Sabar, Sang Pembersih

231

HIDUPKATOLIK.COM – “Bapak sementara tinggal di kamar belakang pastoran dulu ya! Aman di sini!” tutur Romo Sapto sambil meletakkan segelas kopi di meja. “Tu kopinya disruput dulu!”

“Wah, terima kasih, Mo!” jawab Pak Sabar sambil menyeruput kopi buatan romo yang masih mengepul. “Duh saya ndak enak betul ini, dilayani sama Romo Paroki!”

“Hahaha..biasa aja kale, Pak!” tawa Romo Sapto,”Ngomong-ngomong, sudah ada tindak lanjut dari polisi? Posisi Pak Sabar ini saksi tindak kriminal, lho!”

“Lha saya ngumpet di pastoran ini kan saran mereka, Mo!”

Siang itu, Pak Sabar mendapat giliran tugas membersihkan kaca gedung berlantai 30 di pusat kota. Sudah 20-an tahun Pak Sabar bekerja di perusahaan Façade Cleaning, perusahaan jasa pembersih fasad kaca gedung-gedung tinggi. Naik gondola yang terangkat jauh ke atas gedung pencakar langit, lalu membersihkan fasad kaca bangunan tersebut, sudah menjadi kesehariannya. Tak ada kejadian aneh saat Pak Sabar mempersiapkan diri: mengenakan peralatan safety seperti helm, full body harness, ascension, tali kernmantel, kacamata, sling anchor, hingga safety shoes.

Saat gondola pengangkut Pak Sabar dan perlengkapannya naik menjulang tinggi, pun tak ada peristiwa aneh. Begitu juga saat Pak Sabar, yang kerap dipanggil “Sang Pembersih”, mulai bekerja. Namun, peristiwa mengejutkan itu begitu cepat terjadi. Di penghujung kerja,  Pak Sabar baru saja mencelupkan squeegee (alat dengan pisau datar dari karet untuk pembersih kaca) ke dalam campuran pembersih, lalu mengoleskannya ke kaca dengan sapuan lembut dan merata. Begitu dua olesan, di sebuah ruangan di balik kaca, ia melihat seorang bapak berdasi berupaya merebut sebuah benda dari perempuan muda di depannya. Tarik-menarik terjadi dengan sengit. Semula Pak Sabar, seperti biasa, tak hendak memperhatikan peristiwa yang sering tanpa sengaja ia lihat di ruangan-ruangan, namun sang bapak berdasi memukulkan bola keramik penahan kertas ke kepala perempuan itu. Darah pun muncrat dari kepala sang perempuan, dan ia tergeletak.

Pak Sabar segera memencet tombol penurun gondola. Ia ketakutan, karena sekejap bapak berdasi itu melihat ke arah luar. Sampai di bawah, ia segera membereskan peralatan dan berlari ke sepeda motornya. Saat memacu sepeda motornya, ia berkali-kali menengok ke belakang, khawatir dibuntuti. Sepanjang perjalanan ia berdoa singkat berulang-ulang,”Gusti Yesus, nyuwun kawelasan (Tuhan Yesus kasihanilah)  Gusti Yesus, nyuwun kawelasan!

Sehari setelah itu, telepon gelap dan pesan singkat asing mulai datang bertubi-tubi. Ancaman demi ancaman, jika ia melaporkan peristiwa itu ke polisi, terus ia alami. Ia takut luar biasa.

Senin siang ia harus bekerja di sebuah gedung pencakar lain di timur kota. Ia sudah bersiap dengan peralatan. Saat menaiki gondola, ia menyadari sling anchor tak ada di kantung peralatannya. Ia mulai curiga. Ia pun meminta staff di kantornya untuk mengirim sling anchor pengganti. Belum pernah ia bekerja dengan ketakutan seperti itu. “Gusti Yesus nyuwun kawelasan!” doanya berulang-ulang. Sehari setelahnya, giliran full body hearness, (tali-temali kuat komponen utama dari sistem penahan jatuh yang ditujukan untuk menahan dan menjaga tubuh) miliknya lah yang hilang. Setelah meminta pengganti ke kantornya, ia nekad tetap bekerja, dengan tambahan keberanian dari Doa Rosario selama bekerja. Hari itu ia selamat.

Di tempat kost-nya, selain rasa takut, ia mulai panik. Dengan pelbagai ancaman, kalau tidak lapor polisi, akan membahayakan dirinya. Kalau ia menuju ke kantor polisi ia khawatir akan dibuntuti, bahkan mungkin dibunuh. Maka ia pun pergi ke gereja yang paling dekat dengan tempat kost-nya. Selama ini ia hanya mengikuti misa di gereja tersebut. Sejak saat itu, ia dekat dengan Romo Sapto. Bahkan Romo Sapto lah yang melaporkan situasi yang dialami Pak Sabar kepada polisi.

Beberapa hari tinggal di pastoran, Pak Sabar jadi tenang. Tiap malam ia diajak makan bersama di ruang makan pastoran, bersama para romo rekan dan seorang frater.

“Bapak ini banyak dapat banyak anugerah dari Gusti Yesus karena nama Bapak. Sabar!” canda Romo Wahyu, romo rekan yang masih muda. “Ujian dari-Nya itu anugerah, Pak. Biar nama Sabar semakin klop dengan Bapak!”

“Hahahaha”

“Istri dan anak Pak Sabar di kampung ya?” tanya Frater Fred.

“Iya, Frater!”

“Wah, memang nama Bapak itu makin pas! Anugerah kesabaran. Sabar. Jauh dari anak dan istri!”goda Frater Fred.

Ruang makan pastoran pun dipenuhi gelak tawa. Malam sebelum tidur, Pak Sabar mulai diajak Latihan Rohani Ignatian.

Pagi hari, Pak Sabar ikut misa harian. Hatinya semakin tenang.

Suatu sore. Beberapa hari setelah Pak Sabar tinggal di pastoran, ada orang yang bukan umat paroki di situ, minta bertemu dengan Romo Sapto, untuk mengaku dosa. Romo Sapto yang hendak melakukan kunjungan pastoral ke lingkungan pun bersedia mendampingi. Selesai pengakuan dosa, orang tersebut mendekati Romo Sapto. Rupanya ia asisten “si bapak berdasi”. Ia minta bertemu dengan Pak Sabar. Bahkan ia mengancam,” Gak apa-apa saya berbuat dosa lagi, Romo, tapi kalau Romo terus melindungi orang itu, Romo bisa mendapatkan masalah!”

“Paak, Pak, baru saja anda mengaku dosa, kok sudah begitu. Buat apa tadi?” tanya Romo Sapto. “Lha Romo memang tempat menampung permasalahan, jadi ya biasa aja kalau Romo mendapatkan masalah lagi!”

Orang itu pergi tanpa pamit. Wajahnya kesal.

Keesokan harinya, ruang tamu pastoran diobrak-abrik orang tak dikenal. Ada surat ancaman tergeletak di pecahan kaca meja. “Ini peringatan pertama. Gereja ini sebentar lagi akan kami hancurkan! Serahkan Sabar ke kami! Salam. Si Pendosa!”

Para karyawan gereja panik, namun Romo Sapto menenangkan mereka, “Wis to, yang mau dihancurkan mungkin cuma bangunan gereja. Gereja Katolik tak mungkin hancur kalau kita percaya pada kebaikan Yesus!” Romo Sapto tak tinggal diam. Ia melaporkan perisiwa itu ke polres setempat. Ia juga meminta Pak Sabar untuk pulang kampung demi keamanannya dan keluarganya.

Pak Sabar mengajukan cuti seminggu ke kantornya.

Romo Sapto pun mulai mendapat ancaman tertulis lewat ponsel. Namun, ia tetap tenang. Tanpa rasa khawatir sedikit pun ia terus berkomunikasi dengan Kapolres. Pada homii misa harian, ia terus menenangkan umatnya yang mulai mendengar desas-desus bahwa gereja mereka telah diancam untuk dihancurkan. “Yesus yang Maha Baik, akan senantiasa melindungi kita! Ia tidak meninggalkan kita yang percaya kepada-Nya,” pesan Romo Sapto.

Malam hari, saat sedang makan malam bersama para romo, Romo Sapto mendapat telepon dari Pak Sabar. Keluarga Pak Sabar di kampung pun telah banyak mendapat ancaman: Andreas, putra Pak Sabar mau diculik. Romo Sapto menyarankan Pak Sabar untuk bersembunyi di tempat lain.

Polisi bekerja cepat. Bukti-bukti mulai terkumpul. Awalnya adalah pelacakan nomor ponsel yang mengancam Pak Sabar dan Romo Sapto. Memang berganti-ganti, namun polisi telah memantau area lokasi si penelpon. Kode area yang mudah dilacak, disertai kalimat-kalimat yang bernada ancaman sama disertai sebutan “Si Pendosa”, memudahkan polisi untuk menemukan sang pelaku, yakni, “si bapak berdasi”.

Saat di persidangan, Romo Sapto dengan gagah berani bersaksi, bersama Pak Sabar. Semula Pak Sabar takut bersaksi.

“Pak Sabar, Bapak itu pemberani lho. Wong kerjanya di ketinggian yang mengerikan, yang tak banyak orang berani melakukannya! “hibur Romo Sapto. “Mosok bersaksi tentang kebenaran malah gak berani! Apalagi Bapak kan dikenal orang sebagai ‘sang pembersih’, ayo kita bantu polisi membersihkan kejahatan. Jangan takut, Gusti Yesus bersama kita yang percaya kepada-Nya!”

Mereka berdua pun menjadi saksi yang memberatkan tersangka. Pengadilan berlangsung cukup lama, berkali-kali. Mereka lelah, tapi tabah. “Sang bapak berdasi” pun terbukti bersalah, dan mendapat hukuman.

Sore hari, beberapa hari setelah persidangan berakhir. Romo Sapto hendak menaiki motornya untuk kunjungan pastoral. Seorang bapak, yang sangat dikenal Romo Sapto, masuk ke pastoran.

“Romo, saya mau mengaku dosa!” ujar bapak itu sambil menunduk dalam.

Bener?”

Bapak itu mengangguk. Ia adalah bapak yang sekian bulan lalu pernah mengaku dosa ke Romo, tapi setelah itu mengancam Romo.

“Yuk!” ajak Romo Sapto

Oleh Aloisius Eko

HIDUP, Edisi No. 03, Tahun ke-77, Minggu, 15 Januari 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini