PGI Meminta Presiden Menegur Penyegelan GKPS Purwakarta

213
Gedung PGI di Jakarta (Foto: Ist.)

HIDUPKATOLIK.COM – Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar memberi teguran keras kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta atas kasus penyegelan bangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Pemkab Purwakarta menyegel bangunan GKPS pada Sabtu (1/4/2023). Menurut Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika, penyegelan dilakukan karena bangunan GKPS tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Pendeta Henrek Lokra (Foto: Ist.)

“Penyegelan bangunan yang dipakai warga GKPS Purwakarta untuk beribadah oleh Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika adalah tindakan diskriminatif dan tidak mencerminkan toleransi antarumat beragama,” kata Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pendeta Henrek Lokra, dalam siaran pers yang diterima hidupkatolik.com pada Selasa (4/4/2023).

Tidak memiliki IMB adalah alasan yang dibuat-buat oleh bupati karena beberapa gereja di kabupaten tersebut sudah puluhan tahun mengajukan IMB tetapi belum juga mendapatkannya, katanya, seraya menyebut Huria Kristen Indonesia (HKI) Purwakarta, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Purwakarta, dan Gereja Kristen Perjanjian Baru sebagai contoh.

“PBM 2 Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14 mengamanatkan kepala daerah untuk memberikan izin sementara sebagai bentuk fasilitasi negara dalam mencari solusi pendirian rumah ibadah, sementara jemaat terus mengupayakan dukungan KTP 90 dan 60. Jauh sebelum diterbitkannya PBM 9 dan 8 Tahun 2006, pengajuan izin tak kunjung membuahkan hasil,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa tindakan intolerasi dengan alasan IMB dan berpedoman pada PBM 2 Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 sangat tidak tepat, karena keberadaan rumah ibadah merupakan kebutuhan riil masyarakat. Pemerintah daerah sebagai pengayom masyarakat seharusnya dapat menjalankan fungsinya dalam membina kerukunan antarumat beragama di kabupaten tersebut, salah satunya dengan memfasilitasi pendirian rumah ibadah.

“Berdasarkan kondisi ini, kami menyatakan protes keras dan meminta Presiden Republik Indonesia, melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia, untuk memberikan teguran keras kepada Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, mendesak bupati Purwakarta untuk mengeluarkan izin sementara serta segera mencari solusi bagi umat GKPS dan gereja lainnya di Purwakarta agar dapat melaksanakan peribadahan mereka dengan aman dan nyaman,” katanya.

“Kami menolak semua bentuk diskriminasi dan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh siapa pun di negara Pancasila ini, apalagi dengan motif kepentingan tertentu yang merusak sendi persatuan dan kesatuan bangsa.”

Tidak Ada Penolakan

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan beribadah merupakan hak dasar yang dijamin UUD 1945. Sementara perizinan yang dipersoalkan oleh Pemkab. Purwakarta adalah persoalan administrasi yang tidak boleh mengalahkan jaminan hak asasi di dalam konstitusi.

“Maka, merupakan kewajiban Pemkab. Purwakarta untuk memfasilitasi GKPS sampai rumah ibadah tersebut layak secara administratif. Kewajiban fasilitasi tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu penekanan dalam PBM 2 Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, terutama pada Pasal 14, selain syarat pendirian,” katanya.

 

Halili Hasan (Foto: Dokpri)

Ia menjelaskan bahwa GKPS sebenarnya tidak memiliki masalah serius dengan masyarakat setempat, termasuk dalam bentuk penolakan. Selain itu, pihak gereja juga membangun kedekatan dan harmoni sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan dukungan.

“Namun, Pemkab. secara tiba-tiba mengambil tindakan penyegelan hanya karena gereja tersebut didatangi oleh sekelompok orang berpakaian putih dari luar masyarakat setempat, yang berusaha membubarkan ibadah GKPS pada 19 Maret 2023 dan 26 Maret 2023. Pihak GKPS-lah yang kemudian melaporkan upaya menghalang-halangi peribadatan mereka kepada aparat setempat. Namun laporan GKPS tersebut ‘berbuah’ penyegelan dengan alasan perizinan. Tampak sekali bahwa Pemkab tunduk pada kelompok intoleran,” imbuhnya.

Ia juga menyesalkan kebijakan bupati terkait peribadatan bagi jemaat GKPS di gereja lain pasca-penyegelan.

“Solusi dari Bupati tersebut memprihatinkan. Di dalam agama Kristen terdapat banyak denominasi dan aliran yang mereka sulit dan tidak dapat bergantian dalam penggunaan satu gereja untuk denominasi atau aliran yang berbeda,” katanya.

“Di samping itu, persoalan jarak juga akan menjadi masalah tersendiri bagi jemaat GKPS. Hal itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mengkaji secara komprehensif persoalan GKPS dan hanya tunduk begitu saja pada tekanan kelompok intoleran.”

Menyinggung Perayaan Paskah mendatang, Halili mendesak Pemkab. Purwakarta dan pemerintah pusat agar segera membatalkan penyegelan GKPS dan memfasilitasi penggunaan gereja tersebut untuk peribadatan, sambil memberikan waktu tertentu kepada GKPS untuk menyelesaikan urusan administrasi perizinan.

Ia mengklaim bahwa Pemkab. Purwakarta pada periode sebelumnya di bawah kepemimpin Bupati Dedi Mulyadi menunjukkan sikap dan tindakan yang progresif dalam melindungi hak-hak minoritas agama, melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusial warga negara, dan membangun kehidupan berdampingan secara damai dalam kebinekaan.

“Maka, penyegelan GKPS oleh Bupati Anne dalam konteks ini merupakan kemunduran serius dalam perlindungan kelompok minoritas di Purwakarta,” tegasnya.

Katharina Reny Lestari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini