Dari Laporan Survei Nasional: Intoleransi Perlu Menjadi Perhatian Serius

236

HIDUPKATOLIK.COM – Menarik mempelajari Laporan Survei Nasional tentang Kekerasan Ekstrem, Toleransi dan Kehidupan Beragama di Indonesia yang diluncurkan pada 4 Mei 2023 di Jakarta.  Penelitian ini mengambil 1550 responden mayoritas dengan populasi  WNI berusia17 tahun atau lebih. Oversample dilakukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menurut USAID, 2020, Kekerasan Ekstrem adalah kegiatan mengadvokasi, terlibat dalam, mempersiapkan, atau mendukung kekerasan berdasarkan ideologi untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan politik.  Penelitian di tingkat publik ini memberi masukan perihal sikap publik  terhadap Kekerasan Ekstrem (KE), Organisasi KE (OKE), dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap tersebut.  Survei menunjukkan bahwa dukungan pada KE tampak lebih tinggi pada kelompok usia di bawah 40 tahun, usia produktif yang sangat relevan dengan kondisi Bonus Demografi yang dihadapi oleh Indonesia. Ini perlu mendapat perhatian besar karena golongan inilah yang akan menentukan keberhasilan Indonesia di masa mendatang.

Intoleransi secara signifikan meningkatkan dukungan pada OKE. Artinya, semakin intoleran yakni memiliki kelompok yang tidak disukai dan keberatan jika kelompok tersebut memperoleh hak sebagai warga negara, maka cenderung mendukung OKE. Peran media sangat penting di sini, terutama berkaitan dengan kelompok usia muda di atas, dimana mereka tak dapat lepas dari media baru dalam berinteraksi. Akses media secara signifikan mempengaruhi dukungan pada OKE. Dibandingkan dengan pengakses internet, responden yang mengakses media konvensional cenderung rendah dukungannya pada OKE. Sebaliknya, mereka yang lebih banyak mengakses internet cenderung mendukung OKE.

Khotbah di Medsos

Dalam beberapa diskusi lintas agama disebutkan bahwa khotbah agama telah banyak dilakukan melalui media sosial dan begitu mudah diakses oleh kaum muda. Bedanya dengan khotbah di rumah ibadah adalah karena melalui media sosial tak ada filter layaknya berita yang ditayangkan di media kovensional (TV, Radio, Koran/Majalah). Akibatnya, persepsi dalam menangkap pesan rohani dapat saja berbeda atau bahkan salah dalam pemahamannya. Positifnya, media sosial penggunaannya praktis dan memberikan banyak pilihan akses untuk masyarakat. Publik mengakses bermacam informasi melalui beragam media. Televisi paling banyak diakses untuk informasi tentang agama dan politik, kemudian YouTube, Facebook, dan WhatsApp Group.  Dengan adanya media baru, maka tayangan televisi dan berita dari media cetakpun dapat langsung diakses masyarakat selama 24 jam dimanapun berada.

Berdasarkan Sullivan, Piereson, & Marcus, 1993, Intoleransi digambarkan sebagai kesediaan atau tidaknya seseorang dalam memberi kesempatan bagi kelompok lain untuk memperoleh hak-hak dasar warga negara, politik, dan agama, bahkan ketika orang tersebut tidak setuju dengan keyakinan, cara berpikir, dan tindakan kelompok. Mayoritas responden mengaku tidak ada kelompok agama yang tidak disukai, sedangkan 36% tidak suka pada kelompok agama tertentu.

 

Membangun jejaring lintas iman penting dalam mempromosikan keberagaman.

Di antara yang tidak suka, lebih ditujukan kepada Aliran Kepercayaan dan Kristen. Aliran kepercayaan merupakan ‘agama’ asal dari penduduk Indonesia. Sedangkan agama Katolik masuk urutan ke 5 setelah Buddha. Di antara responden yang tidak suka pada salah satu kelompok agama, umumnya merasa keberatan jika anggota kelompok tersebut menjadi bupati/walikota, membangun tempat ibadah, menjadi guru sekolah negeri, mengadakan acara keagamaan, atau tinggal di sekitar mereka.

Intoleransi secara signifikan meningkatkan dukungan pada KE dan OKE.  Di antara tiga jenis kelompok (agama, etnis, dan minoritas sosial), paling banyak yang menyatakan ketidaksukaan pada kelompok minoritas sosial. LGBT paling tidak disuka, kemudian Komunis, Ateis, dan Syiah. Dalam hal sistim politik, publik menunjukkan dukungan kuat terhadap demokrasi. Mayoritas puas dengan jalannya demokrasi di negeri ini, dan menilai bahwa dibandingkan sistem pemerintahan lain, demokrasi dianggap terbaik. Kepuasan kepada Joko Widodo sebagai presiden tergolong tinggi, 71.5%.

Strategi Penta-helix

Intoleransi perlu menjadi perhatian dan diselesaikan secara bersama oleh setiap unsur masyarakat. Strategi Penta-helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, badan usaha, masyarakat dan komunitas termasuk lembaga-lembaga keagamaan serta media perlu memiliki komitmen dan program-program realistis disertai evaluasi dan monitoring yang berkesinambungan. Kekurangtegasan dalam hal ini masih seringkali tampak diantaranya penutupan patung Bunda Maria di Yogyakarta yang viral di media sosial serta penghentian paksa ibadah Gereja di Lampung. Perlu lebih banyak forum lintas kepercayaan/lembaga untuk memahami sikap demokrasi dalam bentuk yang lebih spesifik, seperti kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan partai politik. Selain itu, Lembaga Pendidikan mulai dari PAUD perlu memperkuat materi kebhinekaan, disamping juga memperluas program Pendidikan kemasyarakatan dan keagamaan untuk meningkatkan interaksi antar agama. Secara bersama juga memelihara budaya gotong royong kepada kaum muda seperti Mapalus di Sulawesi Utara.

Organisasi keagamaan harus secara aktif mengomunikasikan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang menarik bagi kaum muda. Pesan-pesan toleransi digaungkan dalam berbagai konsep dan tampilan menarik khususnya secara online. Kemampuan dalam menggunakan media sosial sangat perlu diimbangi dengan keterampilan menulis dan membuat konten yang bersahabat guna mengimbangi materi hoax atau provokasi. Perguruan Tinggi seyogyanya mengembangkan bentuk penelitian dan kajian-kajian yang mendukung upaya meretas ekstremisme kekerasan di Indonesia dalam segala bentuk termasuk masalah gender.

Peluang mengikuti forum-forum lintas agama/organisasi internasional sangat terbuka di masa kini.

Akhirnya, menyambut tahun politik Gereja dan lembaga-lembaga Katolik perlu mempersiapkan kader-kader yang siap untuk menjadi pemimpin nasional, terlibat dalam forum-forum skala nasional maupun internasional. Elaborasi dalam pertukaran pelajar/mahasiswa/guru bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, sehingga kaum muda berani mengambil peluang dalam kepemimpinan publik seperti Komisi Penyiaran Indonesia, HAM, Dewan Pengawas Lembaga-lembaga publik termasuk di tingkat kecamatan, kelurahan, RW, RT.  Melalui partisipasi tersebut kita turut mengambil keputusan, mempengaruhi kebijakan serta berjejaring secara lebih terbuka.

Oleh Mathilda AMW Birowo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini