Agar Liburan Lebih Bermakna, Apa yang Perlu Dilakukan

268
St Mary's Cathedral

HIDUPKATOLIK.COM – TADI malam saat santap bersama keluarga di salah satu rumah makan, telinga ini mendengar perbincangan di meja sebelah. “Iya besok kami sekeluarga akan berangkat ke Bangkok” suara seorang bapak. “Ooo naik pesawat apa?” tanya rekan si bapak. “Kami kali ini sedikit berpetualang. Naik pesawat ke Batam, lanjut ferry ke Singapore. Nah dari Singapore kami naik bus, menyusur Malaysia lanjut ke Bangkok.” Dalam hati saya bergumam, bakal seru ni liburan keluarga si bapak.

Siang harinya, saya sempat berkontak WA dengan tiga orang teman. Seorang menjawab: “Maaf pak, saya sedang di Bandung”. Seorang lain merespons: “Wah boleh digeser ke minggu depan? Saya masih di luar kota”. Yang ketiga menulis: “Nanti ya Pak, Sabtu saya baru pulang”.

Ya ternyata liburan sekolah/kuliah sudah tiba. Betapa senang keluarga-keluarga bisa berlibur bersama. Banyak yang ke luar kota, tak kurang yang memilih melancong ke luar negeri. Liburan kali ini memang lebih spesial. Karena masa pandemi dapat dibilang sudah berlalu, tidak lagi menjadi momok seperti halnya tiga tahun terakhir. Laksana sumbat pipa air bertekanan yang baru lepas, demikianlah banyak keluarga-keluarga melepas dahaga menikmati liburan.

Namun saya teringat satu perbincangan singkat dengan Romo Hadi Suryono, Kepala Paroki Alam Sutera, Tangerang Selatan, di ruang sakristi saat menunggu mulainya Misa. Saat itu saya bertanya mengenai tema majalah paroki edisi Juli. Matanya langsung berbinar dan suaranya penuh semangat, pertanda pesan yang akan beliau sampaikan sungguh penting. Beliau berkata: “Bulan Juli kan masa liburan sekolah. Pasti banyak keluarga-keluarga memilih berlibur pergi berwisata jauh dari rumah. Sungguh baik bila umat diingatkan, selama liburan jangan melupakan kegiatan rohani. Hendaklah tetap berdoa bersama. Tidak melewatkan Misa Minggu. Lalu usahakanlah berkunjung ke tempat-tempat ziarah. Ajaklah anak-anak untuk tetap dekat dengan Tuhan”

Saat itu, sel-sel memori di otak, mengeliat memunculkan beberapa kejadian di masa lalu.

Pernah kami bertiga dijuluki orang suci, hanya karena kami memilih menghadiri Misa Minggu ketimbang jalan-jalan menikmati Hong Kong. Saat itu kami, para manager sebuah perusahaan, diberi “hadiah” berupa  acara bebas sebelum sore hari menuju Makau untuk mengikuti rapat tahunan. Rombongan kami ada lebih dari seratus orang, mayoritas sebenarnya katolik. Namun memang hanya tiga orang yang pagi itu memilih menghadiri Misa Minggu di Katedral Hong Kong. Sedangkan teman-teman lain memilih berkunjung ke tempat-tempat wisata terkemuka.

Saya bersyukur memilih ikut Misa, karena mengalami satu hal unik. Saat penerimaan komuni kudus, dari kursi saya melihat romo berdiri di depan koridor tengah. Ini biasa. Namun saya melihat ada dua prodiakon yang berdiri memegang piala berisi Darah Kristus di ujung kiri dan kanan gereja. Jadi  kami maju menuju romo dan menerima Tubuh Kristus, namun tidak langsung disantap. Sambil membawa Tubuh Kristus, kami melanjutkan berjalan menuju prodiakon yang memegang piala, mencelupkan Tubuh Kristus ke dalam Darah Kristus, baru kami santap. Ya, kami menerima komuni dalam dua rupa, dengan cara yang unik. Tak pernah terulang dalam Misa di manapun.

Peristiwa lain, saat kami tiga pasutri berlibur bersama ke Medan, Penang, dan Kuala Lumpur. Kami sepakat di setiap kota, kami akan berkunjung ke salah satu gereja setempat. Jadilah sewaktu di Medan, kami bisa ikut Misa Minggu di Katedral Medan. Sayangnya gereja di Penang dan Katedral Kuala Lumpur tidak buka, sehingga kami tidak bisa masuk gereja. Hanya dari luar pintu gereja kami berdoa. Namun ada yang menarik saat kami mencari Katedral Kuala Lumpur.

Mengintip googlemap, kami menemukan dua katedral yakni St Mary’s Cathedral dan Cathedral of St John the Evangelist.  Tentunya kami harus memilih dan pilihan saya jatuh pada St Mary’s Cathedral, karena gereja ini memakai nama Santa Maria.

Pagi itu, berjalan kakilah kami dari hotel. Setelah hampir satu jam, sambil terus dipandu oleh Maps, kami tiba di lokasi  dengan keringat yang mengucur deras. Kami menjumpai sebuah gereja tua,  ada angka 1894 yang nampak jelas tertera di dinding luar. Bangunannya kecil saja dan seperti agak kurang terawat. Cat dinding banyak yang memudar, sebagian plester dinding ada yang mengelupas. Pagi itu pintu pagar  tertutup sehingga kami tidak dapat masuk halaman gereja. Suasana sepi, tak ada seorang pun yang dapat kami tanyai. Saya mulai ragu, jangan-jangan ini bukan gereja katolik.

St. John the Evangelist’s Cathedral

Setelah berdoa dari luar pagar, akhirnya kami sepakat untuk berjalan kaki lagi menuju katedral satunya. Jarak kedua katedral memang hanya sekitar satu km saja. Singkat cerita, kami tiba di katedral milik Gereja Katolik, Cathedral of St John the Evangelist. Sayang gereja sedang ditutup untuk keperluan renovasi. Namun kami sempat berdoa di gua Maria yang letaknya di sebelah pintu gerbang.

Tempat berdevosi kepada Bunda Maria yang terletak di halaman St John the Evengelist’s Cathedral

Saya bersyukur karena memiliki kebiasaan mengikuti Misa kemana pun bepergian, baik saat sedang liburan bersama keluarga maupun saat dalam perjalanan dinas. Kalau pun bukan hari Sabtu/Minggu, saya tetap tertarik dan berusaha mencari dan mengunjungi gereja katolik untuk berdoa dan mohon berkat pendampingan Tuhan.  Selalu ada perasaan damai dan sukacita ketika boleh memasuki suatu gereja untuk pertama kali. Boleh menyapa Tuhan dan Bunda Maria. Saya bersyukur karena diberi kesempatan memuji dan memuliakan Tuhan.

Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini