Mengenal Lebih Dekat Pendidikan ala Kolese, Mengapa Lebih Diminati

2180
Murid-murid Kolese Le Cocq d'Armandville, Nabire, Papua bersama penulis (pakai batik). Foto: Dokpri

HIDUPKATOLIK.COM – SALAH satu model pendidikan di dunia yang berpengaruh adalah sekolah dengan sistem kolese Jesuit. Ada ribuan sekolah di dunia yang menggunakan sistem kolese sebagai model pendidikan yang tahan uji terhadap perubahan zaman sebagai contoh di tingkat sekolah ada Loyola High School, Amerika Serikat; Saint Igantius’ College, Australia; dan Sacred Heart Jesuit School of Leon, Spanyol. Demikian juga tingkat universitas, kampus-kampus kolese tersebar di berbagai negara seperti Gerorgetown University, Gregoriana University, Universitas Sanata Dharma, dan Sophia University.

Pendidikan kolese Jesuit umumnya meliputi pendidikan menengah, dan tinggi. Sudah banyak alumni kolese yang dihasilkan, ada yang menjadi santo, santa, paus, raja, presiden, perdana menteri, menteri, gubernur, hingga ilmuan dunia peraih Nobel yang rekam jejaknya mudah dicari di media virtual internet.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa kolese Jesuit tingkat sekolah yang berkualitas, antara lain SMA Kolese Kanisius Jakarta, SMA Kolese Loyola Semarang, SMA Kolese de Britto Yogyakarta yang sudah memberikan sumbangsih, meluluskan anak-anak bangsa yang mampu berkiprah secara baik dalan kehidupan berbangsa dana bernegara.

Kolese Awal

St. Ignatius Loyola (selanjutnya disebut Ignatius) dalam buku autobiografinya, setelah dia kembali dari Yerusalem 1524 merasa perlu belajar formal dalam kurun waktu tertentu agar nantinya lebih dapat menolong jiwa-jiwa. Dari situ Ignatius melihat pentingnya pendidikan bagi kerasulan.

Ignatius menyadari bahwa ada hubungan yang erat antara pendidikan dan keutamaan hidup. Dengan pendidikan yang memadai, orang dapat melihat, menganalisa, dan menilai apakah kehidupan ini berharga atau tidak.

Dengan pendidikan yang cukup, orang dapat merefleksikan pengalaman hidupnya dengan lebih baik. Pada zamannya, kesadaran itu telah diungkapkan melalui desakan dan sudut pandang baru yang sejak Petrach, “Bapaknya humanisme” populer, yang di abad XIV pemikiran semacam itu sudah mulai berkembang.

Semua kawan pertama Ignatius yang merupakan sarjana lulusan Universitas Paris, di awal misi tidak menyasar karya pendidikan sebagai kerasulan yang utama. Mereka mau bermisi ke Yerusalem. Akan tetapi karena kapal yang akan membawa mereka ke Yeruslaem tidak kunjung tiba, akhir kembali ke Roma. Roma kemudian menjadi “Yerusalem” baru, untuk mengemban misi perutusan mulia dimana Gereja membutuhkan, termasuk akhirnya menyentuh pelayanan di bidang pendidikan.

Santo Ignatius Loyola

Ignatius menghendaki para Jesuit bebas berpindah-pindah tempat kemana saja kebutuhan paling mendesak. Dia yakin bahwa lembaga-lembaga tetap akan mengikat mereka dan mengalang-alangi mobilitas itu. Ignatius dan kawan-kawannya mempunyai satu tujuan saja: “mengasihi dan melayani keagungan Ilahi dalam segala hal”. Berdasarkan tujuan tersebut, mereka kemudian menerima sarana apa saja yang paling baik guna melaksanakan kasih dan pengabdiaan Allah melalui pelayanan sesama, termasuk pelayanan pendidikan di kolese. Ignatius dan para Jesuit awal menyadari adanya kekuatan apostolik pendidikan (power of education) bagi kaum muda.

Pada awalnya para Jesuit tidak memulai kolese yang bersifat publik tetapi mengundang generasi muda untuk belajar menjadi imam Jesuit. Selain itu, pendidikan kolese terutama digunakan untuk melawan aliran-aliran sesat dan menghadang laju gerakan protestantisme.

Pada tahun 1544 sudah ada tujuh kolese di dekat universitas di Paris, Louvain, Valencia, dan Coimbra. Pada tahun 1545, Ignatius minta pada Lainez agar ada Jesuit yang mengajar para skolastik di kolese, misalnya untuk mendampingi   para skolastik melakukan repitisi, men-drill para skolastik, dan latihan-latihan studi.

Adipati Gandia, Fransiskus Borgias, pada tahun 1544 minta agar Serikat Jesus terlibat dalam pendidikan di Gandia karena di sana belum ada universitas. Para Jesuit di kolese Gandia nantinya tidak hanya mengajar skolastik, namun juga murid lain terutama anak-anak pejabat Gandia. Maka pada tahun 1546 Jesuit mulai memberikan pengajaran secara publik di Gandia.

Paus Paulus III memberikan status Studium Generale pada kolese Gandia, yang artinya berstatus universitas. Pada tahun 1551 Ignatius mendirikan Roman College. Ignatius menyadari bahwa di zamannya ada kebutuhan akan sebuah sistem pendidikan sehingga kemudian dia dan para Jesuit lainnya mendirikan kolese-kolese di dunia.

Pendidikan kolese berkembang sangat pesat pada saat Ignatius Loyola menjadi Jenderal Serikat Jesus. Di masa kepemimpinannya, hingga tahun 1556 saat meninggalnya, Ignatius telah merestui pendirian 40 kolese, dan menyetujui karya pendidikan di kolese sebagai salah satu karya Serikat Jesus. Semboyan kolese pada tahun itu adalah “Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia” (Educatio puerorum reformatio mundi).

Perkembangan Pendidikan

Sesudah Ignatius wafat, pendidikan kolese terus berkembang. Beberapa alasan mengapa pendidikan kolese sukses adalah pertama,  sebelumnya tidak ada model pendidikan seperti sistem kolese. Kedua, pendidikan kolese memberikan alternatif pendidikan yang baik. Ketiga, para Jesuit membuat beberapa unsur khas di dalam program pendidikan, yang tidak ada sebelumnya di dalam sekolah-sekolah.

Menurut O’Malley (1993), paling tidak ada sepuluh ciri khas yang ditawarkan oleh kolese-kolese Jesuit awal yang kemudian hingga sekarang masih dipertahankan dengan penyesuaian. Pertama, kolese Jesuit tidak ada tuntutan biaya kuliah/belajar tertentu. Kedua, sekurang-kurangnya di dalam prinsip, mereka menerima para siswa dari segala kelas atau status sosial. Ketiga, bagi Jesuit, sekolah merupakan kolese “humane letters” yang sesuai dengan kurikulum zaman dan mempunyai unsur formatif. Regulasi-regulasi kedisiplinan disesuaikan dengan kebutuhan formasi para siswa.

Keempat, dalam pengajaran, Serikat Jesus mempostulatkan kesesuaian antara pendidikan dalam “humane letters” pada satu sisi dan pada sisi yang lain dalam filsafat aristotelian/sains, dan pemikiran Thomistik.

Kelima, sesuai modus parisiensis, para Jesuit menerapkan sistem kelas yang berderet dari kelas ke kelas menurut ketentuan kurikulum, dan ketentuan-ketentuan lain yang sejenis. Keenam, lagi dari “Parisian Mode” para Jesuit secara aktif memberikan gagasan – gagasan dan ketrampilan – ketrampilan – exercitium – yang konsisten tidak hanya dalam komposisi tulisan dan repetisi lisan di dalam kelas tetapi juga dalam berbagai permainan, perbincangan, dan tontonan terbuka lainnya secara publik.

Ketujuh, para Jesuit mendukung program dasariah yang jelas, koheren, dan religius yang dapat diterima oleh para siswa dari berbagai usia dan latar belakang  — sebuah program yang pada prinsipnya mencoba menggerakkan para siswa melampaui praktik-praktik kesucian untuk kepantasan nilai-nilai etika  dan religius. Delapan, melalui kongregasi Maria, mereka memberikan artikulasi lebih dalam lagi untuk  program keagamaan mereka yang diadopsi dan diadaptasi dari institusi-institusi yang sangat populer pada waktu itu.

Sembilan, para Jesuit sambil jalan membuat jaringan  internasional antarsekolah, suatu jaringan yang luas. Jaringan ini dapat memberikan  informasi yang sangat efektif mengenai apa yang para Jesuit kerjakan. Akhirnya sepuluh, yang paling sulit dikalkulasi, “teaching under the teaching” yang berbeda dengan sekolah-sekolah lain.

Guru-guru kolese di Ateneo de Iloilo, Filipina

Pada waktu itu para Jesuit dinilai sebagai guru yang lebih terpelajar dan mempunyai motivasi yang kuat dalam mengembangkan karya pendidikan di seluruh Eropa. Mereka tidak hanya memberikan teks-teks pengetahuan tetapi – lebih-lebih — juga memberikan contoh-contoh yang konkret.

Para Jesuit juga kerap mengadakan repetisi (pengulangan) untuk memperdalam suatu materi pelajaran yang diberikan. Para Jesuit juga mau bergembira dengan para siswa sebagai keluarga besar kolese. Dengan demikian para siswa merasa disapa secara personal dan mereka diberi ruang seluasnya untuk dapat berkembang.

Melewati Masa Krisis

Pesatnya kemajuan pendidikan kolese Jesuit mengakibatkan begitu banyaknya permintaan dari para bangsawan atau penguasa, agar Jesuit juga membuka kolese-kolese di daerah mereka. Karena begitu banyak permintaan mendirikan kolese, kolese menjadi banyak menjamur di Eropa.

Banyaknya kolese yang didirikan membuat pendidikan kolese mengalami krisis. Krisis pendidikan kolese yang krusial adalah kurang tersediannya personalia Jesuit yang diutus guna menangani  karya pendidikan.

Serikat Jesus sendiri, pada waktu itu mencoba mengevaluasi dan merefleksikan diri agar tidak memenuhi semua permintaan yang ada dan dapat menyediakan tenaga-tenaga Jesuit yang andal di dunia pendidikan.

Pendidikan kolese di seluruh dunia dalam perjalanan waktu terus berkembang dan semakin maju. Saat ini (dalam staloysius.org, 2022) paling tidak sudah 2.210 sekolah dan 900 universitas yang menggunakan sistem kolese di seluruh dunia.

Semoga keunggulan pendidikan kolese yang sudah teruji keberlansungannya lebih dari 450 tahun dapat menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah modern dalam menjawab tantangan zaman yang semakin maju.

Romo Odemus Bei Witono, SJ

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-77, Minggu, 29 Januari 2023

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini