan baik bagi benda-benda maupun orang. Konsekuensinya, setiap benda dan orang yang diberkati telah dikuduskan bagi Allah dan perlu diperlakukan dengan hormat sebagaimana benda dan orang telah dipersembahkan kepada Allah.
Namun, orang beriman tidak bisa menghindari bilamana kemudian ada benda-benda rohani rusak, misalnya patung Bunda Maria, Santo-Santa, maupun salib tiba-tiba jatuh karena dipindahkan. Atau rosario putus dan tidak bisa digunakan kembali. Maka, benda-benda tersebut yang sudah dipersembahkan pada Tuhan tidak diperkenankan untuk diperlakukan dengan tidak pantas dan tidak layak bilamana kondisinya sudah tidak baik sebagaimana ditegaskan di Hukum Kanonik Kanon 1171 bahwa “Benda-benda suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi melalui persembahan atau pemberkatan, hendaknya diperlakukan dengan hormat dan jangan dipergunakan untuk pemakaian profan atau yang tidak pada tempatnya, juga jika benda-benda suci itu milik privat.”
Jikalau demikian, “Bagaimana orang beriman memperlakukannya?” Tentu saja, orang beriman tidak bisa membuang benda-benda tersebut ke tempat sampah karena membuang ke tempat sampah di benak orang berarti benda-benda tersebut sudah tidak bermakna atau benda yang sudah tidak lagi berguna padahal benda-benda tersebut telah dikuduskan melalui pemberkatan. Karena itu, bagi orang beriman, benda-benda suci tersebut diperlakukan semestinya sesuai dengan Tradisi Gereja, yaitu diletakkan di sacrarium (sumur suci), tempat penampungan benda-benda rohani yang sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Akan tetapi, jika tidak terdapat sacrarium maka orang beriman bisa mengubur dan membakar benda-benda rohani tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gereja sekitar tahun 1800-an, melalui Kongregasi Suci untuk Ritus dan Perayaan yang kini lebih dikenal sebagai Kongregasi Suci untuk Ibadat dan Tata Tertib Sakramen dan Kongregasi Iman pernah menerbitkan pelbagai ketentuan untuk penanganan benda-benda suci yang telah rusak dan tak terpakai lagi. Sebagai contoh, jika ada piala yang sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi maka piala tersebut tidak diperkenankan untuk dijual, tetapi harus digunakan untuk tujuan suci yang lain atau dilebur. Ketentuan lain berkaitan hal ini adalah penanganan terhadap pakaian liturgi yang telah rusak dan tidak terpakai lagi yaitu harus dihancurkan. Kemudian, air suci yang telah diberkati jika tercemar harus dituangkan ke dalam tanah. Pohon palem jika tidak dalam keadaan yang kurang baik maka harus dibakar dan abunya dibagikan pada perayaan Rabu Abu atau dikembalikan ke tanah. Dan jika ada rosario dan patung religius yang rusak maka harus dikuburkan.
Akhirnya, hal yang utama hendak ditekankan oleh Gereja sesuai dengan iman adalah bahwa apa yang telah dipersembahkan kepada Tuhan perlu dihargai, dihormati, dan tidak diperlakukan “semau gue.” Benda-benda religius, semua yang diberkati itu bagi iman Katolik menjadi sarana “menyiapkan hati manusia untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan” (SC 60).
Pengasuh: Romo Yohanes Benny Suwito, Dosen di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya dan Universitas Widya Mandala Surabaya
HIDUP, Edisi No. 28, Tahun Ke-77, Minggu, 9 Juli 1923