HIDUPKATOLIK.COM – HAL yang sering terlintas di benak kita ketika mendengar kata iklim tentu berkaitan dengan keadaan hawa di sekitar atau lingkungan kita. Suhu, kelembapan, awan, hujan atau sinar matahari tentu menjadi kata-kata kunci yang juga berkaitan erat dengan kata iklim.
Namun apa yang terlintas kemudian di benak kita ketika sebelum kata iklim tersebut kita tambahkan kata krisis? Tentu yang muncul adalah gambaran tentang bencana alam, entah itu banjir, longsor badai, polusi udara atau air karena limbah misalnya. Gambaran tersebut bisa diperoleh melalui berita-berita tentang krisis iklim yang dalam beberapa waktu terakhir kian marak.
Tapi, apa yang kita alami seketika ketika kita mendengar kata krisis iklim di saat kita pernah menjadi korban karena krisis iklim yang sedang terjadi? Tentu lebih dari sekadar dari sekadar gambar yang melintas di otak kita. Barangkali ada perasaan-perasaan yang membuat kita ingin menghindari pertanyaan dan pernyataan seputar krisis iklim. Mungkin ada trauma membekas akibat dampak dari krisis iklim.
Terlepas dari apapun gambaran dan perasaan yang melintas dalam diri kita ketika mendengar kata krisis iklim, dengan kita sadari atau tidak hal tersebut adalah kenyataan yang sedang berlangsung. Padahal iklim (tanpa kata krisis!) merupakan kebaikan bersama, milik semua dan untuk semua, yang mana kompleks sifatnya dan mutlak demi kehidupan manusia (Laudato Si art. 23).
Namun demikian, suhu meningkat jauh lebih panas, bahkan disertai dengan meningkatnya debit air laut perlahan menggerogoti pulau-pulau kecil yang ada di berbagai belahan dunia. Dapat dipastikan, apabila krisis iklim tidak diatasi, kelak kita akan menerima berita-berita tentang pulau yang hilang juga tenggelam.
Lantas, bagaimana nasib para pewaris kita kelak? Apakah mereka akan mendapat tempat hidup yang layak dengan keadaan bumi yang kita wariskan kepada mereka sekarang? Mungkin mereka akan menyalahkan kita karena iklim rusak yang telah kita wariskan bagi mereka.
Saya yakin, pembaca tentu menyadari keadaan dunia dengan krisis iklimnya. Bahkan sampai hari, setiap hari penulis menerima berita seputar bencana alam, peningkatan suhu, debit air laut yang semakin tinggi, polusi air dan udara, juga masih banyak bentuk nyata akibat krisis iklim yang kita alami bersama.
Kita tentu tidak mau dianggap sebagai biang keladi oleh para pewaris atas kerusakan, krisis iklim yang kita wariskan bagi mereka.
Benar, apa yang tertuang dalam Laudato Si art. 23 bahwa ‘umat manusia (semua orang) dipanggil untuk mengakui perlunya perubahan gaya hidup, produksi dan konsumsi untuk memerangi pemanasan global ini atau setidaknya penyebab manusia yang menghasilkan atau memperburuknya.’
Di sini, kesadaran dan harapan untuk memerangi krisis iklim butuh tindakan nyata, dan karenanya slogan ‘bersatu kita teguh, bercerai (bumi) kita runtuh’ dalam maksud memerangi krisis iklim terasa relevan. Artinya, kesadaran, harapan dan tindakan nyata itu sudah mesti dimulai dari masing-masing pribadi.
Karenanya menjadi pertanyaan kemudian, mampukah kita meningalkan rasa nyaman, aman dan nikmat yang timbul karena kebiasaan menggunakan plastik sekali pakai, menggunakan AC di rumah atau paroki masing-masing dan hal lain penyebab krisis iklim?
Nyatanya, memerangi krisis iklim pertama-tama adalah tugas kita memerangi rasa nyaman, aman dan nikmat alias, ‘berperang’ melawan diri sendiri dahulu.
Satu perubahan nyata yang dilakukan secara masif tentu akan menghadirkan berkat bagi diri sendiri, orang lain dan generasi penerus di masa mendatang!
Fr. Leo Kristian Eka Putra Diarsa, OSC, Mahasiswa Magister Ilmu Teologi, UNPAR – Bandung