Uskup Palangka Raya, Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF: Melihat dengan Sudut Pandang Allah

197
Mgr. A.M. Sutrianaatmaka, MSF

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 19 Maret 2023 Hari Minggu Prapaskah IV 1Sam.16:1b, 6-7, 10-13a; Mzm.23:1-3a, 3b-4, 5, 6; Ef.5:8-14; Yoh.9:1-41 (panjang) atau Yoh.9:1,6-9, 13-17, 34-38 (singkat).

KERAP kali kita menilai orang lain didasarkaan pada penampilan luar yang dapat kita lihat saja. Apalagi kalau seseorang memakai seragam, lebih mudah lagi kita mengenali identitasnya. Ada orang berseragam tentara atau polisi dengan postur tubuh yang nampak tegap, kuat, dan gagah perkasa. Ada seragam perawat dan dokter di rumah sakit, yang nampak rapi dan bersih; ada anak sekolah, seragam merah putih, anak SD, ada seragam pemain bola, dll. Itulah yang biasa kita saksikan dan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Hal yang sama terjadi ketika Samuel diutus Tuhan untuk pergi mengunjungi Isai dan mengurapi salah seorang anaknya menjadi raja Israel. Pandangan Samuel mengarah pada Eliab, yang berperawakan tinggi, gagah, kekar, dan kuat. Itulah figur yang dirasa layak menjadi raja. Samuel merasa sudah waktunya mengurapinya.

Namun Allah menolak. Sabda-Nya:“Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi…Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata; tetapi Tuhan melihat hati” (1Sam.16:7). Allah meminta kepekaan untuk mendengarkan dan mengarahkan hati agar bisa menangkap kehendak-Nya. Ketika Daud muncul, Tuhan berbisik, “Bangkitlah dan urapilah dia, sebab inilah dia” (ay 12). Maka Samuel mengambil minyak dan mengurapi dia menjadi raja Israel. Dengan demikian sejarah keselamatan bangsa terpilih itu berjalan seturut kehendak Allah.

Pemikiran manusia yang berbeda dengan pandangan Allah tercermin juga dalam pertanyaan para murid kepada Yesus. Ketika bertemu dengan seorang yang buta sejak lahir, maka muncul pertanyaan: “Siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Dalam pandangan para murid, kebutaan sejak lahir merupakan kesalahan atau bahkan dosa manusia yang mendatangkan hukuman dari Allah. Maka ditanyakan, siapa yang berdosa: dia atau orang tuanya. Kalau dia yang berdosa, bagaimana mungkin baru lahir sudah menerima hukumannya. Kalau orang tuanya, mengapa akibatnya ditanggung anaknya.

Atas pertanyaan itu, Yesus memberi jawaban yang mencerahkan: “Bukan dia dan bukan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku,… (Yoh 9:2-4). Akal dan pikiran manusia memang sangat terbatas, dan tak mampu menangkap sepenuhnya apa yang dimaksudkan oleh Allah. Penalaran manusia kadang terlalu sempit, terkotak-kotak pada salah-benar, jahat-baik. Diperlukan cakrawala iman kepada Allah, yang bisa mengubah cara dan sudut pandang dalam menilai sesama. Semakin akrab hubungan kita dengan Allah, yang nampak dalam hidup iman yang teguh, kokoh dan dewasa, makin dekatlah kita  kepada kehendak-Nya.

Cara menilai yang berdasarkan penampilan luar kadang tidak tepat, dan bahkan bisa menipu. Ada orang yang sengaja mau berbuat jahat dengan cara mengenakan pakaian dan seragam yang menguntungkan untuk mengelabui orang lain. Berseragam polisi tetapi justru untuk memeras korbannya. Berpenampilan seperti pria kaya, justru menguras harta korbanya. Itulah sekadar contoh yang menunjukkan betapa penampilan luar semata-mata tidak bisa menjadi dasar penilaian seseorang, apalagi menghakimi sebagai buruk-baik, salah-benar, dan terberkati atau terkutuk.

Melalui peristiwa pemilihan Daud, sebagai raja Israel dan berdasarkan Sabda Yesus atas orang buta sejak lahirnya, kita mendapatkan pencerahan akan pentingnya sudut pandang Allah dalam hidup beriman kita. Allah melihat dan memandang manusia bukan berdasar apa yang nampak, melainkan perlu masuk ke dalam hati orang. Tidak ada suatu hal pun, termasuk yang paling kecil yang tidak dilihat oleh Allah. Oleh karena itu, sebagai orang beriman kita diharapkan bisa bersikap jujur, apa adanya di hadapan Allah.

Dalam masa Prapaskah, masa pertobatan yang penuh rahmat dan sukacita ini, kita perlu berusaha untuk mengatasi kelemahan kita dalam menilai dan mengadili orang lain dengan kacamata manusiawi kita. Kita diharapkan berani untuk berpaling kepada Tuhan yang kita imani sebagai penuntun dan pengarah menuju keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus, Penyelamat kita.

 “Diperlukan cakrawala iman kepada Allah, yang bisa mengubah cara dan sudut pandang dalam menilai sesama.”

HIDUP, Edisi No. 12, Tahun ke-77, Minggu, 19 Maret 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini