St. Lorenzo Giustiniani: Utang Iman Patriakh Pertama Venesia

107
St. Lorenzo Gustiniani Patriakh Venesia memberkati umat beriman di depan Katedral Venesia. https://arthive.net/

HIDUPKATOLIK.COM – Ia terus menolong orang-orang miskin meskipun kadang-kadang membuat dia harus berhutang pada orang lain. Ia percaya penuh pada penyelenggaraan Ilahi: “Tuhan yang maha agung yang akan melunaskan utang-utangku”.

SEMANGAT berkobar-kobar di dalam hati seorang remaja yang bercita-cita melayani Tuhan. Kesucian hidup sudah menjadi tujuan jalan hidupnya. Sekali peristiwa ia mendengar suatu suara ajaib berkata: “Ketentraman batin yang engkau dambakan hanya ada di dalam Aku, Tuhanmu.” Suara ini semakin memacu dia untuk lebih dekat pada Tuhan. Sejak saat itu segala hal duniawi tidak berarti baginya. Tuhanlah satu-satunya yang mengisi relung-relung hati remaja tersebut.

Remaja itu ingin meminta nasihat dan pergi menemui pamannya, Marino Quierini, yang adalah seorang imam di biara San Jorge yang berjarak 1 km dari Venesia. Atas saran pamannya, remaja itu akhirnya menguji dirinya sendiri dengan meninggalkan kehormatan, kekayaan, dan kenikmatan dunia. Di sisi lain, ia harus merasakan kekerasan penderitaan, puasa, dan penolakan. Setelah menjalani semua itu dan setelah menyelesaikan meditasinya, remaja itu sungguh bertekad untuk mengabdikan hidupnya di jalan Kristus. Desakan orang tuanya untuk mengakhiri masa lajangnya pun tidak lagi digubrisnya. Satu-satunya pilihan bagi dia adalah mengikuti Kristus yang tersalib. Kepada Yesus, ia berdoa: “Engkaulah ya Tuhan satu-satunya cita-citaku.”

Jadi Pengemis

Lorenzo lahir di Venice 1 Juli 1381. Ayahnya, Bernardo Giustiniani, adalah keturunan dari kalangan bangsawan terkenal dari golongan republik dan ibunya pun tidak jauh berbeda. Bernardo meninggal dunia secara tiba-tiba, dan meninggalkan istri yang sangat muda menjadi seorang janda dengan banyak anak-anak yang masih kecil. Istrinya tidak gentar dan berani dalam melanjutkan hidup keluarga mereka. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat dan mendidik anak-anak mereka, tentang amal kasih dan kebajikan.

Lorenzo sejak lahir dibesarkan dengan kelembutan yang luar biasa dan kemurahan hati yang tulus. Ibunya memberikan perhatian khusus dalam merawatnya. Namun karena takut Lorenzo akan menjadi anak yang besar kepala, ambisius, dan sombong, terkadang ibunya menegur dia dengan kasar karena tidak ingin terjadi hal-hal di luar jangkauannya. Namun Lorenzo tidak sombong dan ambisius, sejak kecil ia memendam keinginan untuk menjadi kudus.

Sejak masa remajanya kesucian hidup sudah menjadi cita-cita yang terus membakar hatinya. Ia sangat ingin melayani Tuhan. Ketika ia berusia sembilan belas tahun ia merasa panggilan Allah untuk mengabdikan dirinya semakin kuat terutama untuk pelayanan, dan atas wahyu ilahi, dirinya sepenuhnya menenggelamkan diri akan pengetahuan dan kasih Allah. Kekuatan tekad Lorenzo untuk mengikuti jalan salib ditunjukkan dalam bagaimana ketatnya ia memperlakukan tubuhnya dan mendedikasikan pikirannya dalam urusan agama.

Lorenzo masuk biara kanonik dari Santo Joris di pulau Alga. Di sanalah ia hidup lebih dekat dengan Tuhan dalam matiraga, doa, dan pekerjaan harian. Hanya satu kali ia pulang kembali ke kampung halamannya, yaitu ketika mendengar kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Maka ia kembali ke kampung halamannya untuk berduka. Setelah masa berduka selesai, kemudian Lorenzo kembali lagi ke dalam biara.

Di dalam biara Lorenzo memiliki tugas dan kewajiban harian di samping hidup dalam doa. Pekerjaan yang ditugaskan untuk dilakukannya ialah mengemis-ngemis makanan di kota untuk seluruh penghuni biara. Tanpa merasa malu dan terbebani, sebaliknya tugas ini dilaksanakannya dengan penuh kegembiraan dan kesabaran demi Yesus yang tersalib.

Suatu hari, ia diminta pergi ke kotanya dan meminta-minta sumbangan bagi biaranya. Ini mungkin juga sebuah ujian yang sengaja diberikan oleh para pemimpin biara bagi putra bangsawan ini. Laurensius tanpa ragu-ragu pergi ke kota untuk mengemis. Ia tahu bahwa derma uang ataupun barang akan berguna bagi karya Tuhan. Ia bahkan mengetuk pintu rumahnya sendiri dan meminta derma.

Ibunya dengan berlinang airmata membujuknya untuk meninggalkan biara. Tapi karena Laurensius dengan tegas menolak maka sang ibu kemudian berusaha mengisi kantongnya dengan banyak uang dan makanan agar anaknya dapat segera pulang ke biaranya dan tidak perlu mengemis lagi. Laurensius hanya menerima uang secukupnya dan dua potong roti, lalu pergi ke rumah sebelah untuk meminta derma lagi. Dengan demikian, ia belajar bagaimana mengikis egonya dan mempraktekkan penyangkalan diri. Imannya semakin tumbuh dalam kasihnya kepada Tuhan.

Pada tahun 1406, Lorenzo ditahbiskan menjadi imam. Ini adalah buah dari semangat dan pengharapan dan pengetahuannya yang mendalam tentang hal-hal rohani dan jalan-jalan kebajikan serta pendalaman jiwa Tak lama setelah ditahbiskan, ia diangkat menjadi pengajar dan pengaku iman di San Jorge, untuk mengajarkan para muridnya tentang menanamkan kerendahan hati yang tulus dan nilai-nilai kemanusiaan.

Patriakh Venesia

Dua puluh tujuh tahun kemudian, tahun 1433, Lorenzo diangkat oleh Paus Eugene IV menjadi Uskup di Kastello. Administrasi keuskupan dipercayakan kepada orang lain dengan maksud agar dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pelayanan dan pemeliharaan umatnya. Dalam kebesarannya ia tetap seorang Uskup yang sederhana dan rendah hati. Ia memberikan pengabdian yang tulus kepada Allah dan juga melakukan kegiatan amal kasih untuk orang miskin. Ia terus menolong orang-orang miskin meskipun kadang-kadang membuat dia harus berhutang pada orang lain. Ia percaya penuh pada penyelenggaraan ilahi: “Tuhan yang maha agung yang akan melunaskan utang-utangku”. Lorenzo yang saleh ini kemudian diangkat menjadi Patriakh pertama di Venesia.

Ketika merasa ajalnya sudah dekat, Lorenzo tidak mau hanya berbaring di atas tempat tidur yang empuk. Ia menyuruh pembantu-pembantunya agar membaringkan dia di atas papan yang biasa digunakannya. Banyak karya tulis yang sudah dibuatnya. Dalam usia 74 tahun ia menulis karya terakhirnya yang berjudul “Degrees of Perfection”.

Dua hari setelah menerima sakramen pengurapan minyak suci, sebagian besar warga datang ke kamarnya, tidak peduli status sosial mereka, untuk meminta berkatnya. Kepada Marcelo, murid muda kesayangannya, sambil tersedu-sedu, Lorenzo menyampaikan pesan terakhirnya, bahwa ia memang pergi terlebih dahulu, tetapi kamu akan mengikuti saya segera di Paskah berikutnya dan kita akan bertemu lagi. Dan betul saja terjadi yaitu Marcelo muda sakit pada awal Prapaskah dan dimakamkan di minggu Paskah.

Lorenzo meninggal pada tanggal 8 Januari 1455. Ketika ia meninggal dunia, jenazahnya disemayamkan selama dua bulan lamanya di dalam kapel biara. Badannya tidak rusak bahkan menyemburkan bau harum yang sangat semerbak bagi setiap pengunjungnya.

Menjelang ajalnya, Laurenzo menolak berbaring di tempat tidur yang nyaman. “Tidak boleh demikian!” serunya dengan rendah hati. “Tuhanku terentang di kayu yang keras serta menyakitkan.”

Lorenzo di beatifikasi pada tahun 1524 oleh Paus Clement VII, Santo Lorenzo dikanonisasi pada 16 Oktober 1690 oleh Paus Alexander VIII . Pestanya dirayakan pada tanggal 5 September , hari dimana ia menerima penahbisan uskup .

Yustinus Hendro Wuarmanuk

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini