Sempat Menolak, Kini Menghasilkan Buah Berlimpah

219
Mgr. Hilarion Datus Lega berjalan menuju gereja stasi jelang tahbisan imam. (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

HIDUPKATOLIK.COMMgr. Hilarion Datus Lega tak pernah bermimpi bahwa ia akan terpilih sebagai Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong di Tanah Papua.

HERAN. Kaget. Rasa ini berkecamuk di benak Romo Hilarion Datus Lega, seorang imam diosesan Keuskupan Ruteng di Pulau Flores, ketika ia dipanggil dan diberitahu oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia bahwa ia terpilih sebagai uskup. Kala itu pertengahan Juni 2003.

“Saya heran. Kenapa (saya)? Karena uskup saya – Mgr. Eduardus Sangsun, SVD – masih hidup. Lalu saya jadi uskup di mana?” kenangnya.

Ia begitu menghormati Mgr. Eduardus yang pernah menjadi gurunya.

Setelah membaca surat pengangkatan sebagai uskup, ia menemukan jawaban. Ternyata ia terpilih sebagai uskup Keuskupan Manokwari-Sorong. Spontan ia menolak. Tetapi Duta Besar saat itu berusaha meyakinkannya dan memintanya untuk membaca kembali surat tersebut dengan lebih teliti. Ada tertulis tentang ketaatan suci.

Mgr. Hilarion Datus Lega menyalami anak-anak. (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

 

Ketika ia diminta untuk memberi jawaban saat itu juga, sekali lagi ia menolak. Alasannya, ia perlu sejenak berpikir. Dan setelah membuat kesepakatan dengan Duta Besar, ia memberi jawaban tertulis pada tanggal 23 Juni.

Kesepakatan lain tentang tanggal pengumuman pengangkatannya juga dibuat. Usulannya agar pengumuman dilakukan pada tanggal 29 Juni, bertepatan dengan Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus.

Namun ini bukan akhir percakapannya dengan Duta Besar. Satu pertanyaan menggelitik di benaknya. Dalam Bulla, atau Surat Keputusan (SK), tentang pengangkatannya tertulis bahwa ia diangkat sebagai uskup pada tanggal 12 Juni.

“Saya punya SK tanggal 12 Juni. Sedangkan saya diberitahu tanggal 16 Juni. Bagaimana kalau saat itu saya tidak mau? Diapakan SK ini?” kenangnya.

Berpikir Positif

Pengalaman membantu para uskup selama sekitar sembilan tahun tak pernah membuatnya bermimpi menjadi uskup. Memang ia pernah menjalankan tugas di Tanah Papua, khususnya di Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, dan Keuskupan Timika. Ia sering mengikuti rapat dan animasi Aksi Puasa Pembangunan (APP) Nasional serta mendampingi retret. Ia juga beberapa kali membawa bantuan untuk korban bencana alam. Tapi cita-citanya adalah kembali ke keuskupannya.

Selain itu, sebagai pendatang, ia merasa tugas uskup di Tanah Papua tidak mudah. Ia belum begitu mengenal wilayah tersebut. Namun ia mencoba melakukan pendekatan positive thinking.

“Saya orang yang amat berpikir positif mengenai keadaan dan orang. Saya beri contoh begini, kalau ada orang, saya menilai dia. Saya punya kebiasaan saya menilai dia yang baik. Baiknya apa. Lalu ketika saya mencari yang jelek, sudah tidak ada lagi. Karena sudah baik semua. Sama seperti keadaan. Kalau keadaan kita mengeluh, sebagian dari kesempatan untuk melihat dari cara pandang yang lain sudah hilang. Kecuali negatif-negatif saja,” ujarnya.

Beruntung bahwa ia berasal dari keluarga lintas-wilayah. Ayahnya berasal dari Manggarai, sementara ibunya berasal dari Timor Leste. Ia sendiri lahir di Kupang. Sehingga by birth and by nature, ia sudah terbiasa dengan iklim yang berbeda.

Terlebih saat menjadi imam diosesan, ia pernah mengenyam pendidikan di Irlandia dan Jerman. Tiga pelajaran pokok yang diperolehnya adalah bahwa ia dikirim untuk belajar dan menjadi sukses, ia harus menguasai bahasa Inggris, dan ia harus menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk kedua hal tersebut.

Nunc Et Pro Tunc

Banyak uskup merayakan tahbisan episkopal pada hari ketika mereka ditahbiskan sebagai uskup. Lain halnya dengan Mgr. Datus Lega. Ia justru memilih tanggal pengumuman pengangkatannya sebagai uskup, yakni tanggal 29 Juni.

“Saya diberitahu oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia: ‘Kamu itu nunc et pro tunc.’ Artinya, pada saat kamu diumumkan jadi uskup, kamu sudah uskup meskipun belum ditahbiskan. Dan Mgr. Fransiscus Xaverius Sudartanta Hadisumarta, OCarm – sejak kamu setuju menjadi uskup pada tanggal 29 Juni – gugur sebagai uskup,” kenangnya.

Mgr. Hadisumarta mengundurkan diri pada usia 70 tahun, atau lima tahun lebih awal dari usia pensiun sebagai uskup, karena alasan kesehatan. Ia meninggal pada tanggal 12 Februari 2022.

Sekitar tiga bulan setelah pengumuman, tepatnya pada tanggal 7 September, Mgr. Datus Lega ditahbiskan sebagai uskup. Saat itu ia berusia 46 tahun. Motto penggembalaan yang dipilihnya adalah Nomen Tuum Glorificetur (Dimuliakanlah Nama-Mu).

Tantangan menghampirinya tak lama kemudian. Ia harus menghadiri rapat tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Padahal ia belum mengenal banyak hal tentang Keuskupan Manokwari-Sorong.

“Uskup baru tidak tahu keadaan keuskupannya. Malu. Maka saya terbang ke semua (tempat). Saya terbang ke Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Manokwari untuk mendapat gambaran awal meskipun serba singkat. Kontur keuskupan seperti apa. Kalau tidak kan aneh. Uskup diosesan, jangan lupa ya, bukan uskup auksilier atau koajutor. Memang sudah jadi uskup,” kenangnya.

Buah Berlimpah

Tahun ini genap 20 tahun Mgr. Datus Lega diangkat sebagai uskup untuk Keuskupan Manokwari-Sorong. Bukan waktu yang singkat. Banyak pelayanan dan karya telah dilakukan dan dihasilkannya bagi para imam, biarawan dan biarawati serta umat awam di keuskupan tersebut.

Salah satunya terkait jumlah paroki. Saat ia mulai berkarya, Keuskupan Manokwari-Sorong hanya memiliki 16 paroki. Kini ada 30 paroki dan satu pra-paroki. Mereka terbagi dalam tujuh Tim Pastoral Wilayah (TPW), yakni Sorong, Manokwari, Fakfak, Maybrat, Bintuni, Kaimana, dan Aimas.

Mgr. Hilarion Datus Lega mengerjakan tugas di kantornya. (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

 

TPW merupakan istilah khas untuk Keuskupan Manokwari-Sorong. Pada umumnya, keuskupan-keuskupan lain di Indonesia memakai istilah dekenat, sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik. TPW terdiri atas para pastor paroki dan dikoordinasi oleh seorang pastor sebagai ketua. Tugas dan tanggung jawab ketua TPW tidak berbeda dengan tugas dan tanggung jawab seorang deken.

Paroki tertua adalah Gereja St. Agustinus di Manokwari. Paroki ini berdiri pada tanggal 28 Agustus 1937. Sedangkan paroki termuda adalah Gereja St. Monika di Kaimana, yang berdiri pada tanggal 27 Agustus 2017. Sementara pra-paroki adalah Gereja St. Ambrosius di Suswa, yang berdiri pada tanggal 7 Desember 2018.

Saat ini jumlah umat Katolik di Keuskupan Manokwari-Sorong mencapai sekitar 80.000 orang, atau sekitar 10 persen dari jumlah penduduk yang ada di wilayah keuskupan. Sekitar 82 imam diosesan, Ordo St. Agustinus (OSA), Serikat Sabda Allah (SVD), Ordo Karmel (OCarm), dan Kongregasi Misi (CM) melayani keuskupan tersebut.

Begitu pula puluhan bruder dan biarawati dari berbagai kongregasi, seperti OSA, SVD, OCarm, dan CM serta Kongregasi Suster-Suster St. Fransiskus (OSF), Kongregasi Suster Ordo St. Agustinus (OSA), dan Kongregasi Suster-Suster Dina St. Yoseph (DSY), Kongregasi Pengikut Yesus (CIJ), Tarekat Maria Mediatrix (TMM), Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus (CB), Kongregasi Suster St. Perawan Maria (SPM), Kongregasi Puteri Kasih (PK), Kongregasi Suster-Suster Jesus Maria Joseph (JMJ), dan Kongregasi Suster Fransiskanes dari St. Georgius Martir (FSGM).

Rencananya, peringatan 20 tahun pengangkatan sebagai uskup akan dihadiri oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia saat ini, Mgr. Piero Pioppo. ”Duta Besar Vatikan tanya saya: ‘Kenapa kamu undang saya, sementara kamu ditahbiskan tanggal 7 September?’ Saya bilang ceritanya panjang,” katanya, sambil tersenyum.

Bagi Mgr. Datus Lega, pengangkatannya sebagai uskup merupakan sebuah tonggak. Alasannya sentimental. Ia tidak pernah bermimpi menjadi uskup. Apalagi uskup untuk Keuskupan Manokwari-Sorong, karena ia adalah seorang imam diosesan Keuskupan Ruteng.

Katharina Reny Lestari (Dari Sorong, Papua Barat Daya)

HIDUP, Edisi No. 25, Tahun Ke-77, Minggu, 18 Juni 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini