HIDUPKATOLIK.COM – Memasuki kawasan Sendangsono yang teduh, membuat perjalanan panjang langsung terlupakan. Jejak baptisan pertama yang ditorehkan pada 14 Desember 118 tahun yang lalu, belum lama ini diperingati.
Adalah Kevikepan Yogyakarta Barat, Keuskupan Agung Semarang, yang menginisiasi terjadinya Novena Keutuhan Ciptaan dan Sinodal yang telah berlangsung sejak bulan Maret 2022 di sembilan tempat ziarah yang berada di Yogyakarta Barat. Novena ini hendak memantik kembali semangat umat untuk berkumpul sebagai paguyuban, sebagai kesatuan Gereja sebagaimana berlangsung sebelum pandemi. Meskipun pandemi belum dikatakan selesai namun gerak umat Katolik untuk berkumpul, berdevosi, dan melakukan aktivitas gerejani lainnya mulai dinamis terlihat.
Menggugah Kesadaran
Novena memberi perhatian pada kondisi sungai di wilayah Yogyakarta Barat dengan segala persoalannya, ditinjau dari aspek politik, ekonomi, seni budaya, keamanan, dan kelestarian alam ciptaan ke depan. Dengan para narasumber yang menyajikan aneka persoalan lapangan terkait situasi masing-masing lokasi sungai di tempat-tempat ziarah itu, umat diajak untuk membangun kesadaran keutuhan dan kelestarian alam ciptaan bagi generasi mendatang.
Dengan fokus sungai yang mengalir, umat diajak kembali pada jejak tumbuhnya iman Katolik yang diterima melalui pembaptisan. Sungai yang mengalir merupakan simbol Sakramen Baptis, pencurahan Roh Kudus yang mengangkat kita sebagai warga Gereja dan anak-anak Allah. Peristiwa itulah yang secara khusus dikenang pada hari Minggu, 11 Desember 2022 di Sendangsono, Promasan.
Gua Maria Sendangsono dibangun sebagai tempat peziarahan oleh Romo J.B. Prenthaler, SJ pada tahun 1929 atau 25 tahun setelah peristiwa baptisan pertama yang dilakukan Romo Fransiskus Van Lith, SJ. Novena ke-9 yang berlangsung di Sendangsono ini mengangkat tema khusus, “Membina kaum muda untuk peduli dan melestarikan alam ciptaan”. Katekese mengenai tema ini disampaikan oleh Setiyanto, S.S (Manajer Pengelolaan Sendangsono), M.Y. Esti Wijayati (Anggota DPR RI Komisi VIII), dan Romo Y.R. Edy Purwanto (Vikjen Keuskupan Agung Semarang) yang sekaligus merangkumnya.
Dalam katakese yang disampaikan, Setiyanto yang sudah bertugas selama 18 tahun ini menyampaikan aneka pergulatan umat sekitar Sendangsono serta persoalan yang mengemuka di wilayah ini.
Komitmen umat untuk memetri alam, dilakukan sejak lama dengan berbagai cara seperti mengurangi pemakaian pupuk kimia, membuat kelompok tani organik, menanam kembali empon-empon dan tanaman pangan lokal sebagai keanekaragaman untuk mengantisipasi rawan pangan. Kondisi alam yang rawan bencana tanah longsor juga menjadi perhatian, karena bencana ini menghabiskan biaya untuk antisipasi maupun mengatasinya maka perlu menghidupkan kesadaran untuk memelihara alam semesta. Salah satu cara adalah menggunakan media digital untuk membuat konten inspiratif yang mendukung kelestarian alam semesta.
Peran Orang Muda
Sementara itu, Esti mengatakan bagaimana pentingnya orang muda membangun kesadaran politik dalam berperan membangun bangsa secara nyata. Ada bahaya yang mengintai Pancasila sebagai ideologi bangsa, bagaimana anak muda Katolik mampu bersikap mengantisipasinya dan turut serta menjaga Pancasila tetap sebagai ideologi bangsa. Kita harus menjadi contoh membangun hidup berbangsa yang bertoleransi dan hidup adem ayem dengan tetap menjaga Sang Merah Putih berkibar lestari.
Menutup sesi katakese Romo Edy mengingatkan pentingnya menjaga kepedulian terhadap lingkungan dan alam ciptaan, bukan hanya dipanggil melestarikan, memelihara tetapi juga memulihkan. Peduli kepada alam ciptaan, tidak acuh tak acuh, tidak cuek atau masa bodoh tetapi ambil bagian secara sadar dalam upaya memelihara, menjaga, memulihkan alam ciptaan. Melestarikan ciptaan tidak lain ngreksa agar ciptaan yang ada sekarang ini bersama kita memiliki keadaannya seperti semula ketika Tuhan menciptakannya untuk manusia. Ini sama artinya kembali pada semangat baptisan yang diterima untuk mengawali hidup menggereja.
Lanjutnya, Paus Fransiskus saat menuliskan Ensiklik Laudato Si, yang berjudul Terpujilah Engkau Tuhan, juga mengajak orang muda bergerak menjadi pelopor gaya hidup baru. Hal ini antara lain, membeli atau belanja hanya yang dibutuhkan, mencintai produk lokal. Tidak perlu gengsi, mari kita mencintai produk lokal yang dibuat oleh UMKM untuk menghidupkan ekonomi masyarakat. Kita juga harus mengatasi egoisme kolektif yang merupakan kecenderungan diri untuk memikirkan kepentingan kita bukan kepentingan orang lain apalagi yang akan datang. Bicara tentang keutuhan ciptaan bukan hanya saat ini tapi untuk generasi mendatang pula, pungkasnya.
Menyegarkan Semangat
Rangkaian katekese diakhiri dengan penyerahan simbolis pohon Indigo fera untuk ditanam, sebagai penahan longsor dan bisa digunakan sebagai pakan ternak. Selain itu, dilanjutkan dengan penyebaran benih ikan ke dalam sungai yang ada di kompleks Sendangsono
Dalam sambutannya, Vikep Yogyakarta Barat, Romo A.R. Yudono Suwondo mengingatkan kembali bahwa Novena ini dirangkai dengan peringatan 118 tahun baptisan di Gua Maria Sendangsono. Hal ini juga bertujuan mengingatkan agar umat di Kevikepan Yogyakarta Barat menyegarkan semangat berkumpul, berpaguyuban sembari menghidupkan geliat ekonomi masyarakat. Selain itu, juga mampu menembus lintas batas wilayah untuk meneguhkan kesatuan umat sebagai Gereja.
Dengan semangat katekis pribumi pertama, Barnabas Sarikromo, gerak novena ini sudah beranjak dari Candi Hati Kudus Tuhan yesus Ganjuran (Teman seperjalanan merawat sungai), Patung Wajah Kerahiman Ilahi Pajangan (mendengarkan keprihatinan masyarakat pinggir sungai), Gua Maria Jatiningsih Klepu (Merayakan anugerah sungai), Gua Maria Lawangsih Pelemdukuh (Bertanggung jawab dalam merawat sungai), Taman Doa Romo Prenthaler Boro (Dialog dalam gereja dan masyarakat pinggir sungai), Gua Maria Dhamparing Kawicaksanan Sumohitan (Bersama gereja-gereja lain merawat dan menjaga sungai), Sumur Kitiran Mas Pakem (Kewenangan dan partisipasi Gereja dalam merawat sungai), Taman Doa Kebon Dalem Yusuf Maria Kokap (Memahami dan memutuskan mencintai sungai), dan Gua Maria Sendangsono Promasan (Membina kaum muda untuk peduli dan melestarikan alam ciptaan).
Jejak Iman
Dari lintasan perjalanan Novena tersebut tampak bagaimana jejak iman umat Katolik telah berkembang di wilayah Yogyakarta Barat dari ujung selatan-barat-utara-timur. Hal ini sejalan dengan semangat katekis pertama Barnabas Sarikromo yang gigih berjalan kemana-mana mewartakan kabar sukacita Injil dan menyapa banyak orang untuk mengenal Allah.
Hal ini sejalan dengan kesan dan harapan yang disampaikan oleh salah satu keturunan langsung Barnabas Sarikromo, yaitu Felix Puruhito (buyut). Ditemui HIDUP dalam wawancara singkat, Felix menyampaikan bahwa kenangan akan Barnabas Sarikromo hanya bisa didengar dari cerita banyak orang atau sumber di internet lainnya. Namun, dalam dirinya ingatan itu begitu samar karena tidak pernah mengalami perjumpaan langsung. Meskipun begitu, selalu muncul kebanggaan ketika ada orang tahu bahwa dirinya adalah buyut dari Barnabas Sarikromo dan didengarnya kisah perjuangan pewartaan kakek buyutnya di masa lalu.
Saat ini Felix yang bekerja di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta merupakan seorang aktivis di Paroki Gamping dan mendinamika umat sebagai salah satu ketua lingkungan. Ada harapan besar padanya agar Sendangsono dapat menjadi tempat yang hening untuk berdoa dan menemukan Tuhan, bukan tempat hiruk pikuk sehingga keheningan doa pudar oleh keramaian suasana. Agar semangat itu terjaga maka perlu kenangan perjuangan itu dikisahkan dan diteruskan kepada generasi masa depan.
Peringatan 118 tahun baptisan pertama di Sendangsono ditutup dengan perayaan Ekaristi konselebrasi yang dipimpin oleh Vikjen KAS, didampingi enam orang imam, terdiri atas Vikep Yogyakarta Barat, pastor paroki Promasan, dan beberapa ketua komisi di kevikepan tersebut.
Veronika Naning (Kontributor, Yogyakarta)
HIDUP, Edisi No.01, Tahun ke-77, Minggu, 1 Januari 2023