HIDUPKATOLIK.COM – Romo Kris, saya mau bertanya mengenai eksorsis. Apa bedanya eksorsis yang dilakukan oleh imam yang ditunjuk uskup dengan deliverance yang bisa dilakukan oleh umat Katolik? Kan, sama-sama pengusiran setan/roh jahat. Jadi singkatnya, kalau bisa dilakukan oleh umat sendiri, kenapa harus repot-repot ada eksorsis oleh imam yang ditunjuk tersebut?
Andika, Palembang
DI dalam Injil dituliskan bahwa saat Yesus memilih kedua belas rasul, diberikannya kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat (Lih. Mat. 10:1; Mrk. 3;15). Kuasa tersebut diberikan kepada kedua belas rasul. Artinya, sebenarnya kuasa itu ada pada Yesus, namun Dia memberikan kuasa tersebut juga kepada para rasul-Nya, untuk bertindak atas nama-Nya, dengan kuasa dari-Nya. Apakah otomatis setiap murid Yesus akan bisa mengusir setan? Tentang ini kita bisa menyimak dari Penginjil yang memberitakan tentang para murid yang tidak bisa mengusir setan, “Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?” (Mat. 17:19; bdk Mrk. 9:18; 9:40). Atas pertanyaan tersebut Yesus menjawab karena mereka kurang percaya. Tanda-tanda orang yang percaya dikatakan Yesus sebelum naik ke Surga adalah kemampuan mengusir setan demi nama-Nya (Lih. Mrk. 16:17).
Namun ada pula orang yang bukan murid Yesus pun bisa mengusir setan demi nama-Nya, Yesus menjawabnya bahwa mereka itu bukan lawan dan tidak melawan Yesus (Lih. Mrk. 9:38-41; Luk 9:49-50). Memang semua itu bagi Yesus merupakan tanda telah datangnya Kerajaan Allah (Lih. Luk. 11:20), saat rahmat penebusan mewujud, sehingga manusia dibebaskan dari dosa dan dari kungkungan godaan roh jahat. Tetapi Yesus juga mengingatkan saat berbicara tentang bahaya pengajaran-pengajaran sesat, “Pada hari terakhir banyak orang … mengusir setan demi nama-Ku… pada saat itulah Aku akan berterus-terang kepada mereka dan berkata, ‘Aku tidak pernah mengenal kamu!’” (Mat. 7:22-23). Dari satu sisi, pengusiran setan adalah tanda hadirnya Allah, namun di sisi lain, kita harus hati-hati bahwa tidak semuanya berasal dari Allah, berangkat dari kesadaran akan kesatuan dengan Allah, akan kuasa yang datang daripada-Nya.me
Pengusiran setan, atau yang dikenal dengan istilah eksorsisme, memiliki akar yang panjang dan kuat, tidak saja dari Kitab Suci namun juga dari tradisi Gereja. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai sakramentali, tanda-tanda suci, sesuatu yang hanya bisa didapatkan melalui perantaraan Gereja, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan kita semakin menerima buah utama sakramen serta bagi penyucian hidup. Demikian dikatakan dalam dokumen Vatikan II, Sacrosanctum Sacramentum. Karena itu, tidak seorang pun dapat melakukan eksorsisme terhadap orang yang kerasukan setan tanpa mendapatkan kuasa dari uskup. Orang yang mendapatkan kewenangan tersebut, dikatakan dalam Kitab Hukum Kanonik, haruslah imam yang unggul dalam kesalehan, pengetahuan, kearifan dan integritas hidup (KHK 1172). Kewenangan memberi otoritas tersebut hanya ada pada Uskup, dan maka yang bukan Uskup, tanda penugasan darinya, tidak bisa memberikan kewenangan eksorsisme kepada yang lain.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut, merupakan sesuatu yang publik dan resmi, bukanlah sesuatu yang biasa dan dapat dilakukan oleh siapa saja, yang merasa bisa dan hebat. Pengusiran setan berbeda dengan membantu orang melepaskan dari pengaruh si jahat, tanda-tanda psikis akibat kondisi kesehatan mental yang rapuh. Bantuan dari ahli spiritualitas dan psikologi bisa membantu untuk ini.
Tentu umat beriman bisa berdoa agar kita dibebaskan dari yang jahat, sebagaimana didaraskan pada doa Bapa Kami. Roh jahat bisa kita hadapi dengan berbagai macam sarana dan cara, namun pengusiran roh jahat, atau eksorsisme, merupakan sesuatu yang berbeda. Karena itu Gereja memiliki pedoman resminya, misalnya Rituale de Exorcismis (1998). Dua tahun kemudian dikeluarkanlah instruksi dari Kongregasi Ajaran Iman, Ardens Felicitas, yang segala doa yang merupakan permohonan penyembuhan dari pengaruh si jahat berbeda dengan eksorsisme, sesuatu yang melekat pada kuasa uskup dan yang diberi kewenangan olehnya. Selain itu diingatkan bahwa ritual eksorsisme tidak bisa dimasukkan ke dalam perayaan Ekaristi atau perayaan sakramen lainnya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa eksorsisme berbeda dengan doa-doa untuk memohonkan seseorang terlepas dari pengaruh yang jahat atau penyembuhan dari berbagai macam kelekatan atau godaan. Kalau setiap tindakan seperti itu lalu begitu saja dianggap sebagai eksorsisme merupakan sesuatu yang tidak tepat, bahkan menyalah artikan arti dan makna eksorsisme, karena memang tidak sama. Karena kewenangan untuk ini perlu mendapatkan persetujuan atau izin dari uskup, maka tidak sembarang orang bisa dan boleh melakukannya. Apakah harus repot-repot minta izin dari uskup, kiranya uskup tidak pernah merasa repot untuk itu. Para uskup, berkat kuasa tahbisannya, memiliki kuasa untuk itu dari Kristus dalam Gereja-Nya, dan berwenang melimpahkan kuasa tersebut pada imam yang dipercayainya. Ketentuan ini kiranya juga untuk menghindari kesalahanpahaman akan eksorsisme, apalagi kesombongan rohani mereka yang merasa diri sanggup dan bisa. Gereja perlu menata untuk meluruskan dan menempatkan segalanya pada tempatnya.
HIDUP, Edisi No.12, Tahun ke-77, Minggu, 19 Maret 2023