Gelar Aksi Gowes ke Lokasi “Kamisan” di Depan Istana Presiden, Mahasiswa STF Driyarkara Ikut Menolak Lupa Reformasi

201

HIDUPKATOLIK.COM – Para mahasiswa SFT Driyarkara ‘mewarnai’ Dies Natalis ke-54 dengan cara yang tidak biasa tahun ini. Memperingati 25 tahun Gerakan Reformasi, pada hari Kamis, 4 Mei 2023 lalu, mereka menggelar aksi gowes dari kampus di bilangan Rawasari, Jakarata Pusat menuju Istana Presiden di kawasan Monas. Mereka bergabung dalam “Aksi Kamisan” untuk menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti Tragedi Semanggi 1 & 2, Tragedi Trisakti, Tragedi Tanjung Priok, dan tragedi lain.

Romo Franz Magnis-Suseno, SJ menyampaikan orasi.

Aksi Kamisan ini biasanya dimulai pukul 16.00 – 17.00 WIB setiap hari Kamis petang sejak tanggal 18 Januari 2007. Orang-orang akan datang ke seberang Istana Presiden dan mulai berdiam diri, menggunakan payung hitam, dan (umumnya) menggunakan pakaian hitam. Aksinya ya diam, karena sudah merasa lelah untuk berteriak-teriak menuntut keadilan. Sebagai manusia agaknya seluruh energi sudah habis tercurah semua hanya untuk menuntut sesuatu yang ternyata tidak dipedulikan atau bahkan mungkin tidak didengarkan. Maka aksi yang dipilih dalam beberapa menit pertama adalah berdiam diri menghadap Istana Presiden. Setelah sekitar setengah jam, barulah orang-orang yang hadir membentuk lingkaran dan membagikan refleksi. Dalam acara berbagi refleksi ini banyak kasus-kasus baru yang juga diusung selain kasus-kasus besar pelanggaran HAM yang sudah terjadi di masa lalu.

Aksi Kamisan biasanya akan tetap dilakukan sekalipun hujan deras mengguyur atau panas yang seakan membakar tubuh. Mengapa sampai demikian? Karena ada kerinduan dan kekukuhan dalam diri setiap orang yang ikut aksi bahwa keadilan itu mesti digapai sesulit apapun hambatannya.

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang ikut dalam aksi ini bukan membenci pemerintahan. Orang-orang yang ikut aksi ini hanyalah orang-orang yang haknya terenggut atau orang-orang yang berbela rasa demi keadilan itu. Tugas semua warga Indonesia menegakkan keadilan secara khusus pemerintah. Lalu mengapa pemerintah seolah melupakan kasus-kasus pelik di masa lalu? Itu yang dituntut oleh orang-orang yang terlibat dalam aksi ini, tiada yang lain. Mereka hanya menginginkan keadilan.

Pesan Karlina dan Prof Magnis

Sebelum para mahasiwa gowes, dua dosen STF Driyarkara menyampaikan orasi di halaman Kampus STF Driyarkara. Mereka adalah Dr. Karlina Supelli dan Prof Franz-Magnis Suseno, SJ.

Karlina berpesan lewat orasinya kepada seluruh mahasiswa bahwa para mahasiswa mestinya sadar akan eksistensinya dan esensinya sebagai mahasiswa. Mahasiswa harus berani keluar dari zona nyaman dan lingkungan kampusnya untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan demi kepentingan bersama.

Menurut Karlina, keadilan harus menjadi nilai tertinggi yang harus diperjuangkan. Ia juga meminta kepada seluruh mahasiswa untuk tetap berjuang dan semangat demi kemajuan Indonesia.

Pesan Kalina ini memantik semangat para mahasiswa untuk semakin menunjukkan aksinya baik lewat intelektual maupun aksi nyata di tengah masyarakat.

Prof. Franz Magnis-Suseno juga membagikan beberapa hal tentang kekhawatirannya saat berorasi. Ia berkata bahwa demokrasi kita memang dalam bahaya. Bahaya yang dimaksud ialah jatuh pada oligarki, yang seharusnya mewakili rakyat tidak mewakili rakyat, tetapi mewakili kepentingannya sendiri dan komunitasnya. Sehingga kaum yang miskin akan tetap miskin bahkan lebih miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Terjadi kesenjangan antar masyarakat.

Menurut Prof Magnis, hal ini sungguh-sungguh mengkhawatirkan. Sebab jika sistem oligarki berkembang, maka perlahan keadilan itu akan dikesampingkan. Tidak ada lagi yang dapat mencicipi keadilan itu bahkan sampai ke penerus bangsa ini kelak.

Maka, menurut Prof Magnis, penting untuk mengambil langkah untuk membongkar dan merongrong potensi kejahatan itu.

Lewat aksi ini, para mahasiswa STF Driyarakara ingin menunjukkan kepedulian mereka terhadap korban atau keluarga korban yang tidak mendapatkan haknya.

Diam, mungkin sebagai bentuk ungkapan bahwa mereka sudah kehabisan energi untuk berteriak untuk memperoleh keadilan. Bisa juga sebagai bentuk yang menggambarkan bahwa pemerintah diam tidak mau tahu dengan tuntutan mereka.

Apapun itu, mereka tetap konsisten untuk tetap hadir setiap Kamis menuntut keadilan itu, sekalipun hanya dengan diam.

Laporan Fr. Daniel Natalius Munthe, SX (Mahasiswa STF Driyarkara)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini