HIDUPKATOLIK.COM – “Lahirnya Katekismus itu sendiri adalah suatu mukjizat bagi Kardinal Ratzinger yang waktu itu ditunjuk untuk mengorganisir hal tersebut.”
SELAIN Kitab Suci, Puji Syukur, Buku Doa, apakah Anda memiliki Katekismus Gereja Katolik (KGK) di rumah? Seberapa sering Anda membuka dan membaca KGK? Apakah saat membaca pertanyaan ini, Anda sontak pergi melihat lemari buku Anda dan mengecek? Apakah Anda langsung ingin membeli KGK segera?
Sejak 2022 lalu, KGK telah hadir menemani umat Katolik selama 30 tahun di seluruh dunia. Kehadirannya membawa pencerahan iman akan perbendaharaan iman Gereja Katolik yang satu, kudus, dan apostolik. Tujuan utama kehadiran KGK yaitu untuk mengenal, mencintai, dan melayani Kristus melalui Gereja-Nya yang kudus.
Dalam prolog KGK dituliskan, “Bapa…inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh.17:3). Allah, Juru Selamat kita menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:3-4). Sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kis 4:12), selain nama YESUS.”
Di Indonesia pun KGK disambut baik dan banyak mengalami perkembangan. Untuk itu HIDUP berbincang dengan Ketua Komisi Kateketik KWI 2018-2021, Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF yang kini dipercaya sebagai Ketua Komisi Keluarga KWI 2022-2025 via zoom pada Jumat, 20/01/23.
Apakah dari KOMKAT punya acara memperingati 30 tahun hadirnya KGK?
Isu peringatan ini kemarin tidak muncul di dalam rencana sebagai proyek untuk acara kegiatan tahunan. Kami mengikuti alur yang sudah dimulai terutama mengenai katekese yang diadakan di tingkat nasional yang berkaitan dengan katekese umat di Indonesia dari masa ke masa. Terakhir yang kami adakan di Bali lebih berkaitan dengan Surat Apostolik “Maximum Illud” terkait gerakan misioner yang lebih luas. Pertemuan yang terakhir juga melihat bagaimana kita mampu bertahan di dalam pewartaan iman di era yang sangat sulit seperti pandemic ini.
Dari perspektif KGK sendiri KomKat KWI pernah menjalin kerja sama dengan kelompok orang muda dari Dormus Cordis berkaitan dengan “Krismapedia”. Kami memberi imprimatur untuk terbitnya buku yang menjadi pedoman persiapan Sakramen Krisma dan pembinaan iman orang muda. Yang saya lihat di sini bagaimana KGK menjadi basis bagi referensi berbagai olah atau bentuk pembinaan iman.
Bagaimana perkembangan KGK di Indonesia?
Kita juga melihat bagaimana proses sesudah KGK itu terbit. Di Indonesia terjemahan Indonesia dikerjakan berdasarkan edisi Jerman oleh Pastor Herman Embuiru, SVD kemudian disahkan oleh para Uskup Provinsi Gerejani Ende dan diakui KWI. Tidak hanya itu, Paus Yohanes Paulus II mempromulgasikan pelaksanaannya dengan suatu mandat agar nanti KGK dibuat penyesuaiannya di tingkat nasional. Waktu itu Gereja Indonesia dengan teolog yang sangat kritis membuat KGK untuk konteks Indonesia. Meskipun dibahasakan dengan lain tetapi acyan mereka tetaplah KGK yang disesuaikan dengan konteks Indonesia yang kini kita kenal dengan judul “Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi”.
Buku Iman Katolik ini menjadi kelanjutan agar menjadi referensi ketika berbicara tentang hal penting terkait iman dalam konteks Indonesia. Maka saya lihat kekhasannya di situ terkait dengan meletakkan iman Katolik itu bukan di dalam keterasingannya tetapi di dalam konteks dialog dengan manusia zaman sekarang terutama dengan situasi kita di Indonesia yang kental dengan pluralitas. Kita tidak sekadar mengenal siapakan Allah yang kita Imani tetapi juga menempatkannya dalam konteks keanekaragaman budaya dan bagaimana itu dihayati dalam sakramentalitas gereja.
Dalam perkembangan katekismus juga coba dibahasakan secara populer ditingkat dunia yang kita kenal dengan nama YOUCAT. Kata pengantarnya ditulis oleh Paus Benediktus XVI sendiri id mana ditekankan perlunya mengembangkan pengenalan KGK di kalangan orang muda dan juga dihimbau untuk membuat kelompok studi. Di sini ada YOUCAT Indonesia dan diharapkan bisa menjadi bagian dari KomKat KWI agar menjadi gerakan seperti yang diharapkan Paus Benediktus XVI.
Wajibkah umat Katolik punya KGK di setiap rumah?
Idealnya punya karena sebetulnya bisa menjawab banyak keraguan iman. Tetapi ada bentuk yang lebih ringkas yakni Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Di situ Paus Benediktus XVI mengungkapkan mengenai perkembangan mengapa katekismus ditulis sesudah pembaharuan Konsili Vatikan II karena banyak orang bingung apa yang kita Imani.
Untuk itu ditelurkanlah suatu ide yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II kepada Paus Benediktus XVI yang masih sebagai Kardinal Ratzinger. Menurutnya ide sang Paus sangat berat karena ide itu meminta semua uskup untuk menulis tentang apa yang Gereja Katolik Imani dan bagaimana dalam prosesnya bisa mengumpulkan orang-orang dari berbagai situasi geografis, budaya, dan cara pikir yang berbeda dan menghasilkan sesuatu. Maka lahirnya Katekismus itu sendiri adalah suatu mukjizat bagi Ratzinger yang waktu itu ditunjuk untuk mengorganisir hal tersebut.
Maka, jika ingin memiliki saya pikir Kompendium bisa menjadi awal karena tidak terlalu tebal tetapi beberapa hal umum ada di dalamnya. Jadi kehadiran KGK itu penting sebagai referensi iman sehingga tidak menafsir atau menduga sendiri tanpa ada dasar yang benar.
Apakah tantangan nasional untuk berkatekese?
Pertama soal tempat katekis di dalam keuskupan itu agak beda-beda. Jadi dalam sidang KWI yang lalu, saya diminta untuk mempresentasikan Surat Apsotolik dalam bentuk Motu Propio berjudul “Antiquum Ministerium”. Di dalam dokumen Paus Fransiskus itu, diatur bahwa katekis itu sebuah panggilan sama seperti martabat panggilan yang lain. Untuk itu, harus ada pelantikan katekis dan ditetapkan perutusannya entah itu untuk pengajaran maupun juga keterlibatan dalam bidang pastoral.
Saya lihat keuskupan punya tantangan berbeda. Di keuskupan-keuskupan besar mereka memiliki ribuan orang yang disebut katekis tapi sebagian mereka tidak menerima pendidikan formal kateketik dan direkrut sebagai sukarelawan. Dengan Antiquum Ministerium menjadi jelas bahwa katekis memiliki kriteria profesional. Implikasinya tidak semua yang menjalankan fungsi pastoral tidak harus disebut katekis sebab partisipasi dalam pastoral gereja setempat mengalir dari baptisan.
Katekis itu ditetapkan sebagai suatu bentuk institusi pelayanan yang tetap sama seperti imamat, diakonat, diakon permanen. Kemudian ukuran ranah pekerjaannya terlibat di dalam pastoral. Maka dalam arti itu, guru-guru yang mengajar agama di sekolah tetapi tidak terlibat di dalam pastoral paroki atau tidak ditugaskan paroki tidak perlu disebut katekis. Jadi tidak sembarangan seseorang bisa disebut katekis sebab melibatkan proses pembinaan dengan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, pelantikan, dan perutusan.
Di Indonesia sendiri masih dalam proses. Umumnya katekis di Kalimantan dan Papua itu menjadi ujung tombak pastoral untuk pelayanan umat. Sedangkan di Jawa, keuskupan mengalami krisis karena orang tidak mau menjadi katekis.
Saya pikir “Antiquum Ministerium” ini ditulis karena dibanyak negara belum ada Institusi Kateketik yang resmi. Negara tetangga kita (Malaysia) kami sharing dengan Keuskupan sekitar kami seperti Keuskupan Keningau dan Kinabalu mereka tidak memiliki pendidikan bagi katekis yang diakui pemerintah. Indonesia dalam hal ini sangat maju karena pendidikan bagi katekis kita diakui di tingkat pemerintah.
Bagaimana Monsinyur memaknai 30 tahun hadirnya KGK di tengah umat?
Saya sependapat dengan Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI bahwa bagaimanapun di tengah situasi ketika sekarang kita merayakan euforia demokrasi, setiap orang bicara dan merasa benar lalu tidak ada kebenaran yang diakui sebagaia kebenaran mutlak. Di dalam hal iman, kita tidak begitu. Kita tetap harus mempunya dasar pengangan yang benar.
Saya tidak percaya dengan orang yang mengatakan kebenaran itu ditemukan dengan keterbukaan untuk saling memberi informasi. Okelah, informasi manusiawi itu kan terbatas tetapi yang namanya wahyu ilahi, deposit iman itu, adalah sesuatu yang harus kita pegang lalu di dalam segala benturan kita dengan berbagai ideologi kita mempunyai arah.
Saya pikir memaknai itu kita harus mensosialisasikannya dan merasa bangga juga pada setiap pengajaran iman. Moderasi beragama itu bukan hanya terbuka dengan dialog tapi bangga dengan identitas yang kita miliki karena ada dasar saling menerima satu sama lain.
Harapan Monsinyur?
Secara khusus kepada pihak Gereja agar tidak jemu-jemu mencari jalan untuk memperkenalkan keindahan iman Katolik kepada umat agar iman itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi iman yang hidup. Andaikan semua orang punya KGK tapi tidak dibimbing mereka juga tidak akan mengerti. Dengan mengerti maka akan terjadi perubahan. Maka harapannya dengan momen ini kita semakin berusah untuk mensosialisasikan supaya KGK itu dihayati karena sangat relevan dan bisa menjadi pegangan yang tetap relevan. Mau dunia berubah seperti apapun ini kita tetap ada pedoman. Apalagi dalam konteks keindonesiaan ada buku Iman Katolik yang membantu kita memahami iman Katolik di tengah realitas bangsa.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No.05, Tahun ke-77, Minggu, 29 Januari 2023