“The Smiling Pope” Yohanes XXIII: Penabur Harapan

134
Paus Yohanes XXIII

HIDUPKATOLIK.COM – Angelo Giuseppe Roncalli yang lahir di Bergamo pada 25 November 1881, merupakan anak keempat dari 13 bersaudara, dikenal sejak kecil sebagai anak yang cerdas dan punya perhatian akan orang lain. Itulah Santo Yohanes XIII, yang  merupakan pencetus dan peletak dasar Konsili Vatikan II. Namun dia adalah pula yang menetapkan kemandirian Gereja Indonesia ketika memutuskan berdirinya hierarki Gereja Indonesia, dengan surat apostolis Sacred expeditions, tertanggal 20 Maret 1961.

Sebagai imam muda dia terlibat dalam berbagai pelayanan pastoral maupun sosial, malahan ketika pecah perang dunia I, Roncalli membantu dalam pelayanan kesehatan bagi para prajurit maupun korban perang.

Suasana Konsili Vatikan II

Roncalli terpilih sebagai Paus pada 28 Oktober 1958, menggantikan Paus Pius XII, hingga wafatnya 3 Juni 1963. Singkat namun sangat menentukan. Padahal saat terpilih, dia hanya dipandang sebagai figur transisi, dipandang bukan sebagai figur yang kuat dan sepertinya tidak akan membuat sesuatu yang mendobrak.

Apalagi saat terpilih, dia sudah berusia 76 tahun, sudah lanjut usianya. Akan tetapi, kejutan segera dibuatnya tidak lama setelah terpilih sebagai Paus: mengundangkan diadakannya Konsili Vatikan II. Orang-orang di sekitarnya, bahkan para pejabat di Vatikan, terkejut dengan gagasan tersebut. Namun Yohanes XXIII memandang hal itu tidak saja tepat, namun sangat dibutuhkan Gereja.

Dunia bergolak

Angelo Guiseppe Roncalli bagaimana pun adalah anak zaman, menyaksikan berbagai tragedi yang dihadapi umat manusia saat itu. Dia menyaksikan dua perang dunia, keduanya terjadi tidak jauh dari pandangan matanya, sebab melanda pula Eropa.   Terlebih perang dunia II sangat mengusiknya. Perpecahan dunia dan merebaknya kebencian disaksikannya.

Diketahui bahwa saat dia menjadi duta besar Vatikan di Turki, Roncalli menggunakan otoritas diplomatiknya menyelamatkan cukup banyak orang Yahudi, dengan memberi mereka identitas palsu. Tidak hanya itu dia memberi perhatian pada tawanan perang, apalagi saat menjadi dutabesar Vatikan di Paris, sejak 6 Desember 1944. Seusai perang dunia II, masih disaksikannya tanda-tanda suram perpecahan serta pertikaian dunia. Semuanya itu seperti suatu kenangan yang menakutkan, yang sekaligus sebagai kenangan akan penderitaan yang membuka ruang harapan.

Pertentangan ideologi memicu perpecahan. Hal itu disaksikannya tidak saja sebagai penyebab perang dunia namun pula polarisasi yang makin kuat dalam dunia, terlebih dengan adanya blok komunis dan negara-negara barat lain. Polarisasi itu menyeret negara-negara di kawasan dunia ketiga lain, seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dunia tidak makin menyatu, malahan makin berseteru. Pengalaman anti-semitisme terutama di Eropa memicu kebencian etnis, namun dampak dari pengalaman itu kemudian malahan menghasilkan pergolakan sosial amat panjang hingga sekarang, antara Israel dan Palestina. Seusai perang dunia II dunia tidak makin baik.

Roncalli mengikuti pula secara dekat merebaknya kesenjangan ekonomi, melebarnya jurang kaya-miskin. Kalau kita menyimak ajaran sosial dari Yohanes XXIII dalam Mater et Magistra, kita menemukan bahwa dia sangat mempromikan keseimbangan sosial, tidak hanya dalam masyarakat maupun antar negara, namun pula antara kawasan pertanian dan industi.

Selain itu diingatkannya pula tentang perlunya jaminan keamanan sosial dan peran penting pendidikan dalam perkembangan sosial, terlebih untuk meruntuhkan tembok kesenjangan sosial dan kesadaran akan penghargaan akan martabat pribadi manusia.

Roncalli melihat pula kebangkitan kawasan-kawasan yang semula di bawah penjajahan negara-negara Eropa. Mereka memperjuangkan kemerdekaan, dan hal itu dipandangnya sebagai sesuatu yang positif. Setelah terpilih sebagai Paus, Yohanes XXIII pun memandang wajah dunia yang berubah.

Dia merintis dan menetapkan hierarki Gereja mandiri di berbagai kawasan Afrika dan Asia, sehingga tidak bergantung pada Gereja asal para misionaris yang mewartakan Injil di tempat tersebut, menjadi Gereja setempat yang mandiri. Seperti ketika menetapkan hierarki Gereja Indonesia, Yohanes XXIII melihat hal ini merupakan sesuatu yang mengarah ke masa depan, sebab seakan dilihatnya memang masa depan akan dibangun lewat pergumulan umat Katolik di masing-masing wilayah, dalam kekhasan budaya dan nilai-nilai keutamaan setempat.

Sebelumnya Paus Yohanes XXIII dalam ensikliknya Princeps Pastorum (1959) menuliskan tentang karya misi. Intensi dasarnya adalah untuk membangun Gereja setempat, dan demi kepentingan itu tidak saja pembinaan imam pribumi yang diperlukan, namun pula pembinaan kaum awam setempat perlu pula diperhatikan.

Misionaris awam dimaksudkannya sebagai pribadi-pribadi Kristiani yang hadir di tengah ruang publik masyarakat setempat, yang memberikan kesaksian iman di tengah lingkungan masyarakatnya. Kesaksian hidup iman tersebut bagi Yohanes XXIII adalah pula bagian penting bagi karya misioner Gereja.

Oleh karena itu, Gereja perlu mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam kehidupan sosial, dan para imam perlu memberi perhatian serta pendampingan kepada mereka. Penghargaan akan budaya setempat dan menumbuhkan kesaksian iman dari umat Katolik setempat, yang lebih mengenal budaya dan nilai-nilai setempat menjadi kepeduliaannya.

Dunia yang bergolak, penuh perubahan dan tekanan, baginya merupakan suatu ladang kerasulan. Di tengah semua itu, harapan adalah satu-satunya jalan yang ditawarkan Gereja, dan harapan itu adalah harapan iman.

Membuka ruang Gereja yang semakin bertumbuh di berbagai kawasan, menjadi Gereja setempat, dan terutama Konsili Vatikan II, merupakan jalan-jalan harapan yang ditapaki Gereja, agar Gereja semakin menjadi ibu yang berbelaskasihan, membalut luka dan mengoleskan obat kelembutan hati agar langkah ke depan makin tumbuh subur bagi kehidupan bersama, kemanusiaan dan iman sejati.

Harapan dalam Kelembutan

Paus Yohanes XXIII dikenal sebagai gembala yang baik (pastor bonus), malahan sering digambarkan sebagai “the smiling pope”. Paus Yohanes Paulus II saat beatifikasi Yohanes XXIII (3 September 2000) menyebutkan Yohanes XXIII senantiasa hadir dengan senyumnya yang lebar dan tangannya yang terbuka. Sikap serta cara bertindaknya memancarkan kebaikan serta kelembutan dalam hatinya.

Hatinya yang sederhana serta keluasan perjumpaannya dengan berbagai orang menjadi daya dorongnya akan kebaharuan. Kebaharuan yang dibawanya nyata dalam cara bertindaknya yang lembut, murah hati, sedia menjadi biasa di tengah orang-orang biasa, bahkan juga di kalangan orang-orang terkemuka. Dia tidak membeda-bedakan siapapun, demikian Yohanes Paulus II menyebut tentang pendahulunya Yohanes XXIII.

Selama kurang lebih 5 tahun sebagai Paus, dia menghadirkan ke tengah dunia gambaran nyata akan Gembala yang baik: lemah lembut dan murah hati, cerdik dan berani, sederhana namun sangat aktif terlibat, terlebih dalam berbafai karya-karya belaskasih, seperti mengunjungi orang sakit dan yang di penjara, menyambut siapa saja dari berbagai bangsa dan agama.

Tidak mengherankanlah kalau pemerintah Turki membuatkan patung Angelo Roncalli yang ditempatkan di kedutaan Vatikan di Ankara. Dia adalah bapak bagi semua. Semua ini menghadirkan apa yang disebut sebagai benignitas evangelica, kemurahan hati injili.

Semua ini kiranya tidak bisa dilepaskan dari penghormatan besar Santo Yohanes XXIII pada Santo Yosef. Dia sering disebut sebagai “Paus Yosef”, sebab diketahui pada mulanya dia ingin mengenakan nama Yosef sebagai namanya sebagai Paus. Namun kemudian dia merasa tidak layak mengenakan nama itu, sebab nama Yosef terlalu luhur untuk dikenakan sebagai nama Paus.

Malahan dia mengingatkan, jangan sampai ada Paus yang mengenakan nama Yosef sebagai namanya sebagai Paus. Dia mempercayakan Gereja, bahkan konsili Vatikan II, pada penyertaan khusus Santo Yosef. Yosef adalah pelindung Gereja saat terjadi krisis, perantara saat mengalami pergolakan serta perubahan. Yosef, orang suci yang tersembunyi, menampakkan kemuliaan dan kebesarannya di dalam ruang kecil, saat hening dan terpaan badai.

Harapan iman dinyatakan oleh Santo Yohanes XXIII justru di tengah dunia yang bergolak, kehidupan yang berubah. Maka Gereja pun hanya mungkin menjadi tanda harapan kalau semakin memeluk kelembutan kemurahan hati dan kelapangan belaskasihan. Itulah Gereja sebagai sakramen keselamatan di tengah umat dan dunia.  

T. Krispurwana Cahyadi, SJ

HIDUP, Edisi No. 4, Tahun ke-77, Minggu, 22 Januari 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini